Tak ada jawaban, hanya hening. Namun tiba-tiba, seolah dari ruang yang tak terlihat, suara lembut namun penuh wibawa menjawab, "Kenapa kamu tanya hal itu, Nak?" Aku terhenyak. Suara itu begitu akrab, namun penuh misteri. Suara yang hanya pernah kudengar dari pidato-pidato yang direkam puluhan tahun lalu. Itu suara Gus Dur.
"Apakah itu benar, Gus?" tanyaku lagi, kali ini lebih tenang meskipun jantungku masih berdegup kencang. Dalam benakku, percakapan ini terasa nyata, seolah Gus Dur ada di hadapanku, berbicara layaknya seorang kakek yang bijak.
Gus Dur tertawa kecil, khas sekali tawanya. "Ah, manusia itu memang suka bertanya soal hal-hal yang tak kelihatan. Kalau ahli kubur datang ke rumahmu, apa kamu siap menyambutnya?"
Aku terdiam. Pertanyaan Gus Dur menusuk pikiranku. Apakah aku benar-benar siap jika para ahli kubur itu datang? Apa yang akan mereka lakukan? "Tapi, Gus, bukankah itu yang sering diceritakan di kampung-kampung? Malam Jumat itu waktu mereka mengunjungi kita."
Gus Dur tersenyum tipis dalam bayanganku. "Orang-orang suka sekali dengan cerita-cerita yang membuat mereka takut. Ahli kubur yang datang itu sebenarnya bukan untuk menakut-nakuti. Mereka datang bukan untuk menghukum, tapi untuk mengingatkan."
"Mengingatkan apa, Gus?" Aku merasa penasaran sekaligus khawatir.
"Mengingatkan kita bahwa hidup itu sementara. Yang sudah pergi, mengajarkan kita untuk mempersiapkan diri sebelum waktu kita tiba. Kamu nggak perlu takut sama mereka. Justru, yang perlu kamu takutkan adalah bagaimana caramu menjalani hidup sebelum menjadi 'ahli kubur' sendiri."
Kata-kata Gus Dur itu membuatku termenung. "Jadi, mereka datang untuk... memberi pelajaran?"
"Tepat sekali," jawab Gus Dur. "Bukan datang untuk menghantui, tapi untuk mengingatkan bahwa kita juga akan seperti mereka. Kalau kamu hidup baik, nggak perlu takut dengan mereka. Sebab, sejatinya, merekalah yang membawa pesan tentang cinta dan persiapan untuk kehidupan abadi."
Percakapan itu mengakhiri malam Jumatku dengan penuh perenungan. Bukan ketakutan, tapi semangat untuk menjalani hidup dengan lebih baik. Gus Dur, dalam diamnya, tetap mengajarkan kebijaksanaan.