Mohon tunggu...
KOMENTAR
Politik

Masih Maukah Kita Berdemokrasi

13 Mei 2014   01:24 Diperbarui: 23 Juni 2015   22:34 92 0
Pegelaran Pemilihan Umum (Pemilu) calon legislatif (Caleg) tahun 2014-2019 telah usai, sebanyak puluhan triliun lebih telah dikeluarkan untuk mendanai pegelaran yang dimaksudkan untuk mencari wakil rakyat. Selain itu, hasil dari pileg juga menjadi landasan untuk menentukan, siapakah pemimpin yang akan memimpin negeri ini selama lima tahun ke depan. Sebab, dalam UU Pemilihan Presiden terdapat aturan ambang batas presiden (Presidential thershold). [caption id="" align="aligncenter" width="555" caption="ilustrasi"][/caption] Dimana, hanya partai politik atau gabungan partai politik yang memiliki angka 25 persen perolehan suara bisa mengajukan calon Presiden dan Wakil Presidennya. Lalu, apakah kepemimpinan yang ditentukan oleh hasil perolehan suara bisa bisa mengwujudkan, cita-cita negara Indonesia yang tercermin dalam Preambule atau pembukaan UUD 1945?. Yakni, melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia. Memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Pertanyaan ini sangatlah penting, mengingat berdasarkan laporan Badan Pengawasan Pemilu (Bawaslu) beberapa oknum parpol diduga melakukan kecurangan untuk mendapatkan suara terbanyak. Diantaranya, melakukan praktek money politik atau politik uang, colong start kampanye, hingga memanipulasi suara dengan melakukan pencoblosan surat suara yang belum digunakan pemilih. Jika hal dugaan Bawaslu itu betul, lalu yang menjadi pemenang adalah partai yang diduga berbuat curang bukankah, pemilu hanyalah sebuah seromonial semata yang menjadi legitimasi sekelompok orang yang nafsu memperoleh kekuasaan? Lalu, bagaimanakah seharusnya mengwujud pemerintahan yang bisa sesuai dengan cita-cita pembukaan UUD 1945 itu? Arti Dari Demokrasi Jauh sebelum Abraham Lincoln (Presiden Amerika Serikat) berkata, demokrasi adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat (government of the people, by the people, and for the peolple). Filsuf Yunani abad ke 5 sebelum masehi, Aristoteles membentuk pengertian demokrasi sebagai penyimpangan kepentingan orang-orang sebagai wakil rakyat terhadap kepentingan umum. Bahkan, guru Aristoteles, Plato mengungkapkan, bahwa Demokrasi nantinya akan melahirkan sebuah anarki. Sebab, kekuasaan berada di tangan rakyat lalu rakyat kehilangan kendali, rakyat hanya ingin memerintah dirinya sendiri dan tidak mau lagi diatur. Akibatnya keadaan menjadi kacau. Terserah anda mau menganut paham yang mana, namun, yang jelas teori Aristoteles bila dibandingkan dengan  keadaan di Indonesia saat ini, tidak bisa dibilang salah. Sebab, hampir seluruh tahanan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dulunya merupakan wakil-wakil rakyat yang duduk di Gedung Parlemen. Atau orang-orang yang memilik kedekatan dengan parlemen. Nilai uang yang dikorupnya pun tidaklah sedikit, minimal Rp1 miliar. Pada masa pemerintahan SBY (Susilo Bambang Yudhoyono) - Boediono, para elit partai yang bisa menduduki parlemen menjualkan suara agar dapat jabatan Menteri. Atau yang kita kenal dengan politik transaksional. Akhirnya, kita bisa rasakan sendiri bagaimana negeri ini diurus. Lalu, apakah pemerintahan yang akan datang akan dapat membawa perubahan yang sesuai dengan cita-cita negara Indonesia merdeka dibentuk? Yang Penting Jumlah Suara Meski hasil pileg baru diketahui secara informal, namun, beberapa elit partai sudah terlihat sedang ramai-ramai berpikir untuk mengatur strategi untuk mendapatkan posisi. Yah kita lihat saja, beberapa elit parpol sudah membuat ancang-ancang untuk mendekati parpol lain agar bergabung membentuk koalisi. Tujuannya, satu untuk mendapat kembali berkompetisi menjadi penguasa dengan mengabungkan perolehan jumlah suara. Tidak peduli dengan masa lalu dulu. Yang ada adalah masa sekarang dan yang penting berapa jumlah suaranya. Sebut saja PDI-Perjuangan yang memperoleh suara terbanyak yakni 19,1 persen. Otomatis, partai berlambang banteng moncong putih ini akan menjadi pemimpin koalisi di pemerintahan. Meskipun, data yang dirilis Indonesia Coruption Wacth (ICW) menunjukan partai yang diasuh Megawati ini menepati urutan pertama terkait banyaknya kader yang terjerat kasus korupsi. Begitu juga dengan Golkar, yang menempati urutan kedua. Tidak peduli bagaimana masa lalu Golkar, integritas kadernya, program kerja apa yang dia punya? Dari semua itu hanya satu kata yang penting berapa jumlah suaranya? Tujuannya pun hanya satu, kembali berlomba agar memperoleh kekuasaan di pemerintahan. Padahal, kedua partai tersebut merupakan partai yang paling banyak memperoleh kursi di parlemen. Sedangkan, salah satu fungsi parlemen adalah melakukan pengawasan terhadap kinerja pemerintahan. Kalo begini siapa yang mengawasi secara formal pemerintah? Apakah harus lembaga swadaya masyarakat lagi yang berkoar-koar abis itu udahan? Jika kita tarik sedikit ke belakang, salah satu cara untuk memperoleh suara haruslah dikenal dan dianggap oleh rakyat partai ini sifatnya mulia. Tidak peduli apakah itu betul-betul mulia ataukah mulia dengan polesan. Inilah yang dikenal dengan Kampanye. Karena, ini kompetisi memperebutkan simpati publik dan jumlah publik di Indonesia tidaklah sedikit, pastinya membutuhkan modal keuangan yang besar. Berdasarkan, laporan para parpol ke Komisi Pemilihan Umum (KPU) Sedikitnya mereka mengeluarkan puluhan miliar untuk berkampanye. Sebut saja Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), yang menyiapkan dana sebesar Rp 69.704.938.236. Kemudian, Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dengan dana kampanye sejumlah  Rp 82.481.388.425,90. Lalu, Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang memiliki dana awal kampanye Rp 96.771.178.018. Bahkan, Partai Bulan Bintang (PBB) yang hanya mendapatkan suara tidak sampai 3,5 persen harus mengeluarkan dana kampanye sebesar Rp 47.407.872.785. Itu baru partai yang perolehan suaranya pas-pasan. Nah untuk partai yang perolehan suara terbanyak ternyata jauh lebih besar mengeluarkan dana kampanye. PDI-P memiliki kesiapan dana kampanye sebesar Rp220.842.436.120. Disusul, Partai Golkar yang memiliki dana kampanye sebesar Rp 174.037.763.861. Yang terakhir Partai Gerindra yang mengeluarkan dana kampanye Rp 306.580.579.070. Namun, harus menelan pil pahit juga karena sebagai partai baru harus puas memperoleh posisi di tiga besar. Ini baru pengeluaran kampanye Pileg, masih ada kampanye presiden yang mengeluarkan biaya jauh lebih besar lagi. Belum lagi, biaya transaksi mahar politik yang bisa diketahui jika ada oknum petinggi partainya terjerat kasus korupsi. Lalu dimanakah, letak pentingnya sebuah program kerja,  bagaimana sifatnya pemimpinnya, amanah kah ia terhadap jabatan, bagaimana latar belakang dirinya beserta gerbong yang dia bawa ke parlemen? Apakah semua itu hanya berlaku saat kampanye? Apakah ada jaminan, jika partai yang memperoleh suara terbanyak dia memiliki program kerja yang tersistematis? memiliki sifat pemimpin yang baik, lalu prestasi yang gemilang dikarenakan latar belakangnya yang tidak ada cacat? Bukankah, PDI-Perjuangan dan Golkar merupakan parpol yang pernah duduk dipemerintahan, lalu kinerja ke pemerintahan mereka juga dianggap publik tidaklah memuaskan? Tentunya pertanyaan ini menjadi penting, karena merekalah yang nantinya akan memimpin kita semua. Demokrasi Harus Ditinggalkan Ketika Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) mengadakan sidang pada tanggal 29 Mei sampai 1 Juni 1945 untuk merumuskan, "Dasar apakah yang akan menjadi landasan Indonesia merdeka?" Soekarno yang nantinya menjadi presiden pertama republik ini mengungkapkan, satu kata mujarab tapi cukup sederhana bahwa "Demokrasi di Indonesia tidaklah sama dengan demokrasi di Eropa" Karena, demokrasi di Eropa yang lebih memberikan peluang terhadap kaum kapitalis meskipun terdapat badan perwakilan. "Namun mengapa kaum kapitalis merajalela disana?." Bung Karno pun melanjutkan, demokrasi yang mereka anut merupakan politieke demoratie (politik demokrasi) saja; tidak ada sociale rechtvaardigheid (keadilan sosial), tak ada economische democratie (ekonomi demokrasi) sama sekali. Tentu saja politik demokrasi yang diangung-angungkan merupakan, sistem yang hanya mengikutsertakan rakyat untuk memberikan pilihan semata. Tetapi, apakah rakyat diberikan kesempatan untuk menentukan sebuah kebijakan? Apakah rakyat diberikan kesempatan untuk diajak berbicara terhadap permasalahan yang dihadapinya? Secara formal bukan informal yang sekarang berlaku saat ini. Jika kita mengacu pada ketetapan sejarah bangsa ini. Kepala Lembaga Pejuang Tanpa Akhir (PETA) Agus Salim Kodri mencentuskan sebuah sintesa baru yang menjelaskan, bahwa Indonesia memiliki keunikan dibandingkan dengan negara-negara lain. Dimana, bangsa dulu lahir kemudian negara. Ketetapan sejarah ini, dinilai sebagai hal yang harusnya menjadi pembeda. Antara Indonesia dengan negara-negara lain yang lahir negara lebih dahulu kemudian bangsa. Sebab, maknanya bangsa haruslah menjadi sebuah pondasi yang kokoh untuk membangun sebuah pemerintahan dalam ha ini negara. Bangsa lahir pada tanggal 28 Oktober 1928 dengan peristiwa yang kita kenal dengan sumpah pemuda. Yang intinya melebihi definisi Ernes Renan akan bangsa. Dimana, kehendak bersatu para pendahulu kita ingin menegakkan harkat dan martabat hidup sebagai orang Indonesia Asli. Sebab, ketika dijajah oleh Belanda, keadaan bumi putera sangatlah memprihatinkan. Akibat, Belanda melakukan kebijakan politik adu domba yang membagi-bagi ras dan golongan. Semangat juang para pendahulu kita membuahkan hasil dengan tercapainya sebuah kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945. Lalu, selang sehari kemudian negara Indonesia merdeka pun terbentuk dengan disahkannya UUD 1945 sebagai konstitusi. Dalam konstitusi tersebut, para pendiri bangsa kita membuat sebuah lembaga yang mengwujudkan, semangat sumpah pemuda, yakni, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Dimana, berdasarkan Pasal 1 ayat 2 UUD 1945 disebutkan, jika kedaulatan tertinggi berada ditangan rakyat dan dijalankan oleh MPR. Negara pun sebagai lembaga pemerintahan harus membagi tiga kekuasaan, yakni, kekuasaan Eksekutif (presiden), Legislatif (DPR) dan Yudikatif (MA). Namun, disinilah letak salah satu kesalahannya, bahwa lembaga yang merupakan wujud kedaulatan rakyat yang seharus menjadi lembaga bangsa. Dikooptasi menjadi lembaga negara. Seperti yang tertera dalam Pasal 2 ayat 1 bahwa MPR terdiri dari DPR, ditambah utusan golongan, dan utusan daerah. Pengkooptasian ini, diperparahkan lagi oleh UUDS 1950 yang melegitimasikan adanya sebuah pemilihan umum (Pemilu). Padahal, jika saja MPR sebagai lembaga bangsa berada di lingkungan terkecil bangsa agar dekat dengan rakyat. Pastinya, proses pergantian pemerintahan tidak perlu mengeluarkan biaya keuangan yang besar. Cukup rakyat berkumpul, lalu mengelar musyawarah atas apa yang dibutuhkannya, lalu mengirim utusan untuk menyampaikan apapun kebutuhannya untuk kemajuan hidup dan martabatnya ke tingkat atas seperti berjenjang. Pastinya, tidak akan mengeluarkan pembiayaan yang besar. Lalu, jaminan terpilihanya seorang pemimpin yang amanah atas jabatan lebih pasti. Sebab, presiden yang dihasilkan dari sistem musyawarah mufakat tidak perlu, bagi-bagi jatah menteri, tidak perlu bagi-bagi uang mahar politik. Dan tidak usah takut tidak mendapatkan dukungan  DPR. Pijakan membuat kebijakannya pun, tidak sulit cukup mengikuti GBHN (Garis-garis Besar Haluan Negara) yang disusun MPR. Sebab, merupakan hasil musyawarah rakyat yang ada ditataran paling bawah. Jadi masih mau pakai sistem demokrasi?(Wasalamualaikum)

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun