Hal diatas penting karena masyarakat Jawa menyukai keselarasan dalam hidup. Seni kerajinan ukiran juga berfungsi sebagai manifestasi dari sebuah sikap yang menunjukkan kepribadiannya sehingga ukiran di daerah pesisiran sifatnya lebih terbuka.
Seperti diketahui bahwa orang Jawa yang religius dan mistis mengaitkan berbagai hal kehidupan dengan Tuhan yang bersifat rohaniah, menghormati roh nek moyang, leluhur, serta kepercayaan yang tidak tampak dalam orang Jawa, maka menggambarkan simbol-simbol.
Masuknya Islam sebagai agama yang struktural, memiliki ajaran-ajaran yang harus ditaati oleh pemeluknya (ditentukan oleh aturan-aturan tuhan) yang mengatur secara pasti kehidupan manusia, baik sebagai perorangan maupun sebagai anggota masyarakat. Maka Islam mempunyai pola komposisi yang simetris, bentuk motif-motif dan penempatannya yang terukur (geometris) dan arah gerak garis ukiran yang pasti, mencerminkan adanya keteraturan, kepastian yang sejalan dengan landasan pola berfikir yang tumbuh didalam mesyarakatnya (Syarif, 2003: 34). Perkembangan yang demikian mempunyai pengaruh yang kuat terhadap gaya ukiran Jepara.
Syarif (2003: 34) juga menambahkan bahwa cahaya merupakan simbol kehadiran Tuhan. Identifikasi cahaya dengan prinsip spiritual yang sekaligus membentuk, mengatur, dan membebaskan ini merupakan faktor yang menentukan karya seni Islam. Maka akan menjadi logis, apabila ukiran-ukiran di Jepara sebagai sentra daerah Islam dengan bentuk garis benangan-benangan dalam daun seperti berbentuk memancarkan garis cahaya yang menyebar ke segala arah.
Berbeda dengan gaya ukiran Bali, ajaran Hindu menjadi dasar yang mendukung perkembangan seni ukirnya, yang juga meneruskan tradisi Hindu Jawa. Pengolahan bentuk atau komposisinya yang tidak memulai dari bentuk geometris, tetapi melihat dan menggambarkan keadaan kehidupan nyata, sehingga gaya ukirannya naturalis serta komposisinya tidak simetris.
(IGJEPARA.COM/ May 11, 2011)