Mereka sebenarnya, bukan sedang arisan. Juga bukan pula sedang saweran. Ibu-ibu ini tak lain dan tak bukan adalah petugas teller alias pencatat simpanan dana nasabah. Setiap uang yang masuk, mereka mencatatnya sebagai simpanan lengkap dengan buku tabungan, layaknya sebuah bank komersil.
Ya...di sinilah, tepatnya di Jalan Semarang 55, Surabaya, ibu-ibu ini, yang mayoritas pedagang buku bekas eks gusuran jalan raya, sedang mengelola sebuah lembaga keuangan swadaya berbasis kerakyatan. Namanya, Bank Tolak Miskin. Mayoritas nasabahnya adalah para pedagang buku yang tergabung dalam Serikat Pedagang Kaki Lima Bubutan atau SPKLB Surabaya.
Di bank tolak miskin ini, semua pedagang buku diwajibkan untuk menabung setiap harinya. Uang sebesar Rp 10.000,- wajib masuk dalam daftar debit buku tabungan masing-masing pedagang. Tekadnya ingin mandiri untuk bertahan hidup, itulah yang melatar belakangi dibentuk bank simpan pinjam ini. Tujuannya untuk mensejahterakan para pedagang buku pasca gusuran 2008.
Dipicu rasa prihatin atas jeratan bunga renterir jalanan, Bank Tolak Miskin didirikan untuk mengakomodir permodalan para pedagang buku. “Kami tak ingin mereka (pedagang buku, red) menjadi miskin dan tak punya simpanan apa-apa hanya gara-gara bank titil (maksudnya rentenir dalam bahasa Jawa),” tegas Wardhani, pengelola Bank Tolak Miskin Kampoeng Ilmu Surabaya.
Bayangkan, berapa bunga yang harus dibayar pedagang buku bila harus meminjam ke bank komersil ataupun ke renterir? Sistem simpan pinjam inilah yang sangat bermanfaat dan berguna bagi puluhan pedagang buku ini.
Pendanaan bank ini bersumber dari urunan para pedagang setiap harinya. Saat ini sudah terkumpul uang di bank tolak miskin sebesar Rp 183 juta. Semua itu akan digunakan untuk menopang perputaran ekonomi para pedagang. Khususnya, untuk permodalan perdagangan buku.
Dari pedagang dikembalikan pula untuk keperluan pedagang. Diharapkan, dengan adanya Bank Tolak Miskin ini, para pedagang buku sudah tidak lagi dipusingkan dengan urusan beli-membeli buku ke penerbit, dan ujung-ujungnya ketersediaan buku di Surabaya dan Jawa Timur dapat selalu terpenuhi.
Kampoeng Ilmu, Oase Ilmu Pengetahuan
Terletak di Jalan Semarang 55, Surabaya, Kampoeng Ilmu yang dikenal dengan sebutan surganya ilmu, merupakan tempat kumpulan para penjual buku bekas yang menawarkan berbagai macam buku dengan harga yang sangat murah.
Semua buku lengkap ada di sini. Dari buku pelajaran SD hingga Perkuliahan dijual murah di sini. Tidak hanya buku, tersedia juga majalah, novel, komik, kamus, buku agama, buku asing hingga majalah import bekas dari tahun ke tahun semuanya bisa ditemukan di sini. “Di sini semua buku lengkap dengan harga murah,” ujar Umar Faruq, pedagang buku yang meneruskan usaha ayahnya puluhan tahun silam.
Alkisah, sejak tahun 1970-an, di pinggir jalan raya sepanjang stasiun Pasar Turi, Surabaya, terdapat puluhan pedagang buku bekas yang terkenal dengan harganya yang sangat murah. Tapi,awal 2008, mereka digusur lantaran dianggap menjadi biang kemacetan dan merusak pemandangan kota. Oleh Pemkot Surabaya, para pedagang ini ’dibersihkan’ dari jalanan. Lapak dan gerobak mereka diangkut. Yang tersisa hanyalah buku dan nasib kehidupan para pedagangnya.
Sekitar 84 pedagang buku bekas menjajakan buku-bukunya di lahan seluas 2500 meter persegi ini. Dulu tempat ini adalah tempat pembuangan sampah. Baunya tak sedap dan tak terurus. Berkat sikap pantang menyerah dan semangat yang tinggi, dengan dibantu warga dan berbagai pihak, para pedagang bergotong royong meremajakan kawasan ini menjadi kawasan yang memiliki daya tarik.
Sedikit demi sedikit Kampoeng Ilmu mulai banyak pengunjung. Di perkirakan saat ini ada 400 orang pengunjung per hari. Tiga tahun sudah Kampoeng Ilmu berdiri. Bermanfaat dan berguna bagi pedagang dan pemburu buku-buku murah. Tekad untuk bertahan hidup yang ditunjukkan para pedagang Kampoeng Ilmu ini, memberikan secerca harapan…
Tak jauh dari stasiun kereta api, dari jalanan para pedagang buku eks gusuran Satpol PP, bertahan hidup dengan Menolak Miskin...Salam. (rizaldo, karpetmerah 140212)