Bang Gacor mendadak tertegun ketika di hadapannya muncul sosok yang sangat ia kenali dari buku sejarah—Bung Karno. Mata karismatik Bung Karno menatap Bang Gacor dalam-dalam, seolah mengundangnya untuk berbicara. Bang Gacor yang semula bingung, segera berdiri, menarik napas panjang, dan tersenyum lebar.
“Pak, ini beneran Bung Karno?” tanya Bang Gacor sambil menggaruk kepala. Suaranya sedikit gemetar. "Aduh, saya nggak siap kalau begini."
Bung Karno tertawa pelan, suaranya tegas tapi ramah. “Jangan gugup, Saudara. Kita hanya berbincang. Apa yang kamu ingin tanyakan kepada saya?”
Bang Gacor menatap wajah Bung Karno yang penuh wibawa. "Pak, Indonesia ini sekarang beda banget sama zaman dulu ya, waktu Bapak masih memimpin. Rakyatnya susah, macet di mana-mana, politikusnya berantem terus. Apa yang salah ya, Pak?"
Bung Karno menarik napas panjang. “Saudara, bangsa ini memang selalu dalam proses. Saat saya memperjuangkan kemerdekaan, saya selalu bicara tentang semangat gotong royong. Tapi, gotong royong bukan hanya soal bekerja bersama, melainkan juga saling memahami. Nah, itu yang terkadang hilang di zaman ini—rasa kebersamaan.”
Bang Gacor mengangguk pelan. "Betul, Pak. Di sini aja, lihat, orang-orang parkir semau gue. Saling sikut, nggak peduli sama yang lain. Padahal kan tinggal ikut aturan aja, tapi tetep aja ribet."
Bung Karno tersenyum simpul. “Disiplin adalah kunci, Saudara. Tapi lebih dari itu, cinta tanah air juga berarti menghargai sesama. Memimpin dengan hati. Rakyat yang berjiwa besar lahir dari pemimpin yang berhati besar.”
Bang Gacor terdiam sejenak, berpikir. “Pak, kalau Bapak masih hidup sekarang, apa yang Bapak lakukan biar Indonesia bisa lebih baik?”
Bung Karno menatap langit yang mulai berubah gelap. “Saya akan terus mengingatkan bangsa ini tentang pentingnya karakter. Pemimpin yang sejati adalah mereka yang tak hanya memikirkan diri sendiri, tapi juga rakyatnya. Dan rakyat yang tangguh adalah mereka yang selalu berdiri di atas kaki sendiri, seperti yang saya sampaikan dalam konsep Trisakti.”
Bang Gacor tersenyum lebar. “Wah, Pak, saya mungkin cuma tukang parkir, tapi saya juga ingin berbuat sesuatu buat negeri ini. Setidaknya di sini, di Tanjung Barat, saya bisa mulai dari hal kecil. Ngatur parkiran biar nggak semrawut.”
Bung Karno mengangguk setuju. “Jangan remehkan hal kecil, Saudara. Perjuangan itu bisa dimulai dari mana saja. Kamu adalah bagian dari rakyat yang membentuk bangsa ini. Teruslah bekerja dengan cinta dan dedikasi.”
Malam pun jatuh, tapi semangat Bang Gacor justru bangkit. "Siap, Pak! Terima kasih banyak! Bapak bener-bener inspirasi buat saya."
Bung Karno tersenyum, dan perlahan sosoknya menghilang dalam keremangan malam. Bang Gacor tetap berdiri di tempatnya, tersenyum lebar sambil memegang peluit yang tergantung di lehernya. Dialog imajiner itu mungkin hanya terjadi di dalam benaknya, tapi semangat Bung Karno kini terpatri kuat di hatinya.