Wahai kota metropolitanku, Mengapa wajahmu? Kulihat guratan berlenggang ceria, Rupa urbanisasi dan pemain topeng bersuka ria.
Pencakar langit yang saling berangan, Para pengais yang menertawakan sesuap nasi, Merangkak demi keberuntungan, Sungguh mengagungkan harga mati.
Apakah masih ada warteg yang diidolakan? Apakah kehendakmu wahai metropolitan? Apakah memiliki kekuatan tak terbatas? Apakah itu penuturan puberitas?
Apakah kau pernah membayangkan, Sarapan pagi yang berkristal kemacetan, Jiwa layaknya susu perah, Rasanya piama itu berganti dasi dan kerah.
Apakah memang ini syarat sebuah metropolis? Apakah pilihan itu menjadi minimalis? Apakah memang sudah terkikis? Rasanya senyumku tipis. (Rizki Ramadhani/"Ms Melody Canvas")