Dengan tatapan yang datar, dia berkata kepadaku
"Hai, kamu Jihan, ya? Bagaimana kondisi Desa Bareng saat ini?"
Sontak, aku terdiam. Dalam hati aku bergumam "Siapa lelaki ini? Kok dia tahu kalau aku berasal dari Desa Bareng?"
Setelah sekian lama aku terdiam, lelaki itu mencoba untuk menyadarkanku dengan mengetuk meja secara pelan.
"Ya ya ya, sampai mana tadi?" ucapku yang tengah terjun dalam lamunan.
"Bagaimana kondisi Desa Bareng saat ini?"
"Desa Bareng saat ini Alhamdulillah sudah lebih maju daripada tahun-tahun yang lalu, saat ini Desa Bareng telah memiliki sebuah wisata yang ramai dikunjungi pada setiap minggunya apalagi disaat musim libur panjang". Jawaban spontanku tanpa memikirkan lelaki tersebut siapa.
Di saat jam istirahat, aku pergi ke kantin untuk mengisi kekosongan perut ini bersama sahabat dekatku, Aini. Aini merupakan sahabatku dari Sekolah Menengah Pertama hingga saat ini. Kami mulai bersahabat ketika Aini yang pada saat itu bingung belum mengerjakan PR karena harus merawat adiknya yang menginap di Rumah Sakit Bhayangkara.
Untuk pengalaman didekati seorang lelaki, Aini lebih unggul daripada aku. Dari situlah aku ingin menanyakan kepada Aini perihal peristiwa yang terjadi kepadaku. Seperti biasanya, di kantin sekolah Aini pasti memesan nasi pecel tanpa sayur dengan minuman favoritnya teh hangat. Kata dia, perpaduan antara makanan dan minuman tersebut sudah tidak ada duanya. Berbeda dengan diriku yang sering kali hanya memesan snack ditambah dengan es teh untuk pelega tenggorakan.
Sambil menikmati hidangan masing-masing, aku mencoba untuk mulai membicakan peristiwa yang baru saja aku alami.
"Aini, kamu kan udah beberapa kali mengenal banyak lelaki, ya?" celotehku sambil mengunyah pisang goreng.
"Uhuk, emangnya kenapa, Han? Kok tumben kamu tanya begitu kepadaku? Pasti ada apa-apa nih?" jawab Aini yang hampir tersedak sebab pertanyaanku.
"Jadi gini, tadi aku tiba-tiba dihampiri oleh seorang lelaki yang sama sekali aku belum mengenalnya. Namun, lelaki itu sudah tau namaku dan menanyakan kabar Desa Bareng pula. Darimana coba dia tau kalau aku berasal dari Desa Bareng? Menurutmu bagaimana, Ain?"
"Hmmm..." gumam Aini sambil mengunyah nasi pecel favoritnya.
Setelah bergumam, Aini meraih gelas teh hangatnya untuk merasakan tegukan pertama dari lamanya memakan nasi pecel.
"Sruuuppp.. Ahhh.. Jadi begini, Han. Ini menurutku lo ya. Bisa saja lelaki itu berasal dari desa yang sama sepertimu, tetapi dia telah lama tidak mengunjungi desa kelahirannya tersebut."
"La terus bagaimana dia bisa tau aku berasal dari Desa Bareng?" tanyaku yang semakin penasaran kepada Aini.
"Mungkin saja dia melihat dari parasmu yang cantik, putih, bersih dan sederhana kemudian menanyakan tentang dirimu kepada teman sekelas kamu secara diam-diam."
"Ya juga ya? Adanya benarnya sih apa yang kamu katakan, Ain." Aku mengangguk sambil terheran-heran, bisa-bisanya aku tidak terfikirkan sampai sejauh itu.
***
Pukul 13.00 WIB, di mana sudah menunjukkan waktunya jam perkuliahan selesai. Seperti biasa, aku langsung bergegas ke tempat parkir untuk mengambil motor dan pulang ke rumah. Karena jarak kampusku dengan rumah lumayan jauh.
Dan entah kenapa, pada hari ini aku tidak langsung pulang ke rumah. Namun, aku ingin menikmati matahari terbenam di Wisata Bukit Surga yang berada di desaku. Setelah tiba disana, aku berjalan menuju warung kopi untuk memesan segelas teh hangat sebagai teman menikmati indahnya matahari terbenam.
"Mbak Nur, aku pesan teh hangatnya satu"
"Kamu belum pulang, Jihan?" tanya Mbak Nur tanpa menjawab minuman yang aku pesan.
"Belum, Mbak. Masih ingin menikmati indahnya matahari terbenam sebentar habis itu pulang, Mbak." Jelasku dengan lugas.
"Tunggu di sini ya, Han. Aku buatkan teh hangatmu sebentar. Aku malas bila harus mengantar di ujung Bukit Surga"
"Hmm, iya deh Mbak. Aku tunggu"
Beberapa menit terlewat, teh hangat yang aku pesan sudah jadi. Aku berjalan perlahan menuju di ujung Bukit Surga. Tampak dari kejauhan aku melihat seorang lelaki yang parasnya sepertinya sudah tidak asing lagi bagiku.
Meskipun begitu, aku tetap saja dengan niat awalku menuju ke ujung Bukit Surga tanpa memperdulikan lelaki yang sudah berada di ujung Bukit Surga. Aku duduk agak jauh dari lelaki tersebut tanpa melirik wajahnya sedikitpun.
Selang beberapa saat setelah aku meneguk teh hangatku, tiba-tiba terdengar sapaan dari arah lelaki yang duduk agak jauh dariku.
"Lho, Jihan? Ngapain kamu disini? Kok tidak langsung pulang?" sapa lelaki tersebut sembari perlahan menghampiri tempat dudukku.
"Eh, kamu bukannya yang tadi di kelas ya? Kok sudah berada di sini?" tanyaku dengan nada sedikit gugup karena kaget dia berada di ujung Bukit Surga.
"Iya, setelah kamu beritahu tadi, jam 12 siang aku langsung berangkat ke Desa Bareng untuk memastikan apa benar di sini sudah terdapat tempat wisata seperti yang kamu ceritakan sekilas. Dan ternyata yang kamu ceritakan memang benar."
"Kamu sebenarnya siapa sih? Terus tau namaku darimana? Tau asalku dari Desa Bareng juga darimana?" seruku dengan beberapa pertanyaan yang sudah tidak dapat ku pendam lagi.
"Aku itu Ali, teman masa kecilmu di Desa Bareng ini. Inget nggak? Dulu rumahku berada di ujung gang buntu rumah kamu. Aku mengetahui namamu dari Ibuku. Ibuku mendapat kabar dari budhe-ku yang masih tinggal di Bareng. Katanya, Jihan juga satu kelas samu kamu lho, le. Dari situ, aku mencoba mencari informasi tentangmu dari beberapa teman di kelas."
"Hmm, Ali?" jawabku sambil mengingat-ingat teman bermainku masa kecil.
"Iya, aku Ali yang dulu pernah kamu ajarin naik sepeda kemudian nabrak pohon rambutan itu lho"
"Oalah, iya-iya aku inget Al"
Setelah obrolan tersebut, aku dan Ali menjadi seperti dua sahabat yang telah lama berpisah yang dipertemukan kembali di ujung Bukit Surga.
Cerpen by Muhammad Rizal Hermawan