"Mbah, hati saya resah," ucapku dalam hati, seakan-akan sedang berdialog dengan beliau. “Ketenteraman saya terganggu oleh fitnah yang tidak bertanggung jawab.” Rasanya sulit menahan amarah, sulit untuk bersabar ketika kebohongan terus berdatangan tanpa henti.
Dalam keheningan, suara Mbah Hasyim seolah menggema dalam pikiranku. “Nak, fitnah itu ibarat debu yang ditiup angin. Kita tidak bisa mengendalikannya, tapi kita bisa memilih bagaimana menanggapinya,” seolah beliau sedang bicara langsung kepadaku. Suaranya lembut, namun penuh hikmah, membawa kedamaian pada pikiran yang kalut.
Aku menarik napas panjang, mencoba mencerna. "Tapi, Mbah," lanjutku, “fitnah itu menyakitkan. Bagaimana bisa saya diam ketika kehormatan saya dipertaruhkan?”
“Sabar, nak. Kesabaran bukan berarti diam tanpa tindakan. Kesabaran adalah kekuatan dalam menahan diri agar tidak terjerumus pada balas dendam atau kemarahan. Biarkan fitnah itu lewat, seperti angin yang berlalu, dan perbaiki niat serta tindakanmu.”
Aku terdiam sejenak. Rasanya berat menjalani nasihat itu. Dalam hati, aku bertanya-tanya, apakah sabar bisa benar-benar mengatasi segala hal? Bagaimana jika fitnah itu semakin menjadi-jadi dan merusak segalanya?
Mbah Hasyim seolah membaca kegelisahanku. “Fitnah, jika dilawan dengan amarah, hanya akan membesar. Namun jika dihadapi dengan doa dan kebijaksanaan, lama kelamaan ia akan mati dengan sendirinya. Percayalah, Allah akan membalas setiap kejahatan, dengan cara yang lebih adil dari yang bisa kau bayangkan.”
Kata-kata beliau menyentuh hati. Meskipun rasanya berat, aku tahu apa yang beliau katakan benar. Dunia ini memang seringkali tidak adil di mata manusia, namun keadilan sejati selalu ada di tangan Yang Maha Kuasa.
“Mbah, bagaimana jika saya tidak sanggup menahan semuanya? Bagaimana jika saya jatuh dalam kebencian?” tanyaku lagi, masih belum sepenuhnya yakin dengan jalan sabar yang ditawarkan.
Beliau tersenyum, membayangi dalam pikiranku. “Nak, setiap hati yang beriman pasti diuji. Ujian itu akan menguatkan, bukan melemahkan, jika kau jalani dengan ikhlas. Jangan takut jatuh, karena setiap jatuh adalah kesempatan untuk bangkit lebih kuat.”
Dialog imajiner itu berakhir dalam keheningan malam. Perlahan-lahan, hatiku terasa lebih ringan. Aku tahu, meski jalannya sulit, nasihat Mbah Hasyim adalah kunci menuju ketenteraman yang kucari. Fitnah hanyalah ujian, dan aku harus memilih bagaimana cara menghadapinya—dengan doa, kesabaran, dan hati yang selalu terjaga dalam kebaikan.