Teritorial negara Indonesia yang terdari beberapa kepulauan yg terpisah-pisah serta jumlah penduduk yang tergolong besar (skitar 241 juta jiwa, data BKKBN 2011), menuntut harus adanya suatu skema atau perumusan kebijakan yang benar-benar efektif dan efisien untuk di implementasikan yang mutlak harus di miliki oleh Departemen Perhubungan. Fakta di lapangan dalam kurun 2 tahun belakangan ini semenjak era kepimpinan Freddy Numberi, sudah jauh dari kata memuaskan. Banyak kejadian-kejadian yang sangat merugikan masyarakat Indonesia, diantaranya : kemacetan yang terjadi di pelabuhan merak beberapa bulan terakhir (http://www.mediaindonesia.com/read/2...erak-Merugikan), kecelakaan kereta api yang memakan banyak korban jiwa (http://www.tempo.co/hg/topik/masalah/89/), terbakarnya sebuah kapal penyeberangan KMP Laut Teduh II yang ditumpangi 458 penumpang saat menyeberangi Selat Sunda, dan beberapa kecelakaan lainnya yang terjadi baik di darat, udara maupun laut (sumber: http://tempointeraktif.com/hg/nusa_l...309515,id.html).
Seharusnya beberapa kejadian yang merugikan tersebut diatas dapat di atasi dan di antisipasi oleh Departemen Perhubungan bila mana Menteri Perhubungannya memiliki skill kemampuan teknis dan leadership yang kompeten di bidang Transportasi. Terlalu beresiko besar bilamana setiap pergantian era menteri selalu mengesampikan perencanaan yang sudah baik sebelumnya dan lebih memilih berfikir pragmatis dalam membuat suatu perencanaan baru tanpa landasan yang kuat. Kesimpulan secara kinerja berdasarkan indikator BPK diatas kinerja kepemimpinan pada era Indonesia bersatu jilid I sebenarnya jauh lebih memuaskan dari pada kepemimpinan era saat ini Indonesia jilid II dibawah menteri perhubungan Freddy Numberi.
Dalam catatan beberapa persitiwa yang terjadi setidaknya Sekitar 8 - 15 orang meninggal setiap hari atau rata-rata 34.000 orang setiap tahun masyarakat Indonesia mati sia-sia akibat persoalan transportasi yang bobrok, seakan-akan Kementrian Perhubungan menjadi mesin pembunuh masyarakat Indonesia terbesar saat ini. Sedangkan pada sektor udara Kementrian Perhubungan belum bisa mengantisipasi lonjakan penumpang pesawat yang mencapai 22,4 persen setiap tahun, melebihi kapasitas peningkatan dunia yang hanya 8,2 persen, hal ini terlihat jelas dari kesemrawutan yang terjadi di bandara penerbangan, mulai dari maskapai itu sendiri sampai pelayanan di airport. Kita juga dapat melihat penumpang yang begitu semrawut, kadang-kadang pindah dari terminal I A ke terminal I B tanpa pemberitahuan, belum lagi persoalan delay maskapai penerbangan seakan-akan menjadi santapan wajib sehari-hari calon penumpang pesawat terbang. Menyangkut masalah pelayanan juga masih jauh dari kata memuaskan lihat saja pelabuhan internasional Soekarno Hatta yang merupakan wajah Indonesia tidak mencerminkan bandara internasional sama sekali. Bandara ini semrawut, kotor, dan terkesan kumuh sungguh sangat disayangkan bandara yang dibangun begitu megahnya sekarang tidak ada perhatian yang serius dari pemerintah.