"Ah, seandainya aku bisa berbicara dengan Gus Dur," batinku. Dan entah bagaimana, saat itu, seperti keajaiban, bayangan Gus Dur muncul di hadapanku. Senyumnya hangat, matanya penuh kebijaksanaan, seperti selalu siap mendengarkan. Aku pun tak ragu untuk membuka percakapan.
"Gus, saya sedang pusing," ucapku pelan, tak kuasa menahan beban. "Istri dan ibu saya sepertinya saling tidak cocok dan saling tidak nyaman. Saya sudah berusaha maksimal supaya mereka rukun. Tapi nampaknya sulit terwujud. Saya sudah tidak sanggup, Gus."
Gus Dur hanya tersenyum, seolah-olah masalahku bukan hal baru baginya. "Hehe, kamu tahu," katanya, "masalah seperti ini banyak dialami orang. Kadang, orang lupa bahwa setiap hubungan itu butuh waktu dan pengertian yang mendalam, termasuk hubungan antara istri dan ibu. Kamu sudah berusaha, itu bagus. Tapi apa kamu yakin sudah mengerti perasaan masing-masing?"
Aku terdiam. Benar juga, mungkin aku terlalu fokus pada hasil, bukan proses. "Tapi Gus, saya sudah mencoba berbagai cara, mengajak mereka bicara, mengatur waktu bersama. Tapi tetap saja, rasanya seperti ada tembok besar di antara mereka."
Gus Dur menghela napas lembut. "Kadang, masalah bukan hanya soal komunikasi, tapi soal rasa. Mungkin ada rasa tidak nyaman yang belum kamu sadari. Ada hal-hal yang tidak terucap, yang hanya bisa dirasakan. Sebagai suami dan anak, tugasmu bukan hanya mendamaikan, tapi juga memahami alasan di balik ketidaknyamanan itu."
"Tapi bagaimana caranya, Gus?" tanyaku, bingung.
Gus Dur tersenyum lagi. "Hehe, sederhana saja. Mulailah dengan mendengarkan, tapi kali ini benar-benar mendengarkan. Dengarkan tanpa keinginan untuk menyelesaikan masalah seketika. Mungkin mereka butuh didengarkan, bukan diarahkan. Kadang, solusi tidak datang dari usaha yang keras, tapi dari kesabaran dan ketulusan hati."
Kata-kata Gus Dur begitu menenangkan. Aku merasa sedikit lebih ringan. "Jadi, saya harus sabar dan tidak memaksa mereka untuk langsung akur?"
"Tepat," jawabnya sambil tersenyum lebar. "Jangan paksa, biarkan waktu dan perhatianmu yang tulus menyelesaikan sisanya. Ingat, setiap orang punya jalannya sendiri untuk memahami dan menerima orang lain. Jika kamu terburu-buru, kamu hanya akan menambah beban bagi mereka."
Aku mengangguk, menyerap setiap kata bijak yang ia ucapkan. Sepertinya, aku memang perlu melepaskan harapan instan. Aku harus memberikan ruang bagi mereka untuk saling mengenal lebih dalam, tanpa intervensi berlebihan. Bayangan Gus Dur pun perlahan menghilang, tapi hatiku kini lebih tenang.
Aku berdiri, memandang senja yang kini hampir sepenuhnya gelap. Mungkin, setelah semua ini, sinar kedamaian akan muncul dengan sendirinya---dengan waktu, kesabaran, dan ketulusan, seperti yang Gus Dur katakan.