Di suatu pagi yang cerah, di sebuah ruang kecil penuh buku yang tersusun rapi dari lantai hingga langit-langit, saya beruntung bisa berbincang dengan Bung Hatta. Meski wawancara ini hanya terjadi dalam imajinasi saya, sosok Bung Hatta begitu hidup di hadapan, dengan kacamata bulatnya yang khas dan senyumnya yang ramah. Kami berbicara tentang kebiasaan beliau yang paling dikenal: kegemarannya membaca.
"Bung, apa yang membuat Anda begitu rajin membaca sejak muda?" tanya saya, membuka percakapan. Bung Hatta tersenyum lembut, lalu menjawab dengan suara bijak, "Membaca, bagi saya, adalah jendela dunia. Sejak kecil, saya merasa bahwa dengan membaca, saya bisa memahami berbagai sudut pandang, mempelajari peristiwa yang terjadi jauh dari tempat saya berada, bahkan merenungi masa depan bangsa kita."
Ketika beliau berbicara, saya bisa merasakan betapa pentingnya membaca dalam membentuk kepribadian dan cara berpikirnya. "Tapi, apakah Bung pernah merasa lelah atau bosan dengan buku?" tanyaku lagi, mencoba memahami apakah ada hambatan dalam kebiasaannya. Hatta menggeleng pelan. "Tidak pernah," katanya tegas, "Karena buku adalah teman setia. Setiap kali saya merasa lelah dengan dunia nyata, buku membawa saya ke dunia lain, memberi saya semangat baru untuk melanjutkan perjuangan."
Saya tertegun mendengar jawaban itu. Lalu saya bertanya lebih lanjut tentang apa buku yang paling berkesan bagi beliau. "Banyak sekali," kata Bung Hatta, "Tapi jika harus memilih, mungkin buku-buku tentang sejarah dan filsafat yang paling berkesan. Buku-buku tersebut memberikan pemahaman mendalam tentang kehidupan manusia, bangsa-bangsa, dan perubahan zaman. Dari sana, saya belajar bahwa sejarah selalu berulang, dan setiap generasi harus siap belajar dari kesalahan yang pernah terjadi."
"Membaca," lanjut Bung Hatta, "juga mengajarkan saya tentang pentingnya disiplin dan kerja keras. Ketika saya berada dalam pengasingan di Boven Digoel, buku adalah satu-satunya pelipur lara. Saya membaca siang dan malam, memanfaatkan waktu sebaik mungkin. Dalam keadaan terisolasi, membaca adalah cara saya menjaga harapan tetap hidup."
Saya terpesona dengan komitmen beliau terhadap membaca, bahkan di saat-saat tersulit. Kemudian saya bertanya, "Bagaimana Bung melihat peran membaca bagi generasi muda Indonesia saat ini?" Wajah Hatta tampak serius sejenak sebelum menjawab, "Generasi muda harus memahami bahwa pengetahuan adalah kekuatan. Kita hidup di era digital yang serba cepat, dan buku, baik cetak maupun digital, adalah sumber kekuatan yang tak ternilai. Tanpa membaca, kita hanya akan menjadi penonton di dunia yang terus berubah."
Bung Hatta berhenti sejenak, lalu melanjutkan dengan nada lebih tegas, "Masa depan Indonesia ada di tangan anak-anak muda yang berpendidikan. Mereka yang membaca dan memahami permasalahan dunia akan mampu menciptakan perubahan. Dengan membaca, kita tidak hanya menambah ilmu, tetapi juga memperkaya jiwa dan mengasah empati."
Di akhir wawancara imajiner ini, saya menatap Bung Hatta dan merasa bahwa pesan beliau begitu relevan dengan keadaan bangsa saat ini. Ketika beliau bangkit dari kursinya, seolah hendak pergi, beliau berpesan, "Jangan pernah berhenti membaca, karena dari sanalah masa depan bangsa ini akan ditentukan."
Ketika bayangannya mulai menghilang, saya tersadar, bahwa meski Bung Hatta telah lama tiada, semangatnya untuk terus belajar melalui membaca akan selalu hidup dalam setiap halaman buku yang kita buka. Wawancara ini, meski imajiner, memberikan inspirasi besar bahwa di balik setiap buku ada kekuatan untuk mengubah masa depan.