Malam itu, Pak Prapto baru saja pulang dari langgar setelah mengikuti pengajian rutin. Di bawah cahaya bulan purnama, ia merasakan hawa dingin yang tiba-tiba menyelimuti tubuhnya. Angin bertiup kencang, seakan membawa bisikan-bisikan halus dari dunia lain. Pak Prapto tidak mengindahkannya, menganggap itu hanya imajinasinya saja.
Sesampainya di rumah, Pak Prapto melihat sesuatu yang mencurigakan. Pintu belakang rumahnya sedikit terbuka, padahal ia yakin sudah menutupnya rapat-rapat sebelum pergi. Dengan hati-hati, ia melangkah masuk, matanya mengawasi setiap sudut ruangan. Tiba-tiba, dari balik lemari tua, muncul sesosok kecil berbadan licin dengan mata yang bersinar tajam. Tuyul!
Pak Prapto tertegun. Ini adalah pertama kalinya ia melihat makhluk seperti itu. Tuyul tersebut hanya diam, menatap Pak Prapto dengan pandangan yang sulit diartikan. Alih-alih merasa takut, Pak Prapto malah merasa kasihan. Ia teringat cerita-cerita masa kecil tentang tuyul yang sering dimanfaatkan oleh orang-orang jahat untuk mencuri uang.
"Kenapa kau ada di sini, Nak?" tanya Pak Prapto dengan suara pelan, hampir berbisik. Tuyul itu tidak menjawab, namun matanya yang bulat besar menunjukkan seolah-olah ia mengerti. Setelah beberapa detik, tuyul itu menunjuk ke arah dapur.
Pak Prapto mengikuti arah tunjukan itu dan melihat ada sepotong roti di meja. Tanpa berpikir panjang, ia mengambil roti tersebut dan memberikannya kepada tuyul. Tuyul itu segera memakannya dengan lahap. Pak Prapto tersenyum, lalu duduk di kursi di dekatnya. "Kau lapar, ya?" tanyanya lagi.
Setelah selesai makan, tuyul itu mulai bercerita. Suaranya kecil dan terdengar seperti bisikan angin malam. Ia mengaku telah lama tinggal di hutan dekat desa, namun tidak pernah merasa diterima oleh para penghuni lainnya. Makhluk-makhluk hutan takut padanya karena konon ia membawa sial. Tuyul itu juga tidak memiliki rumah atau keluarga, hanya berkeliaran sendirian.
Pak Prapto mendengarkan dengan seksama, merasa iba pada nasib tuyul itu. "Kalau begitu, kau bisa tinggal di sini," katanya dengan mantap. "Aku tidak punya banyak, tapi kita bisa saling membantu. Kau tidak perlu lagi mencuri, aku akan memberimu makan."
Mata tuyul itu berbinar, seakan tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. Ia mengangguk pelan, lalu duduk di sudut ruangan, merasa nyaman untuk pertama kalinya. Pak Prapto tersenyum hangat, merasa senang bisa membantu makhluk kecil itu. Malam itu, Pak Prapto tidur dengan perasaan tenang, ditemani oleh kehadiran baru yang tak terduga dalam hidupnya.
Sejak malam itu, tuyul tersebut menjadi bagian dari kehidupan Pak Prapto. Tidak ada lagi pintu yang terbuka tanpa sebab atau benda yang hilang misterius. Mereka hidup berdampingan dalam damai, dengan satu persetujuan sederhana---mereka akan selalu ada untuk satu sama lain, dalam susah maupun senang.