Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen

Suhanda: Semua Akan Indah Pada Waktunya

29 September 2012   06:55 Diperbarui: 24 Juni 2015   23:30 299 0
Senja ini hatiku mengharu biru.. Aku teringat salah seorang sahabatku, Ustadz Suhanda. Aku memanggilnya ustadz. Karena sekarang ia telah menjadi da'i super. Iya, super. Bukan hanya jago dakwah tapi sekaligus jago masak masakan Arab.

Aku terharu akan perjuangannya dulu. Perjuangan yang terkadang membuatku meneteskan air mata persaudaraan karena Alloh.

Aku akan menceritakannya pada kalian, tapi tunggu sebentar.

Maaf, menunggu lama. Suhanda meneleponku tadi. Entahlah.. Mungkin sebuah bisikan ghaib membisikinya jika aku sedang menulis tentang dirinya. Nanti akan aku ceritakan gaya fighter Ustadz Suhanda ini. Untuk bocoran, ia mengabariku jika istrinya telah melahirkan bayi lelaki. Alhamdulillah.

---***---

Saat pertama kali melihatnya, aku banyak mengulum senyum. Tentu saja aku sangat mengenal profil seorang "bujang" yang berasal dari pelosok Banten. Keluguan dan kesederhanaannya yang khas. Apalagi bila ditambah logat Sunda Banten yang terkesan kasar tanpa intonasi mendayu ala Priangan.

Sosoknya yang tinggi besar dan berkulit manis, tolong jangan salah sangka. Penggunaan kata "manis" hanya untuk memperhalus bahasa saja. Bukan berarti aku pernah menjilat kulitnya. Tentu saja tidak. Baiklah, bahasa vulgarnya adalah berkulit gelap alias hitam plus hauk.

Bukan profil fisiknya yang membuatku sangat dekat dengannya. Bukan pula karena kesamaan daerah. Tapi, karena -seperti yang aku katakan di atas- keluguan dan kesederhanaannya.

Saat itu ia lebih sering termenung saking bingungnya mata kuliah kelas kami. Ia memang sudah terlalu lama jauh dari buku, apalagi belajar. Tapi, kami tidak pernah membahas kekurangannya itu. Tidak pernah pula menjadikannya sebagai guyonan.

Kami sadar, kami adalah thullab (murid-murid). Sangat wajar bila kami belum tahu dan masih bodoh. Singkat cerita, tibalah hari ujian akhir. Dan ternyata Suhanda masuk kategori "rosib fil imtihan" (gagal dalam ujian). Hingga ia harus mengulang ujian.

Akhirnya, tibalah para intelektual muda itu untuk mengamalkan ilmu yang telah mereka pelajari selama dua tahun lebih. Kecuali aku dan Suhanda. Hmhm..

Mudir (bos ma'had) menganggap Suhanda belum layak untuk ditugaskan ke berbagai daerah seperti yang lain. Lalu, aku sendiri? Hmhm.. Jauh sebelum imtihan (ujian), aku sudah pergi lebih dahulu menuju negeri antah berantah nan tak bertuan. Dan bekerja di sebuah hotel. Ini tentang Suhanda ya, bukan tentang aku. Tentangku tentu lebih seru dan mewarna-warni. Jangan banyak bertanya dulu. Sabar. Belum waktunya.

Suhanda pun hanya berdiam diri di ma'had. Hingga suatu hari mudir memanggilnya dan menawarinya pekerjaan sebagai security alias satpam untuk sebuah ma'had di Cianjur.

Suhanda tak punya pilihan lain selain berdiam diri di ma'had. Akhirnya, ia pun menerima tawaran ustadz. Dengan profesi baru sebagai satpam. Satu hal yang tidak pernah Suhanda lupakan adalah mengirimiku sms dan meneleponku. Tentu saja untuk bercerita banyak hal.

Satu hal lagi yang aku kagumi dari sosok Suhanda muda adalah niat ia masuk ma'had adalah untuk belajar dan berdakwah. Walaupun ia juga menyadari betapa susahnya pelajaran-pelajaran itu masuk ke dalam kepalanya.

Tanpa dinyana, Suhanda mendapatkan informasi beasiswa untuk kuliah di Makassar. Suhanda pun dihadapkan dengan dua pilihan, tetap menjadi security atau menjadi mahasiswa (belajar) lagi.

Ia berpikir, niat ia sedari awal adalah untuk belajar agama dan berdakwah, bukan menjadi security. Satpam tidaklah profesi hina tapi ia menyadari betapa awamnya ia tentang dinnul islam. Dengan pertimbangan ini, ia pun meminta surat rekomendasi mudir ma'had tempat ia bekerja untuk pergi menuju harapan baru di Makassar.

Bulan pun berlalu, tahun pun berganti. Hingga suatu senja, sebuah sms tausyiah dan diikuti sebuah panggilan telpon menyapa handphone jadulku. Suhanda menelponku. Eh salah, bukan Suhanda, tapi Ustadz Suhanda.

Ada yang berbeda dari suaranya, ada yang berubah dari bobot bicaranya, ada sejuta makna dari kata-kata yang diucapkannya dari sebrang sana, Makassar.

Aku tergugu pilu. Saat aku sibuk dengan duniaku. Sahabatku Suhanda sibuk dengan kajian ilmu dan dakwah. Ia bukan lagi sosok si rosib fil imtihan, tapi sosok da'i muda. Nasehatnya selalu disertai dengan dalil-dalil Al-Quran dan As-Sunnah. Tentu saja tak pernah lepas dengan logat dan intonasi kasar ala Bantennya.

Hingga ia pun lulus dari ma'had Makassar dan ditempatkan kembali di ma'had Cianjur lalu menetap selama dua tahun di ma'had Sukabumi. Dan selama itulah ia tak pernah lupa menasehatiku dengan pesan-pesan dakwah.

Tak lupa ia mengingatkanku akan tugas manusia di muka bumi ini untuk apa. Tidak mudah bagi kita mendapatkan sahabat yang bermanfaat, karenanya jagalah erat-erat tali silaturrahim dengan sahabat yang seperti ini.

Sebuah pelajaran yang sangat berharga kudapatkan darinya,"Jangan pernah menyerah dengan keadaan. Bodoh itu biasa tapi bagaimana kita menjadi luar biasa dengan menyadari keawaman kita dan kita belajar lebih giat lagi."

Semangat dan kecintaannya untuk tidak jatuh kepada kejahilan dulu terkadang membuatku malu sendiri. Suhanda memang salah seorang fighter sejati.

Senja tadi, saat aku mencoba merangkai kata tentang dirinya. Suhanda meneleponku. Dan ia pun bercerita tentang kelahiran putranya, Muadz bin Suhanda. Ia memintaku memanggilnya Abu Muadz (bapaknya si muadz).

"Nanti putra ana manggil antum Mamang (paman). Terus, antum kapan nih?" Aku hanya tersenyum bahagia mendengarnya. Tidak mau ikut terprovokasi dengan pertanyaannya.

Ia pun bercerita tentang persalinan putranya. Hari Kamis, dua hari menjelang 'Idul Fitri, tepatnya 27 Ramadhan 1433 H atau 16 Agustus 2012. Dalam proses persalinannya putranya mengalami keracunan air ketuban. Begitulah yang dikatakannya, aku sendiri tidak terlalu faham tentang istilah keracunan air ketuban. Mohon dimaklumi.

Menurutnya, istrinya kehabisan tenaga saat mengejan. Dan bayinya tidak bisa keluar.  Namun, alhamdulillah sang bayi selamat walaupun dengan kondisi berwarna kuning dan belum bisa menangis sejak jam 04.00 sore, pasca lahir. Akhirnya, tepat pukul 03.30 dini hari, tangisan sang bayi pun pecah. Berikut pecah pulalah kepanikan dan kekalutan Suhanda.

Hampir terlupa, selama menetap di ma'had Sukabumi. Ustadz Suhanda bukan hanya sebagai da'i "agama" tapi sekaligus da'i ahli masakan Arab. Saat para Syeikh Arab datang ia-lah yang memegang peranan terpenting dalam hal menu jamuan para syeikh.

Namun, senja tadi pula ia mengabariku jika ia akan kembali ke Banten, kampung halamannya. Ia akan berdakwah di sana. Aku menyarankannya untuk membuka rumah makan ala Arab.

Selain pulang kampung untuk berdakwah, ternyata ia pun mengkhawatirkan kondisi kedua orang tuanya yang sepuh dan sakit-sakitan. Aku sangat iri dengan Suhanda. Semoga kita bisa meneladaninya.

Persahabatan itu indah. Persaudaraan muslim itu sangat indah. Jika kita menyadari keindahannya mari kita jaga persaudaraan ini seerat-eratnya. Cintailah saudaramu kerana Alloh.

Esok aku akan bercerita tentang sahabatku yang lain, Amin Rozak. Da'i asal Bima yang gugur saat kuliah di Yaman. Terima kasih telah mmbaca cerita miniku yangg tidak bermutu ini. Tapi ya sekali lagi. Aku tidak peduli dengan istilah bermutu atau tidak bermutu. Yang terpenting, aku terus berkarya dan melatih bakat menulisku. Semoga saja aku bisa menjadi penulis hebat. Semoga. Amin

Ancol Memory, medio sept '12. 02:30 AM

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun