Bapak menghela nafas, matanya yang sayu dan tubuhnya yang tinggal tulang membuatku meringis kasihan. Kulitnya hitam legam karena terlalu banyak berada di bawah matahari, profesi bapak yang hanya tukang parkir dan kuli panggul di pasar membuatnya demikian.
Bapak mengeluarkan dompet lusuh miliknya, selembar uang dua puluh ribuan yang hanya ada satu-satunya di sana kini berpindah tangan pada ibu.
"Belikan beras dulu sama lauk buat makan anak-anak."
"Tapi tadi Bu Darma datang minta uang kontrakan, kita udah nunggak satu bulan."
"Nanti Bapak cari lagi, ya, Bu, mudah-mudahan banyak yang minta bantu angkat belanjaannya hari ini di pasar."
Aku berbalik ke ruang tamu saat Bapak terlihat akan berangkat keluar. Menemui adikku yang sedang bermain-main dan bergabung bersamanya.
Bapak berpamitan pada kami sebelum pergi, lebih awal dari biasanya. Lalu setelahnya ibu datang dengan menggunakan hijabnya, yang selalu ia gunakan untuk berpergian.
"Ibu mau ke kedai beli beras, kalian di rumah saja, ya!"
"Ikut ibu!"
"Sri!" Aku memperingatinya, bukan soal apa, adikku jika ikut ibu ke kedai pasti selalu minta dibelikan jajanan.
"Ya udah ayo! Kebetulan Bapak lagi ada rezeki, nanti bisa dibelikan jajan masing-masing satu buat Sri sama Yani."
Aku menggeleng, ibu berbohong, aku tahu itu.
"Yani gak mau ikut?"
"Enggak ibu, biar Sri saja yang ikut, Yani tunggu di rumah."
"Beneran? Gak dapat jajan loh."
"Iya, bu."
Tak lama keduanya pergi bergandengan, aku hanya bisa memperhatikan dari balik pintu. Tawaran jajan sungguh menggiurkan tapi aku tahu ibu sedang tidak punya uang.
***
"Kok sedikit berasnya, bu?" tanyaku saat ibu pulang dengan bungkusan plastik berisi beras yang hanya sedikit dan satu jajanan yang dipegang Sri.
"Iya tadi ibu cuma beli setengah kilo."
"Loh kenapa?"
"Tadi Ibu beli roti terus dikasihkan ke orang gila di pinggir jalan," Sri yang menjawab pertanyaanku, Ibu hanya membenarkan sembari mengangguk.
"Kenapa Ibu kasih ke orang gila? Kenapa ibu buang-buang duit dari bapak cuma untuk kasih roti ke orang gila? Kita aja jarang makan roti, bu."
"Kasihan Yani, dia kelaparan dan ...."
"Tapi dia cuma orang gila, kenapa ibu gak memikirkan keadaan kita dulu baru orang lain?" ucapku tanpa sadar mengeraskan suara.
"Yani walau orang gila, dia juga makhluk Allah, sama berharganya seperti kita, hanya saja dia sedikit tidak waras. Sesama manusia kita harus tolong menolong. Lagipula ibu tetap membeli beras kan? Kita gak boleh egois dan hanya mementingkan sendiri saja."
Aku bersungut-sungut, kesal, tentu saja, daripada uangnya tadi dibelikan roti untuk orang gila lebih baik untuk jajanku saja, itu yang membuatku marah.
"Kamu tahu gak, saat kita memberi bantuan pada orang lain, harta yang kita keluarkan bukan hilang dan tak berguna hanya karena kita menolong orang tersebut, karena nantinya akan diganti dengan yang lebih baik."
"Tapi Bu ...."
"Assalammu'alaikum!"
Ucapanku terpotong oleh salam yang terdengar dari luar rumah. Ibu tergopoh-gopoh berdiri untuk menyambut, aku yang masih kesal kini ikut bangkit dan melihat siapa yang datang.
Seorang wanita berpakaian bagus, ada beberapa laki-laki yang datang bersamanya. Mereka  membawa banyak barang dan meletakkannya di teras rumah kami. Aku tak mengenal siapa sosok itu, namun tak lama kemudian ibu kembali dengan senyum lebar di wajahnya. Beliau menarikku untuk melihat apa yang ada di teras kami saat ini.
"Lihat Yani, bagaimana Allah membalas dua bungkus roti ibu dengan barang-barang ini, sangat banyak kan?"
Aku terpana, satu karung beras, telur, gula dan beberapa kaleng biskuit ada disana.
"Kenapa ibu itu kasih kita ini, bu?"
"Ibu itu adalah orang yang ditolong oleh Bapak saat hendak dijambret di pasar. Dia memberikan ini semua untuk berterimaksih."
"Terus sekarang bapak mana?"
"Bapak kerja sekarang di toko ibu itu."
Aku hanya bisa melongo tak percaya, bagaimana ini bisa terjadi. baru tadi bapak dan ibu ngeluh tidak punya beras tapi sekarang ....
"Lihat, kan? Bagaimana pemberian orang yang ikhlas akan diganti dengan yang lebih baik, bahkan jauh berkali lipat jumlahnya."
Aku hanya diam tak mampu mengatakan apapun. Saat itu aku sadar, bahwa yang dikatakan ibu sangat luar biasa.