Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen

Senyum Dalam Kesabaran

8 Oktober 2024   10:34 Diperbarui: 8 Oktober 2024   11:05 31 3
Malam itu, dalam kesunyian yang hening, aku termenung di beranda rumah. Angin malam bertiup pelan, membawa serta kegelisahan yang telah lama kurasakan. Seseorang telah menyebarkan fitnah tentang diriku. Aku merasa tak berdaya, tak mampu membalas atau meluruskan apa yang sebenarnya terjadi. Rasa frustrasi menghantam, membuat hatiku penuh dengan ketidakpastian. Dalam keadaan seperti itu, tiba-tiba seakan-akan seseorang duduk di sampingku.

"Assalamu'alaikum, Nak," suara lembut itu menggetarkan jiwaku. Aku menoleh, dan di hadapanku tampak sosok yang sangat kukenal dari cerita-cerita, wajah yang penuh karisma dan kedamaian. Dialah Gus Dur.

"Wa'alaikumussalam, Gus," jawabku sedikit terbata-bata. Aku tak tahu apakah ini nyata atau hanya imajinasiku, tapi aku merasakan kehadirannya begitu kuat. "Gus, apa yang harus kita lakukan ketika kita dijelek-jelekkan, padahal kita tak melakukan apa-apa?"

Gus Dur tersenyum. Senyumnya menenangkan hatiku, seolah-olah semua beban yang kurasakan memudar. "Nak," katanya perlahan, "kalau kita dijelek-jelekkan, itu biasa. Manusia memang punya mulut, dan seringkali mulut itu digunakan untuk bicara yang tidak perlu. Namun, yang penting adalah bagaimana kita meresponsnya."

"Tapi Gus," lanjutku dengan suara hampir putus asa, "saya tidak bisa berbuat apa-apa. Mereka terus berbicara buruk tentang saya, dan saya hanya bisa pasrah."

Gus Dur tertawa kecil, penuh kasih sayang. "Pasrah itu bukan berarti diam saja, Nak. Pasrah itu adalah bentuk tertinggi dari iman, ketika kita serahkan semuanya kepada Allah. Namun, di sisi lain, kita tetap harus berbuat baik, tanpa perlu membalas keburukan dengan keburukan."

Aku menunduk, memikirkan kata-kata beliau. "Tapi, Gus, kadang rasanya sakit sekali. Mengapa kita harus menerima itu?"

Gus Dur menatapku dalam-dalam, seakan membaca seluruh perasaanku. "Kita tidak harus menerima begitu saja. Kita bisa mendoakan mereka, Nak. Doakan agar mereka mendapat hidayah. Kalau kita hanya menyimpan sakit hati, kita hanya akan menambah beban sendiri."

Aku terdiam. Ucapan Gus Dur sederhana tapi penuh makna. Aku merasa sedikit lebih tenang, walau luka itu masih ada. "Jadi, Gus, apa yang sebenarnya harus saya lakukan?"

"Senyum saja," jawabnya dengan lembut. "Kadang, senyum dalam kesabaran lebih kuat dari seribu kata. Biarkan waktu yang menjawab, karena kebenaran akan menemukan jalannya sendiri."

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun