Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen

Percakapan dengan Bapak Teknologi

9 Oktober 2024   21:07 Diperbarui: 9 Oktober 2024   22:22 9 0
Aku duduk termenung di ruang baca kecil yang penuh buku, merasakan kerinduan yang aneh. Di tengah suasana hening, tiba-tiba bayangan seseorang muncul di depanku. Sosok itu tak asing lagi, wajah teduh dengan senyum yang penuh kebijaksanaan. "Selamat sore," katanya lembut. Aku tak percaya, dia adalah Bapak BJ Habibie, sosok yang kukagumi sejak lama. "Bapak Habibie?" tanyaku tak yakin. Dia mengangguk. "Apa kabar? Ada yang ingin kau ceritakan?" tanyanya ramah.

Tak ingin membuang kesempatan, aku langsung mengutarakan impianku. "Pak, saya ingin menjadi penulis terkenal," kataku penuh semangat. Matanya berbinar. "Menulis adalah seni yang luar biasa. Tapi, kenapa ingin terkenal?" tanyanya, bukan untuk menghakimi, tetapi untuk memahami. Pertanyaan itu membuatku berpikir sejenak. "Saya ingin karya saya dikenal banyak orang, agar ide-ide saya dapat menginspirasi mereka, seperti halnya karya-karya Bapak yang menginspirasi saya," jawabku mantap.

Pak Habibie tersenyum lebar. "Apakah kau tahu, menjadi terkenal bukanlah tujuan akhir, melainkan hasil dari kerja keras dan dedikasi terhadap apa yang kau cintai?" katanya bijak. "Ketika aku merancang pesawat, tujuanku bukanlah ketenaran. Aku hanya ingin Indonesia bisa berdiri di antara bangsa-bangsa besar dengan inovasi teknologinya. Begitu juga dengan menulis. Tulis dari hatimu, dan biarkan pembaca menilai karyamu."

Kata-katanya menohok hatiku. Aku selalu berpikir bahwa ketenaran adalah tanda keberhasilan, tapi sekarang sudut pandangku mulai berubah. "Jadi, saya harus fokus pada isi, bukan dampaknya?" tanyaku. Pak Habibie mengangguk. "Isi yang bermakna akan membawa dampak yang besar, mungkin lebih dari yang bisa kau bayangkan. Fokuslah pada pesan yang ingin kau sampaikan, bukan pada seberapa cepat kau bisa terkenal."

Aku merenungkan ucapannya. "Lalu bagaimana saya tahu jika saya sudah menulis dengan baik, Pak?" tanyaku lagi. Dia tersenyum lembut. "Evaluasilah dirimu dengan terus belajar, dan jangan takut pada kritik. Kritik adalah bahan bakar untuk tumbuh. Menulis bukanlah perlombaan, melainkan perjalanan. Kau harus menikmati setiap prosesnya."

Pak Habibie menatapku dengan penuh kasih. "Ketika aku membangun pesawat, aku belajar dari setiap kegagalan. Sama halnya dengan menulis, kau harus belajar dari setiap kesalahan dan kritik. Itu akan membuatmu menjadi penulis yang lebih baik." Aku tersenyum, merasa lebih ringan mendengar nasihatnya. "Terima kasih, Pak. Saya akan mencoba menjalani proses ini dengan lebih sabar dan tekun," kataku tulus.

"Jadilah dirimu sendiri dalam setiap kata yang kau tulis," tambahnya, "Ketenaran akan datang jika itu memang jalannya, tapi jangan pernah biarkan itu menjadi tujuan utamamu. Menulis adalah tentang berbagi, tentang menyentuh hati, bukan sekedar mencari sorotan." Dengan kalimat itu, bayangannya perlahan memudar. Namun, kata-katanya terus bergema dalam pikiranku.

Aku kembali duduk di meja tulis, memandang halaman kosong di depanku. Tiba-tiba, inspirasi itu muncul. Bukan lagi tentang menjadi terkenal, tetapi tentang apa yang bisa kubagikan melalui tulisan-tulisanku. Di sanalah, di ruang baca yang sunyi itu, aku mulai menulis---dengan semangat baru yang diberikan oleh dialog imajiner dengan sang legenda, Bapak Teknologi, BJ Habibie.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun