Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen

Catatan Hati Seorang Akhie 17 : Derai Rindu

16 September 2013   17:56 Diperbarui: 24 Juni 2015   07:48 164 0
Krisis politik Timur Tengah khususnya Mesir, berdampak besar bagi sebagian besar mahasiswa luar negeri yang menimba ilmu di sana. Termasuk salah satunya sahabatku asal Makassar, Abdul Hakim.

Ia pun terpaksa kembali ke Indonesia dengan segala rancangan skripsi sarjananya yang tinggal menghitung hari. Sungguh sangat disayangkan hanya beberapa bulan lagi ia akan menyandang gelar Lc (Licence) alumni Al-Azhar Kairo.

Sebenarnya saat krisis politik Mesir mereda, mahasiswa asal Indonesia dipersilahkan untuk kembali menuntut ilmu di Mesir. Namun, Abdul Hakim memilih tetap tinggal di Indonesia. Saat aku bertanya kepadanya, ia hanya menjawab singkat jika izin tinggal dan beasiswa pendidikannya sudah hampir habis. Entahlah..

Aku sangat kaget saat ia tiba-tiba menyapaku dengan salam fasihnya di tengah khusukku menanti disebutnya namaku, plus embel-embel gelar kosong. Ternyata ia dan puluhan mahasiswa alumni mesir “terpaksa” ikut diwisuda di kampusku. Riuh rendah ribuan wisudawan wisudawati menyaru dalam hari bahagia masa muda, kecuali diriku. Sepi…

Sejujurnya aku tidak terlalu bahagia dengan embel-embel kosong di belakang namaku yang panjang itu. Aku menyadari keterlambatanku dan tertinggalnya diriku oleh kawan-kawan seangkatanku. Dan itu sangat membuatku kecewa. Tapi, menyeruak sedikit pembelaan dan pembenaran terlambatnya diriku dengan embel-embel kosong ini. Aku mencoba memaklumi ini bukan keinginanku tapi suratan takdir yang memang harus kulalui seperti ini. Lagi pula, Abdul Hakim yang lebih tua setahun dariku pun telat jua. Huh, begitulah jiwa manusia, senang bila ada yang lebih menderita dari kita atau senasib.

Saking asyiknya ngobrol ngalor ngidul sempat tak ingat apakah namaku sudah disebut MC atau belum. Aku terlalu asyik membahas bahasan menarik anak muda yaitu tentang menikah. Memang sekedar omong kosong mengisi hari-hari masa depan yang samar yang semoga tidak suram.

“Akhi, antum ditunggu teman-teman alumni tuh di deket air mancur.” Seorang wisudawati muncul dari arah belakangku dan langsung berbicara dengan Abdul Hakim. Aku menatapnya sekilas. Iya sekilas saja. Terlalu indah. Aku malu untuk menatap gadis jilbaber bening bak kucing yang sedang kelaparan. Aku menatapnya sekilas tapi sejujurnya kuakui ada getar-getar kekagumanku pada gadis ini.

Ekor mataku tak bisa kutahan untuk memperhatikan tingkahnya. Ia nampak akrab sekali dengan Abdul Hakim. Sejumput cemburu mungkin iri menyapaku. Ia nampak anggun sekali. Ekor mataku semakin iri saat ia tak sedikit pun memperhatikanku. Padahal jauh-jauh hari aku bercermin dan berdandan agar terlihat sedikit gagah di hari istimewa ini. Alam bawah sadarku berteriak mencoba menghipnotis, “Ayo lihat aku!”

Dan aku berhasil. Ia nampak rikuh nan kikuk saat menyadar ada diriku di samping Abdul Hakim. Suaranya yang super akrab dengan Abdul Hakim mendadak pelan dan nampak malu-malu sambil merapikan jilbab dan toganya. Dan…. Ekor matanya terlihat memperhatikanku. Aku yakin itu. Aku hanya tersenyum “kepedean”.

Aku yakin ia tertarik padaku. Masa? Sebegitu percaya dirikah aku ini? Mungkin terlalu percaya diri. Tapi, aku bukanlah lelaki awam yang tidak tahu tentang gerak gerik wanita yang tertarik dengan diriku. Saat ia berdiri di depanku atau setidaknya memperhatikan diriku lalu ia merapikan penampilannya, baik jilbab atau pakaiannya. Dan tak lupa dengan tingkah kikuknya. Hmhm.. Aku meyakini ia tertarik dengan pesonaku. Memangnya aku mempesona? Hmhm.. Ah, ini hanya khayalan kemudaanku saja.

Saat gadis indah nan bening ini meninggalkan kami, tergesa aku bertanya pada Abdul Hakim. Jujur, aku penasaran laksana cacing kepanasan nan kelaparan.

“Kim, akhwat tadi siapa? Akrab banget sama antum? Calon antum ya? Orang mana? Kapan antum nikah sama dia? Undang ane ya, awas kalau gak ngundang. Ane belum pernah lihat dia di kampus.” Sebenarnya Peluru-peluru pertanyaanku bertaste pedih sekaligus harapan semoga sang gadis masih single belum doble. Terutama pertanyaan, “Undang ane ya, awas kalau gak ngundang.” Huh..

Dan Abdul Hakim pun nampaknya mendengar suara hatiku, ia pun menjawab sesuai harapanku. “Dia tuh alumni Mesir juga, pinter banget arabic and englishnya. Skirpsinya juga pake arabic. Senasib di mesir makanya akrab sama ane. Oiy, katanya dia lagi nyari suami tuh.”

Aku nampak seperti binatang kelelahan yang meleletkan lidah saat Abdul Hakim mengatakan skripsi sang gadis memakai bahasa Arab. Aku pun nampak seperti binatang kehausan terlihat lidahku menjulur panjang saat ia mengatakan sang gadis sedang mencari suami. Dan… aku berharap..

“Eh, antum serius dia lagi nyari suami? Antum aja, Kim.” Tanyaku antusias.

“Yeee.. Ana sudah punya alhamdulillah, bulan depan ana nikah, akhie.” Abdul hakim nampak tersenyum puas. Nampak puas bisa membuatku seperti cacing kepanasan karena penasaran.

“Oooo… Ana kirain.” Alhamdulillah. Terasa plong hatiku mendengar jawaban Abdul Hakim.

“Antum mau?” Sahabatku Abdul Hakim sungguh sahabat sejati, ia tahu pertanyaan apa yang hatiku harapkan.

“Ih.. Ada-ada aja antum.” Terasa panas menjalari mukaku dan terasa merona merah. Terlalu jaim.

“Kalau antum mau tenang aja ada ana. Nanti ana bilang sama dia. Gimana? Mau?” Kutatap mata Abdul Hakim mencoba membaca nada serius atau sekedar humor anak muda belaka. Dan aku tidak menemukan guyonan di matanya, ia terlihat serius.

“Ah, ane takut ditolak, kalau akhwatnya gak mau gimana? Ana juga belum pinter arabicnya. Malu ana. Minder. Ane juga lagi enggak ganteng nih. Nanti aja Kim, takut ditolak.” Jawabku jujur sejujur-jujurnya.

“Yaelah akhie… antum nih gimana. Begitu aja dipikirin. Yang penting mah kesiapan antum menjadi pemimpin. Lagi enggak ganteng aja dipikirin. Ganteng antum musiman gitu? Antum tuh lumayan akhie, gak malu-maluin dibawa kondangan. Tidak semua wanita menilai laki-laki tuh dari segi fisiknya, akhi. Apalagi akhwat pastinya melihat dari semangat keberislaman kita. Ganteng atau kaya mah nomor dua atau nomor tiga, ke-muslim-an dan semangat keislaman kita nomor satu. InsyaAlloh sang akhwat beruntung milih kita dan rugi tidak memilih kita. Jangan takut!” Ucapan Abdul Hakim nampak mengebu-gebu. Aku menarik nafas sedalam-dalamnya. Bimbang nan bingung.

“Kim, ana mah orang biasa, bukan ustadz, akhwat tadi mah ustadzah, jenggot ana aja baru dicukur kemarin. Ana malu.” Kembali aku menarik nafas, terasa berat. Belum mencoba tapi aku merasa seperti sedang ditimpa beban yang amat berat dan melelahkan.

“Hih, antum nih payah. Jenggot aja dipikirin.” Keluh Abdul Hakim. “Iya setidaknya jenggot kan simbol Islam.” Kataku membela diri.

“Kata siapa simbol islam? Mana dalilnya? Illat hadits tentang jenggot antum tahu enggak, akhie?” Aku tak ingin berdebat. Aku sadar diri tak mencoba untuk berdebat dengan seorang ustadz semodel Abdul Hakim, sahabatku.

“Akhie, kita tuh di Alazhar tidak sempit pikirannya. Jadi, jangan antum kira akhwat teman ana tuh menolak hanya gara-gara jenggot.” Aku mengangguk-angguk ucapan Abdul Hakim.

“Kim, ana kayaknya bisa percaya diri kalau ana sudah S2. Ana mau S2 dulu terus nikah deh. Ana takut kalau nikah dulu, ana enggak bisa kuliah lagi, soalnya focus hidup ana jadi berubah untuk keluarga.” Kembali aku membela diri.

“S2? Akhie.. akhie.. Apologi antum tuh terlalu lemah. Emang antum kira orang yang sudah menikah tidak bisa S2? Malah hidup dan kuliah antum lebih fokus nantinya. Rencana ana sendiri setelah nikah bulan besok, langsung mau ngambil S2 bareng istri di UMM.”

“Kim, akhwat tadi tuh anak orang kaya ya? Duh, harus berapa juta ana ngeluarian duit buat nikah. Mahal, Kim.” Aku tersenyum kelu.

“Yaaah antum. Gitu aja kok repot. Nikah sama akhwat mah beda kali dibanding nikah sama wanita biasa. Lagian antum jangan pusingin hal teknisnya deh, itu mah gampang. Yang harus antum pikirin tuh kesiapan antum sendiri.” Ia terdiam sejenak.

“Lagi pula akh, biaya besar yang harus kita keluarkan untuk meminang seorang wanita menunjukkan keseriusan kita dan bentuk penghargaan antum kepada wanita. Hidup memang membutuhkan biaya besar, Akh. Yawdah antum pikirin aja dulu tawaran ana. Kesempatan jarang datang dua kali. Ana mau ke teman-teman ana dulu.” Abdul Hakim nampak terlihat tua di mataku. Dewasa sekali cara berpikirnya. Ia semakin terlihat lebih matang dibanding diriku.

Abdul Hakim meninggalkanku dalam kebimbangan. Aku merasa ada yang kurang dengan kedewasaanku. Entahlah…

---***---

Abdul hakim kembali menghampiriku. “Akhie, akhwat teman ana tadi nanyain antum.” Terlihat sumringah wajah Abdul Hakim.

“Antum serius Tadz? Nanya apa Tadz? Terus antum jawab apa Tadz?” Aku teramat amat antusias sekali. Salah satu kebiasaan anak-anak ma’had terkadang saling memanggil dengan sebutan ustadz atau tadz.

“Cuma nanya singkat aja. Antum alumni mana katanya, dia kirain antum alumni Libya soalnya dia bilang belum pernah lihat antum di komunitas mahasiswa Mesir. Jadi, gimana? Mau?” Mendengar ucapan Abdul Hakim aku merasa lemas sekali. Terlihat akhwat itu berselera tinggi, nampaknya menginginkan seorang laki-laki alumni Timur Tengah.

“Wah, akhwat teman antum seleranya tinggi. Baguslah. Wajar. Semua wanita berharap calon suaminya alumni luar negeri. Ana mundur aja Tadz. Ana mah Cuma lulusan lokal.” Ujarku lemas.

“Lho? Antum salah tafsir, Akhie. Dia nanya antum tuh menunjukkan dia ada perhatian sama antum. Ucapan dia cuma basa-basi aja. Optimis dong, Akh!” Kutarik nafas dalam-dalam, terasa segarnya udara senja memasuki rongga dadaku.

“Ya udah Tadz. Ana coba istikhorohi tawaran antum.” Jawabku singkat. Tiba-tiba aku merasa sangat tua sekali. Menikah. Haruskah aku menikah secepatnya? Sudah siapkah jiwaku? Entahlah…

---***---

( to be continued.. )

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun