Awalnya tumbuh sebagai remaja pemalu. Tak mendapat dukungan sang ibu. Berlatih dan berlatih, perlahan tapi pasti, setiap kejuaraan ia merebut medali. Olimpiade Athena 2004, telah melambungkan prestasi beladirinya. Sang Ap-Bal Hurigi Indonesia ini, kini menjelma sebagai ikon di jagad Taekwondo bukan hanya di Indonesia tapi juga di dunia…
Salam jumpa. Salam hangat kompasianer semua. Maaf, baru kali ini saya mengores huruf demi huruf lagi di blog sejuta umat ini. Maklum, kepadatan rutinitas dan padatnya jalan raya, menguras tenaga dan menyita otak saya. Kangen juga ber-kompasiana ya…
Kali ini, saya agak menyimpang dari pakem tulisan-tulisan saya selama ini. Tetapi, masih dalam koridor inspiring people. Saya sering membaca karier dan prestasinya. Tapi saya belum mendapat kesempatan untuk bertatap muka dan ngobrol sepuasnya. Inilah yang saya inginkan sejak enam bulan belakangan ini. Namanya melegenda, tapi sayang cepat terlupakan.
Kesempatan itu tiba pada Senin, awal bulan April ini. Setelah berkirim pesan, waktu pun ditentukan. Di sebuah kedai donat, kami pun bertemu. “Mbak Juana ya…?” tanyaku kepada wanita yang duduk di pojok sambil membaca tabloid hiburan ibukota. “Iya…mas Rizal yah,” jawabnya. “Betul mbak. Sudah lama menunggu. Gimana kabar?” begitu tanyaku kepadanya.
Setelah dibuka dengan sapa-menyapa, kami pun kemudian larut dalam bincang perjalanan hidup seorang Juana Wangsa Putri.
Ya…siapa yang tak kenal sosok yang bersahaja ini. Namanya merupakan salah satu ikon dalam jagat olahraga beladiri; TAEKWONDO Indonesia. Paling tidak, selama kurun waktu 1993-2006 masa ia berkarier di taekwondo, bukan saja sekedar kaya prestasi yang mengagumkan, melainkan yang lebih penting lagi, karena profil dirinya yang amat mencerminkan sosok seorang juara sejati.
Selain percaya diri, taekwondo juga membentuk dirinya menjadi displin dalam segala hal. Namun, sayang keasyikkannya ber-taekwondo mendapat tentangan keras dari sang mama. Bahkan, baju latihan miliknya digunting-gunting mamanya. Alasannya,”Taekwondo itu kan olahraga keras dan untuk laki-laki. Saya malah disuruh nari balet,” ujar anak ketiga dari tiga bersaudara pasangan Agustinus Tan dan Lusia Chaerudin sembari terbahak.
Meski terus ditentang, rupanya kecintaannya terhadap taekwondo tak hilang begitu saja.Tahun 1993, ketika Kejuaraan Taekwondo antar SMA se-DKI, ia berhasil meraih medali emas. Inilah prestasi pertamanya sejak ia menggeluti beladiri taekwondo. Hasil gemilang yang dicatatnya itu menarik perhatian Pengurus Besar Taekwondo Indonesia (PBTI) untuk menempatkan Jo sebagai salah satu atlet baru yang harus ditingkatkan bakat dan kemampuannya. “Puji Tuhan, gara-gara medali emas pertama itu pelan-pelan orangtua mulai memberikan dukungan, meskipun secara sembunyi-sembunyi,” ujar Jo sembari tersenyum mengingat kebiasaan orangtua yang kerap menentang, tetapi selalu datang melihat setiap pertandingan yang diikutinya.
Berkat tekad dan keinginan yang sangat besar dalam dirinya, perlahan ia mampu meluluhkan hati kedua orangtuanya.Tentunya dengan memberikan raihan prestasi demi prestasi serta mencatatkan namanya sebagai salah satu atlet kebanggaan bangsa Indonesia.
Karier beladiri wanita kelahiran Jakarta 13 Februari 1977, ini meroket tajam. Pertandingan tiap pertandingan, baik di dalam negeri maupun luar negeri, Jo kerap menggondol medali. Namanya dikenal luas memiliki dedikasi dan komitmen yang tinggi terhadap taekwondo. Ia senantiasa penuh kesungguhan dan memiliki semangat juang tak kenal menyerah dalam berlatih, apalagi saat bertanding. “Taekwondo bukan hanya olahraga beladiri, tapi bagi saya taekwondo sudah menjadi bagian hidup dan akan terus melekat dalam jiwa saya,” tegas istri Aditya Purnomo Nugroho ini dengan serius.
Tiga belas tahun menggeluti taekwondo, sembilan tahun di antaranya sebagai atlet nasional. Namanya kerap mengharumkan nama bangsa. Keberhasilan pebulutangkis Susi Susanti, ketika meraih medali emas dalam ajang Olimpiade tahun 1996 silam, telah membangkitkan spirit berjuang seorang Juana. Dalam benaknya, “Saya harus berhasil mengibarkan merah putih di tingkat dunia seperti Susi Susanti,” kata ibu dua anak dan sebentar lagi akan melahirkan anak ketiga ini dengan bersemangat.
Alhasil, ia meraih dua medali emas diajang SEA Games, sekaligus menjadi taekwondoin putri pertama yang meraih gelar juara dunia pada 2003. Ia juga lolos sebagai juara kualifikasi Olimpiade Sydney Australia 2000 dan Olimpiade Athena 2004. “Setiap ada kesempatan saya pergunakan semaksimal mungkin. Yang utama adalah prestasi dan dapat mengharumkan nama bangsa,” ujar alumnus STIE Perbanas jurusan keuangan dan perbankan ini.
Juana memang memiliki sederet prestasi yang patut dibanggakan. Peran keluarga; kedua orangtua, suami serta kedua anaknya, menjadi kunci utama kesuksesan sebagai taekwondoin sejati. “Semua ini berkat doa dan dukungan orang-orang tercinta. Figur orangtua yang memacu semua prestasi saya. Terima kasih papa-mama...,” ungkap Jo dengan nada paruh.
Dengan segudang prestasi yang membanggakan itu, tentu tak terlepas dari ketekunannya dalam menempa diri sejak memutuskan terjun di dunia yang awalnya dianggap keras oleh kedua orangtuanya.Pengalaman perjuangan Jo yang cukup panjang dan keras ini, lalu ditulisnya dalam buku bertajuk "Tendangan Pamungkas Sang Ap-Bal Hurigi Indonesia: Sejumput Kisah Juana Wangsa Putri".
Ap-Bal Hurigi, adalah jurus andalannya dalam merebut medali kejuaraan. "Ini jurus andalan saya, tendangan kaki bagian depan," ungkap Jo sembari menggerakkan tangannya seolah memperagakan tendangan kaki depannya. Jurus ap-bal hurigi atau tendangan kaki bagian depan ini kerap ia gunakan sebagai senjata pamungkas dalam segala pertandingan. Bahkan jurus tersebut telah menjadi ciri khasnya. "Saya punya impian, taekwondoin muda Indonesia memiliki kualitas terbagus. Juga bisa berprestasi lebih baik, terutama di ajang paling tinggi yakni Olimpiade," ujar pemegang sertifikat The Olympic Solidarity Technical Course for Coaches ini.
Dalam buku yang diterbitkan 2008 lalu, mahasiswi pascasarjana Universitas Negeri Jakarta yang tampil di Olimpiade Sydney 2000 dan Athena 2004 ini, juga membagikan resep berbagi keberhasilan yang berisi teknik-teknik taekwondo. “ Buku ini diharapkan bisa memberikan motivasi berharga bagi atlet-atlet muda Indonesia agar memiliki mental dan spirit juara,” tandas wanita yang mengidolakan pebulu tangkis Susi Susanti dan Chandra Wijaya ini.
Buku Tendangan Pamungkasini juga diharapkan menjadi titik awal kemajuan dan perkembangan taekwondo di Indonesia. Nama Juana Wangsa Putri tak bisa dilepaskan sebagai ikon Taekwondo Indonesia. Mengawali karirnya di Teladan Taekwondo Club, sang Ap-Bal Hurigi Indonesia ini benar-benar menjadi teladan para taekwondoin Indonesia. “Saya tak akan berhenti untuk memajukan prestasi taekwondo di Indonesia,” tegas Juana Wangsa Putri.
Dan, akhirnya saya puas berbincang panjang lebar dengan sang Ap-Bal Hurigi Indonesia ini. Sekian. Salam… (rizaldo, karpetmerah 20130408)