“Antara realitas dan idealitas sudah tidak memiliki batas…” –postmodernisme-
Jarum jam baru menunjuk angka 07.00 WIB. Matahari, Sabtu pertengahan Mei lalu, belum sepenuhnya memancarkan teriknya. Namun, denyut roda kehidupan di sudut Kampung Wiradesa, Kabupaten Pekalongan, Jawa Tengah, sedang menggeliat.
Puluhan gadis, ibu-ibu, wanita baya, pemuda, pria paruh baya, saya lihat sangat bersemangat menyongsong kehidupan. Mereka beriringan. Bertegur sapa. Ramah, senyumnya menggembang kepada setiap orang. Tak ada guratan putus asa.
Kakinya mengayuh pasti sepeda onthel berwarna seirama; hitam merk phoenix, kalau tidak salah keluaran tahun 1970-an, memasuki lahan seluas 1000 meter persegi. Kring…kring…bel antik dibunyikan. Suaranya nyaring. Seakan memberi tanda salam kepada saya. Satu persatu, sepeda klasik itu memasuki bangunan. Semuanya, yang saya lihat tersenyum gembira.
Tempat apa itu? Saya terpana. Bahwa bangunan yang tampak usang dari luar itu, ternyata sebuah “Pengharapan Abadi”. Saya menyebutnya begitu, lantaran benar, bahwa bangunan itu adalah tempat mereka menyambung hidup keluarga, serta tempat berkarya secara turun temurun.
Ya…itulah tempat produksi batik tulis Wirokuto. Di sini lah, sekitar 500-an pemuda, pemudi, bapak, ibu, kakek, nenek, yang putus sekolah, warga sekitar Wiradesa, Pekalongan, berprofesi sebagai pembatik tradisional; batik tulis canting.
Begitu juga dengan wanita muda 20 tahun ini. Nur Kamila. Tangannya begitu akrab dengan canting malam sejak kecil. Ia bisa membatik karena diajari kedua orangtuanya, yang berprofesi sebagai pengrajin batik tulis. “Saya ingin meneruskan tradisi leluhur ini. Bagaimanapun membatik adalah mata pencaharian masyarakat Pekalongan,” ujar Nur kepada saya sembari tersenyum manis. Eehhmmm…!!!
Keleluhuran seni batik tulis, juga terlihat dari karya-karya mereka. Di sini, batik tiga budaya; Three Culture, perpaduan budaya nusantara dari masing-masing daerah dari Sabang sampai Merauke, sedang dikerjakan tangan-tangan terampil si pembatik canting. “Sayang kalau tidak ada yang meneruskan, lama kelamaan tradisi budaya ini akan hilang,” tandas Nur bersemangat.
Ini realitanya. Bahwa dengan sepeda onthel, para pembatik itu menyongsong berkah penghidupan dari sebuah canting. Lenturan tangan-tangan mereka menjadi harapan bagi keluarga. Saya bersyukur, di tengah modernisasi saat ini, masih ada tradisi yang terus lestari.
Berkat onthel dan canting para pembatik inilah, UNESCO Asia Pasifik pada tahun 2006-2007, memberikan penghargaan Seal of Excellence for Handicraft kepada Wirokuto.