Mohon tunggu...
KOMENTAR
Pendidikan

Bedah Buku; Ashabul Kahfi Melek 3 Abad

30 November 2013   22:50 Diperbarui: 24 Juni 2015   04:28 263 0
Bismillahirrahmanirrahim... Siang ini adalah salah satu siang yang menurutku sangat berkesan. Pertemuanku dengan Dr. Nadir dan dr. Chia memberi tambahan pemahaman serta memperkuat pendapatku tentang apa yang selama ini aku pegang sebagai sebuah prinsip dalam berpikir. Prinsip berpikir ini memang penting diketahui oleh banyak orang. Tanpa mengetahui prinsip berpikir yang baik, maka manusia bagaikan robot yang bisa diseter seenaknya oleh siapapun. Padahal secara fitrah, manusia diberi kehendak untuk memilih. Manusia punya akal untuk berpikir dan menentukan pilihannya. Apa yang tersedia di muka bumi ntah itu kebaikan maupun keburukan ada2lah sebuah pilihan yang diambil berdasarkan presepepsi serta olah pikir yang dihasilkan oleh manusia itu sendiri. Karena itulah sangat naif jika masih ada orang yang merasa dirinya paling benar. Paling pintar. Paling hebat. Orang yang selalu merasa ‘paling’ menunjukkan betapa dangkalnya wawasan yang dimilikinya. Hanya orang-orang berpengatahuan luaslah yang akan senantiasa bersifat terbuka atas segala perubahan serta pengetahuan yang kian hari kiat berkembang dengan cepat. Salah satu ciri oang yang berilmu adalah semakin dia mempelajari sesuatu akan semakin ‘haus’ akan ilmunya. Bukan justru semakin puas atas ilmu yang ia dapatkan. Hal inipun menjadi prinsipku ketika menghadapi sebuah perbedaan pendapat. Beda pendapat bagiku adalah suatu hal yang sangat wajar. Karena itulah aku tak terlalu ambil pusing untuk bedebat pada orang yang kolot, tidak terbuka, dan merasa dirinya paling benar. Apalagi jika orang itu tidak memiliki wawasan yang cukup namun merasa paling benar. Aku paling menghindari untuk berdebat dengan orang semacam itu. Biarlah orang itu menganggapku bodoh karena menghindari perdebatan, yang penting bagiku bukanlah berdebat kusir yang tak perlu. Daripada mengalokasikan waktu untuk berdebat, lebih baik aku memilih memperdalam ilmu melalui buku, diskusi dan guru. Bukan berdebat. Lho, apa bedanya? Ya jelas beda. Makna kata dan konteksnya berbeda. Walaupun ada kesamaan dari segi komunikasi, namun tetap saja memilik ciri khas yang berbeda. Tujuannya pun berbeda. Orang yang melakukan perdebatan selalu dipenuhi oleh orang-orang yang merasa dirinya paling benar. Salah satu tujuannya adalah mempertahankan kebenaran yang dia miliki. Bagaimanapun argumen yang dilontarkan akan bersifat apalogi. Tak mau mengalah. Maunya benar dan paling benar. Itu berdebat. Karena itulah perdebatan selalu diliputi dengan amarah dan arogansi. Bahkan seringkali menjatuhkan dan melecehkan. Ketika pendapatnya dipatahkan, dia akan malu mengakui bahwa dirinya salah. Itulah ciri khas perdebatan. Beda sekali dengan diskusi. Jika perdebatan selalu dijejali oleh orang orang-orang yang merasa dirinya paling benar, diskusi tidaklah demikian. Pembicaraan yang ada pada diskusi lebih mengarah pada pencarian kebenaran. Sehingga argumen-argumen yang terlontar besrifat presentatif dan terbuka. Saling mengoreksi antar satu dengan yang lain. Komunikasi berjalan dengan sehat dan tidak ada yang merasa paling benar. Semua yang hadir dalam diskusi mengutamakan tabayyun dalam berpendapat. Tidak saling menjatuhkan apalagi melecehkan. Jika memang terjadi perbedaan yang tidak terselesaikan ya sudah. Setiap pendapat benar kembali kepada pribadi masing-masing tanpa ada paksaan. *** STOP! Jika merasa kepanjangan, bisa langsung diloncati pada bagian ketiga yang terpisah dengan simbol (***) agar dapat endingnya. Jika ingin lebih mendramatisir, dibaca lengkap juga boleh... hehe. Stay Enjoy! ^_^ *** Siang ini begitu berharaga bagiku. Tak kusangka Allah menggerakkan langkahku untuk mengikuti bedah buku berjudul “Ashabul Kahfi Melek 3 Abad” karya Dr.H. Nadirsyah Hosen, Ph.D. & dr. Nurussyahriah Hammado, M.NouroSci. Sebelumnya aku tak begitu tertarik menyimak maupun mengikuti acara itu. Prioritas agendaku lebih mendesak daripada acara bedah buku yang langsung diisi oleh kedua penulisnya. Namun karena ada desakan hati setelah diajak oleh Mr. Islah untuk memperkanalkan metode Hanifida kepada penulis, akhirnya aku menyempatkan diri untuk ikut hadir di Aula Tebuireng yang digunakan sebagai tempat diskusi. Aku datang sekitar pukul 11.00 WIB bersama Izzal dan Izul. Sedangkan acara dijadwalkan sejak pukul 09.00 WIB. Walaupun terlambat, aku tak segan-segan memasuki aula untuk ikut menyimak penuturan materi yang disampaikan oleh kedua penulis. Waktu aku masuk, yang berbicara adalah Dr. Nadir. Kemudian dilanjut dengan dr. Chia. Karena acara berjalan datar, gelombang otakku terbawa pada level alpha. Relaks. Namun saking relaksnya, tak terasa gelombang otakku semakin turun pada level delta. Aku tertidur. Walaupun sepertinya sejenak, ternyata aku sempat ketinggalan materi yang disampaikan oleh KH. A. Musta’in Syafi’i. Biarpun singkat, aku langsung terhibur karena joke-joke yang dikeluarkan oleh beliau begitu segar dan cerdas. Dalam salah satu diskusinya, beliau menyinggung tentang makna jam’ak dari “ummi” yang berarti “ibu”. “Mengapa jamak ‘umi’ memakai “ha’”. Kenapa tidak “ummatun” tetapi justru menjadi “ummahaatun”? coba cari di buku nahwu manapun tak ada keterangan mengapa jamak “ummi” memakai “ha’”. Jluntrunge teko endi? (dari mana asalnya?). itulah hebatnya Ibu. Dari segi kata saja Allah mengkhusukan. Memuliakan. Apalagi yang lebih dari sekadar kata. Dengan adanya “ha’” pada jamak “ummi”, kalimatnya akan lebih keren. Bayangkan saja kalo ndak ada “ha’” kalimatnya berbunyi ‘ummatun’ (beliau sambil mengecilkan suara). Beda sekali jika diberi “ha’” jadinya lebih elegan “ummahaatun” (dengan nada yang besar). Kontan saja, keterangan yang beliau berikan mengundang gelagak tawa udiens. Di ending penyampaian, beliau mengatakan “diskusi yang bagus adalah diskusi yang tidak pernah selesai”. Tak berselang lama, acara buyar. Sebagian peserta menyempatkan diri untuk foto bersama dengan pembicara. Tak terkecuali aku. Ni fotonya... ^_^

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun