Mohon tunggu...
KOMENTAR
Healthy

Model Mendidik Anak yang Menginspirasi

14 Januari 2014   22:27 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:50 397 0
[caption id="" align="alignnone" width="690" caption="google.image"][/caption] Sebagai anak, aku sangat bersyukur sekali terlahir dari kedua orang tua yang mampu memberi contoh cara mendidik anak dengan baik. Setidaknya ini penilaian subyektifku sebagai seorang anak terhadap orang tuaku sendiri. Aku benar-benar dibuat kaget dan ndak habis pikir tentang bagaimana cara ibuku mendidikku. Setelah tumbuh menjadi remaja dewasa ini, waktuku lebih banyak untuk menemani ibu di rumah ketika pulang kampung. Banyak hal yang aku dapat dari beberapa obrolanku dengan ibu. Aku dibuat merasa menjadi anak paling beruntung karena terlahir dari rahim ibuku tercinta. Walaupun beliau hanya lulus sekolah tingkat dasar, kemampuan mendidik yang beliau terapkan sangat relevan dengan teori-tori mendidik anak modern yang baru-baru ini aku pelajari. Sungguh, ini merupakan teladan luar biasa untuk diterapkan untuk istriku kelak ketika mendidik anaknya. Dan aku yakin, cara mendidik yang beliau terapkan juga diterapkan oleh sebagian ibu-ibu lain. Namun beberapa kasus yang aku temui ketika ibu-ibu mendidik anak, seringkali membuatku miris. Alasannya memang sayang kepada anaknya. Namun dalam pelampiasan rasa sayangnya, seringkali ibu-ibu itu belum mengetahui ilmunya sehingga membuat dampak negatif jangka panjang pada anaknya kelak. Bagaimana cara ibuku mendidikku? Pertama, Ibuku tidak pernah memarahiku. Melihat bagian ini, mungkin ada yang berpikiran bahwa aku ini anak manja. Tidak pernah dimarahin. Padahal tidaklah demikian. Kedua orang tuaku tak sekalipun mendidikku menjadi anak manja. Buktinya, aku sudah mandiri sejak SD. Namun bukan ini yang akan kita fokuskan. Aku akan membicarakan tentang mengapa ketidakmarahan ibuku justru bisa menjadi suri tauladan yang baik untuk diterapkan dalam mendidikan anak. Dalam teroi “Bedah Otak”yang diggas oleh Abi Hanif dan Umi Ida dijelaskan bahwa racun kecerdasan adalah ‘kemarahan’, ‘hinaan’, dan ‘larangan’. Otak anak yang masih balita memiliki 10 triliyun dendirt yang masih aktif. Hal inilah yang menyebabkan anak tidak bisa diam. Bagi orang tua yang tidak paham, anak yang tidak bisa diam seringkali disebut sebagai anak nakal. Tak heran jika anak-anak usia balita seringkali memancing kemarahan orang tua. Bagi orang tua yang tidak sabaran, anak-anak ini dimarah-marahin dan disusul dengan hinaan atau makian. Mengenai hinaan, nanti akan dibahas lebih detail pada bagian lain. Ketika anak itu mendapat marahan, maka yang terjadi adalah dendirt yang seharusnya berkembang, justru akan semakin mati. Setiap kena marah, maka akan ada dendirt yang mati. Begitu seterusnya. Semakin sering dimarahin, semakin banyak pula dendirt yang akan mati. Dari yang berjumlah 10 triliyun sel, bisa terpangkas hanya 1 triliyun bahkan kurang. Inilah yang menyebabkan tingkat kecerdasan pada anak berkurang. [caption id="" align="alignnone" width="407" caption="doc.pribadi"][/caption] Hal ini benar-benar aku lihat contoh nyatanya. Aku punya tetangga dekat rumah yang melakukan hal ini. Namanya ibu pastilah mencintai anak-anaknya. Namun karena ibunya kurang mengerti tentang bagaimana cara mendidik anak dengan baik, akhirnya ibu itu cenderung suka memarah-marahi anaknya ketika salah. Dan itu dilakukan ketika ankanya masih usia balita. Sungguh ironi. Alasan klasik yang biasa digunakan orang tua ketika memarahi anaknya adalah “Ibu memarahi kamu karena ibu cinta sama kamu nak”.  Padahal, tak semua cinta diikuti dengan kasih sayang. Jika memang sayang, tentunya kemarahan apalagi kekerasan tidak akan dialami oleh anaknya. Inilah yang terjadi. Ketika sudah beberapa tahun tidak bertemu karena jarang pulang dari pondok, aku benar-benar dikejutkan dengan kabar bahwa anak itu tidak naik kelas. Kualitas intelektualnya dibawah rata-rata teman sebayanya. Akupun membatin nakal “Pantes. Cara mendidik anaknya saja seperti itu”. Aku benar-benar kasihan pada anak itu. Masa depan intelektualnya harus rela terenggut tanpa disadari oleh ibunya. Inilah yang membuatku bersyukur atas model pendidikan yang ibu terapkan kepadaku. Ibuku tak pernah memarahiku. Bahkan aku mencoba mengingat-ingat, kapan dan saat apa ibu pernah marah-marah padaku. Tak sedikitpun aku ingat. Atau bahkan memang tidak pernah sama sekali. Inilah yang membuatku berkesimpulan bahwa ibuku tidak pernah memarahiku. Pernah suatu ketika, ibuku membeli sandal baru yang cukup bagus dan mahal. Sandal itulah yang biasa digunakan ibuku untuk menghadiri undangan-undangan penting. Aku tak tahu persis usia berapa waktu itu. Intinya belum sekolah. Nah, melihat ada sandal bagus, naluri keingin tahuanku tak terbendung untuk meraihnya. Biasa. Anak kecil suka main-main. Namun ternyata aku tak cukup memainkan sandal ibuku. Karena masih penasaran, akhirnya aku mengambil pisau dan memutilasi sandal ibuku sampai tidak berbentuk. Tak cukup sampai disitu, kemudian aku membuangnya ke parit. Habis sudah sandal itu. Apa reaksi ibuku? Inilah yang benar-benar di luar dugaanku. Umumnya orang tentu akan sangat marah atas perilaku anaknya yang cukup ceroboh dan tidak mengetahui barang mana yang digunakan untuk mainan. Namun ibuku tak semerta-merta memarah-marahiku. Jengkel mungkin iya. Namun hal itu tidak beliau lampiaskan melalui kemarahan. Beliau bercerita ketika itu beliau hanya bisa menangis tersendu-sendu melihat ulahku. Eh, bukan. Beliau kecewa karena sandalnya yang paling bagus itu sudah raib menjadi korban ‘kekejamanku’. Hanya nangis. Tak ada marahan untukku. Aku sudah tak ingat kejadian ini. Ibuku yang bercerita. Satu hal lucu yang membuatku tertawa adalah ketika kecil, aku pernah membanting piring di hadapan ibuku persis. Bukannya marah, beliau justru tertawa terpingkal-pingkal. “Kok bisa ndak marah?” batinku saat diceritai ibuku. Ibukupun menceritkannya kembali sampai tertawa. Aku pun ikut ketawa walaupun ndak ingat persis kejadiannya. Waktu aku mecahkan piring, kata beliau aku bilang gini “Lho buk, wapik.” (lho bu, bagus). Mecahkan piring aku anggap bagus. LOL Masih banyak contoh lain. Ketepatan dari kecil aku memiliki rasa ingin tahu yang cukup tinggi. Tiap kali dibelikan mainan, ndak pernah awet. Sama sekali. Namun biarpun begitu, aku tak pernah sampai dimarah-marahin sama ibuku. Prinsipnya, kemarahan itu adalah racun kecerdasan. Ketika hendak marah, tanyakan pada diri kita “Mahal mana kecerdasan dengan.... (Sandal misalnya)”. Ketika melihat anak mencoret-coret tembok dan membuat kita ingin marah, katakanlah “mahal mana, tembok dengan kecerdasan?”. Atau “mahal mana tembok dengan masa depan?”. Orang tua cerdas tentu akan memilih kecerdasan. Ini untuk mentralisir kemarahan pada anak. itulah prinsip yang ditanamkan dalam pelatihan Bedah Otak. Pelatihan ini sangat direkomendasikan untuk guru, orang tua, maupun calon orang tua. Kedua, Ibuku tak pernah mengejek. Sejak balita hingga sekarang, tak sekalipun kata-kata berupa ejekan terlontar dari ibuku. Tak pernah ku dengar ibuku ngata-ngatain aku sebagai “anak nakal”, “anak ndableg”, “anak ndak bisa diatur”, “anak bodoh”, “guoblok” apalagi dengan perkataan merendahkan seperti “koe anake sopo to le? Anglemen aturane?” (kamu ini anak siapa to? Susah benar aturannya). Tak pernah aku mendengar kata-kata itu dari ibuku. Walaupun sebenarnya, aku bisa dibilang anak nakal. Suka kluyuran ndak jelas. Kadang ke hutan, kolong jembatan, sungai. dll. Waktu kecil aku suka mbolang (bocah petualang). Suka ngilang juga. Pulang-pulang bawa ular dan kelelawar. Berkali-kali dilarang, tetep aja aku lakukan. Memang ndableg. Tapi ndak sampai dikatai-katai ndableg apalagi goblok! Jika melihat kasus tetanggaku yang tadi aku ceritakan, hinaan seperti anak nakal, ndabelg, bodoh, dll, selalu menjadi makanannya sehari-hari. Salah dikit aja, langsung dimarahin dan dimaki-maki. Sungguh. Sangat ironi melihat nasibnya. Dia mendapat perlakuan ‘kejam’ orang tua atas dalih ‘rasa cinta’. Itulah cinta yang tidak ada ilmunya. Berbahaya. Namun tidak terasa dan tidak disadari oleh pelakunya. Dalam kajian Teknologi Pikiran yang aku pelajari baru-baru ini, manusia memiliki dua jenis pikiran. Pertama pikiran bawah sadar (sub-conscious mind). Kedua, pikiran sadar (conscious mind). Prosentase pengaruh pikiran bagi kehidupan manusia dipegang penuh oleh pikiran bawah sadar. Dia menghandel sekitar 88% kendali hidup manusia. Ada pula yang mengatakan hanya 80%. Intinya kendalinya lebih besar dalam mempengaruhi hidup kita. Pikiran bawah sadar inilah tempat kepribadian, karakter, sifat, persepsi, kepercayaan dan kebiasaan. Memori ingatannya jangka panjang atau LTM (Long Term Memory). Sedangkan 12% barulah dipegang oleh pikiran sadar. Pikiran sadar inilah tempat berpikir waras, logis, dan tempat penentuan kehendak (will), serta mengidentifikasi data yang masuk. Memori ingatannya bersifat jangka pendek atau STM (Sort Term Meory). Pikiran sadar dan bawah sadar bisa diibaratkan seperti gunung es dibawah ini. [caption id="" align="alignnone" width="720" caption="doc.pribadi by Rizal"][/caption] Inilah yang menyebabkan seseorang sulit merubah karakternya. Terutama yang ingin menghilangkan kebiasaan buruk. Secara sadar dia ingin berubah, namun pikiran bawah sadarnya melakukan penolakan karena sudah menjadi kebiasaan. Pernahkan Anda merasakan hal itu? Ingin merubah kebiasaan buruk namun tidak mampu melakukannya? Ataupun kalo bisa, hanya bisa sementara? Inilah bukti nyata dari kekuatan pikiran bawah sadar yang pengaruhnya begitu kuat dalam kehidupan kita. Pembahasan detail tentang ini bisa menghabiskan satu buku sendiri. Disni aku hanya menyampaikan seperlunya sebagai tambahan wawasan. Ketika balita usia 0-5 tahun, mereka hanya membawa satu jenis pikiran saja. Yaitu pikiran bawah sadar. Pikiran sadar yang berungfusngi sebagai ‘filter’ informasi akan mulai terbentuk ketika usia anaka diatas 5 tahun. Salah sifat dari pikiran bawah sadar adalah menerima mentah-mentah informasi apapun yang diberikan padanya. Ia mampu menyerap informasi layaknya spons yang menyerap air. Sangat cepat dan benar-benar copy-paste tanpa penolakan. Hal ini bisa dibuktikan ketika seseorang dalam kondisi hypnosis. Ketika dalam kondisi hypnosis, pikiran sadar sesorang akan (off). Yang lebih aktif adalah pikiran bawah sadarnya. Akibatnya orang berada dalam kondisi ini akan cenderung menerima informasi apapun yang diterimanya. Kertas dibilang uang, akan dikira uang. Air panas dibilang es, akan dikira es. Ringan dibilang berat, akan dikira berat. Dan anehnya, itu benar-benar mereka merasakan walaupun bukan kenyataanya. Aku pun sringkali mempraktekkan hal ini. Salah satu contonya adalah ketika mencoba menghypnosis salah satu santri untuk meminum air panas yang baru saja aku seduh. Ketika aku sugesti menjadi es, ia pun dengan enteng memegang gelasnya kemudian langsung meminum dan menikmatinya. Dia terlihat enjoy dan sama sekali tidak kepanasan. Padahal, menyentuh gelasnya saja tanganku tidak kuat. Ajaibnya, dia tetap merasakan dingin walaupun sebenarnya panas. Inilah salah satu kehebatan pikiran bawah sadar. Tapi jangan tanya ketika sadar. Lidahnya mloncot. Ntah, bahasa indonesia mloncot itu apa. Mungkin sama dengan melepuh. Kalo ingin tahu rasanya, silakan dicoba sendiri dirumah ya. Hehe. Ini percobaan terngawur yang pernah aku lakukan. Setelah itu aku tak pernah mencoba adegan ekstrim itu. Bayangkan ketika anak masih kecil dan kemudian diberi infomasi bahwa dia adalah anak nakal, anak ndableg, anak bodoh, anak kolot, anak ndak punya sopan, ndak punya tata krama, anak goblok, dan lain sebagainya. Apa yang terjadi? Kata-kata itu bagaikan software berupa virus yang akan ter-install otomatis dalam pikiran bawah sadarnya. Ketika kata-kata itu sudah ter-install, kata-kata itu akan berubah menjadi karakternya. Ketika anak itu dibilang nakal, maka kata-kata itu akan langsung dia terima tanpa penolakan. Ketika dia dibilang bodoh, maka dia pun akan akan langsung menerimanya tanpa penolakan. Ini sebuah kengerian jika sampai dilakukan. Ketika tumbuh menjadi anak-anak dan kemudian remaja, dia akan tumbuh dengan konsep diri sebagaimana orang tua dan lingkungannya ‘meng-install’ pikirannya. Karena itu hati-hatilah mengucap kata negatif pada anak. Bayangkan jika kata-kata negatif itu diubah menjadi kata-kata yang positif. Seperti kamu hebat, kamu anak pintar, kamu anak sholeh, kamu semangat, dll. Maka dia pun akan tumbuh dan berkembang sesuai dengan kata-kata yang ‘ter-install’ dalam pikirannya. Ketiga, Ibuku tak pernah membanding-bandingkan. Aku dua bersaudara dengan adekku. Tentunya kami sangat berbeda. Kelamin jelas. Orang adekku cewek. Namun bukan itu yang ku maksud. Walapun dari sisi akademik adekku tidak beprestasi sebagaiman kakaknya, ibuku tak sekalipun membandingkan adekku denganku. Tak pernah terlontar “itu lho, kakakmu bisa rangking. Masak kamu ndak bisa? belajar yang giat dong?”. Maunya orang tua sih baik. Yaitu untuk memotivasi anaknya agar bisa lebih terpacu mengejar prestasi. Namun cara memotivasi dengan membanding-bandingkan anak adalah tindakan yang kurang adil dan bijak. Masih ingat tulisanku sebelumnya yang berjudul “Memakasa Anak Ayam Jadi Elang”? jika belum, aku sarankan baca agar lebih paham. Bisa dicek di kronologi. Teori inilah yang digagas oleh Howard Garder dengan Multiple Intelligences-nya. Multiple Intelligences (Kecerdasa Majemuk) inilah teori paling adil dalam mengukur kecerdasan seseorang. Di dalamnya mencakup 9 kecerdasan berganda pada setiap manusia. Diantaranya; Kecerdasan Spasial Visual, Logis-Matematis, Intrapersonal (kecerdasan diri), Musikal, Natural, Bodi kinestetik (gerak), Interpersonal (sosial), Linguistik (bahasa), dan Spiritual. Keterangan masing-masing kecerdasan ini bisa sangat panjang. Menghabiskan satu buku khusus untuk belajar lebih detail. Efek dari mebanding-bandingkan ini akan berakibat lemahnya motivasi anak untuk berkembang lebih baik. Dia akan manjadi anak minder. Merasa lemah tak berdaya dan merasa tidak memiliki kelebihan apa-apa. Dia merasa minder karena kelemahannya dibandingkan dengan kelebihan teman-temannya. Ini sama saja membandingkan ayam dengan elang. Ayam yang memang tak mampu terbang di paksa terbang layaknya elang. Keempat, Ibuku membebaskan pilihanku. Tak hanya ibuku. Ayahkupun membebaskanku memilih bidang apapun yang aku suka. Beliau berdua tak perneh mendiket mau jadi apa aku kelak. Tugas beruda hanya memfasilitasi saja. Sejak SD dampai sekarang beliu selalu mempercayakan pilihan itu padaku. Tak pernah dipaksa harus mondoklah, masuk sekolah inilah, sekolah itulah, dlsbnya. Perlakuan semacam ini bisa memacu kemandirian, kepercayaan diri, serta kematangan mental. Anak akan memiliki prinsip hidup yang jelas. Tidak menggantungkan pilihannya terhadap orang lain. Hal ini pula yang membuat anak memiliki motivasi belajar tinggi. Anak merasa dihargai dan merasa bertanggung jawab atas pilihan-pilihan hidup yang dia ambil. Ketika terjadi keganjalan dalam pilihan, ayah dan ibuku tak langsung melarang. Melainkan memberi wawawasan, kalo milih ini konsekuensinya aku harus gini. Kalo milih itu, konsekuensinya itu. Hal ini benar-benar membuatku harus benar-benar tanggung jawab atas pilihan yang aku ambil sendiri. Masih banyak sebenarnya. Namun karena sudah larut malam dan harus segera istirahat, aku akhiri dulu sampai disini. Inilah yang membuatku tak habis pikir pada ibuku. Mungkin jika ini dilakukan oleh seorang sarjana, hal-hal diatas agak pantas dilakukan. Terkadang, yang sudah sarjana saja masih minim pengetahuannya tetang mendidik anak. Saking curiganya, aku sampai bertanya pada ibuku apakah beliau pernah membaca-mbaca buku tentang mendidik anak. Ternyata beliau menjawab tidak pernah sama sekali. Aplagi ikut training maupun seminar. Mungkin baru satu buku saja yang beliau baca dari awal sampai akhir. Yaitu buku berjudul “Tinta Emas di Kanvas Pesantren” karya putra tercintanya ini. Hehe... Namun, sungguhpun demikian walaupun beliau tidak mengerti seluk beluk teori yang beliau terapkan dalam mendidik anak, model pendidikan anak yang beliau terapkan sangat relevan dengan ilmu pengetahuan moderen yang saat ini berkembang. Sungguh ketulusan yang luar biasa dari seorang ibu dalam mendidik anaknya. Tambahan lain dari teladan beliau adalah, beliau tidak pernah membenci anaknya sama sekali walaupun anaknya nakal. Beliau hanya ‘bekerja’ mendidik anak saat usiaku dan adekku masih balita. Baru setelah SD, beliau buka toko untuk membantu ekonomi keluarga. Dalam kajian teorinya, ini tindakan yang sangat tepat. Seorang ibu yang langsung turun tangan dalam mendidik anak diusia balita akan jauh lebih berhasil jika dibandingkan dengan anak yang tidak ditangani ibu kandungnya secara langsung. Anak yang sering dititipkan pada baby sister akan kehilangan ‘profile’ ibunya. Satu hal lagi yang tak kalah penting dan membuatku sangat terharu adalah, setiap malam beliau selalu shalat khajat khusus untuk anak-anknya. Setiap malam tanpa henti. Ini pun baru aku ketahui setengah tahun belakangan. Setelah mengetahui ini, aku dibuat malu jika tidak shlat hajat untuk ibuku. Inilah yang mungkin membuatku bisa seperti sekarang ini. Sungguh, kesyukuran yang amat mendalam atas semua limpahan karunia Allah ini. Ok, lain kali disambung lagi ya ^_^. Mohon kritik dan saran untuk penulis amatir ini. salam SUPER SEMANGAT! ~A.S. Rizal~ Pendekar Trainer | @RizalSemangat

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun