“Iya, masa kalian nggak pernah dengar?” Jati menatap Genta dan Ori, keduanya balas menatap.
“Gue nggak pernah denger, ngarang kali lo?” ujar Ori.
“Ah, nggak gaul. Anak-anak kampus yang lain juga pada tau,” Jati membela diri.
“Ya udah, coba lo ceritain kaya gimana ceritanya?” ucap Ori.
Cerita mereka pun dimulai lagi. Sebenarnya semua itu terjadi tanpa direncanakan. Malam itu Genta mengajak Jati dan Ori untuk berkumpul di ruang sekretariat himpunan mahasiswa, demi mengerjakan proposal kegiatan yang harus selesai besok. Untunglah, pekerjaan mereka sudah tinggal sedikit, sehingga mereka bisa menyelesaikannya sebelum tengah malam. Sambil beristirahat sejenak, mereka pun menyeduh kopi dan mulai mengobrol tentang banyak hal, sampai akhirnya gosip-gosip hantu pun meluncur begitu saja dari mulut mereka. Ori yang pertama kali memulai cerita, ia berkisah mengenai kuntilanak yang konon menunggui pohon beringin di belakang kantin. Sayangnya, gosip itu sudah terlalu pasaran, sehingga tak ada lagi yang merasa terkejut. Hingga sekarang tibalah giliran Jati.
“Gue denger kisah ini dari si Andre, angkatan dua ribu empat,” ucap Jati sambil menyeruput kopi rasa moka di cangkirnya.
“Andre yang rambut gondrong itu?” tanya Ori.
“Iya, kalian tau kan, dia teh dulu sering nginep di kampus, sebelum dia lulus,” lanjut Jati.
Genta mengangguk.
Jati menundukkan kepalanya, lalu menatap kedua temannya itu satu persatu, “Dulu, pas habis acara LPJ pengurus himpunan, dia sempat di kampus sampe tengah malam. Nah, karena ada satu urusan, dia pun inget kalau dia harus pulang ke tempat kosnya. Pulanglah dia, sekitar jam satu malam. Di tengah jalan, dia ngerasa lapar. Soalnya memang dia belum sempat makan malam karena sibuk sama acara itu.”
“Terus dia ketemu tukang cilok?” tanya Ori.
“Diam dulu, jangan motong cerita,” protes Jati, “Nah di pertigaan yang deket halte itu, kan jalanan udah sepi. Dia lagi mau nyeberang, soalnya tempat kosnya ada di gang yang deket rumah sakit. Belum sempat nyeberang, dia ngelihat ada tukang cilok, pas di samping halte.”
“Terus?” tanya Genta.
“Berhubung lapar, dia datangin tuh tukang cilok. Dia sebenernya heran juga sih, kenapa ada tukang cilok mangkal tengah malam begitu, tapi namanya juga orang lagi lapar, dia nggak mikir terlalu jauh. Tukang ciloknya pakai topi, kebetulan lagi nunduk, jadi dia nggak lihat wajahnya. Mang, beli ciloknya, kata Andre. Terus si tukang cilok nanya: Mau beli berapa? Dua ribu aja Mang, kata Andre. Langsung tah sama si tukang cilok diambilin beberapa tusuk cilok dan dimasukin ke dalam plastik kecil, terus dikasih saos. Andre bayar uangnya ke tukang cilok. Habis bayar, dia cuma balik badan sedikit, trus langsung aja dia makan satu tusuk cilok. Nah pas itulah dia ngerasa aneh. Kok ciloknya rasanya agak-agak asin dan asem gimana gitu. Dia pikir jangan-jangan itu makanan udah basi. Karena kesel, langsung aja dia balik badan dan pengen meriksa isi gerobak si tukang cilok. Dan taunya….”
“Taunya?” Genta penasaran.
“Ternyata yang ada di dalem gerobaknya bukan cilok.”
“Apaan?” Ori memburu.
“Bola mata. Bola mata manusia. Jelas aja Si Andre kaget setengah mati dan jadi mual-mual. Langsung dia keluarin lagi cilok yang ada di mulutnya, dan ternyata itu juga bola mata, saosnya itu darah. Pas dia coba natap wajah si tukang cilok, ternyata… matanya bolong…,” Jati mengakhiri ceritanya sambil menelan ludah, seolah ingin memberikan ekspresi takut.
Selama beberapa detik mereka terdiam.
“Terus Si Andre gimana? Nggak mati dia?” tanya Ori.
“Ya nggak atuh! Dia langsung lari nyebrang jalan dan pulang ke tempat kosnya. Nggak bisa tidur dia semalaman,” ucap Jati.
“Parah banget tuh Andre, bisa begitu,” ucap Genta.
“Iya, itu sih dianya aja goblok! Udah tau tengah malam, malah beli cilok. Lagian, kaya anak SD aja sih, jajanannya cilok,” ucap Ori sambil berusaha tertawa.
Jati menghela nafas dan menghabiskan kopinya. Ia dan Ori sama-sama melirik ke arah Genta, lalu mengangkat alis. Genta mengangkat kedua bahunya, seolah tidak paham apa-apa.
“Apa?” tanya Genta.
“Gantian,” ucap Jati.
“Waduh, gue nggak punya cerita kaya begitu. Beneran deh,” Genta mengelak.
“Ah nggak asik lo. Kan tadi gue udah cerita, Jati juga,” ucap Ori.
“Habis gimana dong? Emang bener nggak tau apa-apa.”
“Terus? Pulang aja nih kita?” tanya Jati.
“Nanti dulu, kopi gue masih banyak, sayang-sayang,” kemudian Ori menyalakan sebatang rokok, “Lagian gue ada satu cerita.”
“Cerita horor?” tanya Genta.
“Bukan, cerita bokep!”
Ori dan Jati tertawa, tapi kemudian Jati menghentikan tawanya dan menatap Ori, “Seriusan?”
“Haha. Mupeng banget lo! Tapi ya agak-agak sih, sedikit,” Ori menghembuskan asap rokok dari mulutnya, “Kalian tau Talita kan? Anak Teknik Kimia.”
Genta mengangguk, ekspresinya datar. Entah dia benar-benar paham atau tidak.
“Talita yang bohay tea? Yang sering lewat depan fakultas kita?” tanya Jati dengan antusias.
“Yep, yang mana lagi? Dia itu kan pacaran sama yang namanya Deri, gue nggak tau dia angkatan berapa, tapi yang jelas mereka pacaran lumayan lama,” Ori terdiam sejenak, “Pada suatu malam… mereka lagi mojok di kampus.”
“Sebentar! Mereka suka mojok di kampus?” tanya Jati.
“Iya. Tau sendiri lah, dia kan rada-rada bitchy, pacarannya juga udah bebas banget, entah udah berapa kali mereka gituan di kampus,” jawab Ori.
“Anjrit! Kenapa nggak bilang dari dulu, tau gitu gua rekam mereka pake kamera. Lumayan nambah koleksi,” ucap Jati.
“Ya tapi sekarang mereka udah nggak pernah mojok di kampus lagi. Si Deri juga udah insaf sekarang, rajin ke mesjid dia.”
“Lanjut dong ceritanya,” ucap Genta, memotong obrolan kedua temannya yang mulai keluar topik.
Jati membetulkan posisi duduknya, wajahnya tampak serius mendengarkan. Mungkin karena cerita kali ini mengandung unsur cerita dewasa.
“Malam itu mereka lagi mojok di ruangan bekas lab yang nggak dikunci. Jangan tanya gue, gue juga nggak tau yang sebelah mana, tapi kata temen gue sih ada di sebelah pojok barat sana. Mereka terus…,” Ori berdeham, melancarkan tenggorokannya lalu merubah intonasi suara, “…lalu, di tengah gelora asmara dan rasa horni yang tak terbendung, sepasang kekasih itu pun melakukan hal-hal yang tidak senonoh.”
“Biasa aja dong ceritanya,” protes Genta.
“Biarin!” potong Jati.
“Mereka mulai saling meraba dan saling merangsang satu sama lain, berpelukan, lalu berciuman. Percumbuan sepasang kekasih itu pun semakin hot. Kalian tau kan, gimana bodi Talita? Dan malam itu pun, tubuh indah itu tak lepas dari jamahan Deri, sang pacar.”
“Ini cerita bokep beneran ya?” tanya Genta.
“Biarin!” potong Jati.
“Dengan binalnya, Talita menarik dan membuka kancing-kancing di kemeja Deri, lalu ia mendorong tubuh cowoknya itu sampai terbaring di atas meja lab. Perlahan dengan penuh nafsu, Talita ikut naik ke atas meja.”
“Masa sih, dia seagresif itu?” ucap Genta.
“Biarin!”
“Wajah Talita mendekat ke tubuh Deri. Diciumnya cowok itu dengan sangat liar, dari kening, hidung, terus turun ke bawah. Lalu perlahan, dengan nafas yang menderu, Talita menjulurkan lidahnya.”
Jati dan Genta terdiam, mereka berusaha membayangkan.
“Lidah mungil dan basah itu keluar pelan di antara bibir seksi Talita.”
Suasana semakin hening, Jati menahan nafas dan larut berimajinasi.
“Kemudian.. lidah itu menjulur keluar… dan terus… semakin panjang… semakin panjang… sampai akhirnya menyentuh lantai,” Ori menatap tajam.
Jati dan Genta saling pandang. Entah kenapa Jati merasa imajinasinya seperti dirusak oleh akhir cerita itu. Sekarang seluruh tubuhnya jadi merinding.
Brak! Sebuah suara terdengar dari luar ruangan, mereka bertiga menoleh ke arah pintu. Jantung mereka tiba-tiba saja berdetak lebih kencang dari biasanya, hingga kemudian terdengar suara kucing yang sedang kesepian mencari teman. Jati menghembuskan nafas lega.
“Anying! Kirain ceritanya kaya gimana!” Jati mulai protes.
“Aneh ya?” tanya Genta.
“Iya bener! Nggak masuk akal, masa Talita bisa begitu?” Jati menimpali.
Ori menghela nafas dan membuang abu rokok ke dalam asbak, lalu mulai menjelaskan lagi, “Jadi gini. Habis ngelihat kejadian horor kaya gitu, Si Andre langsung lari sambil teriak-teriak. Katanya Si Talita berlidah panjang juga sempet ngejar-ngejar Andre sampai ke lapangan basket. Untungnya, Andre ketemu ama satpam yang lagi jaga tempat parkir, makanya dia selamat. Nah besok paginya, dia baru sadar kalo ternyata Si Talita yang asli tuh semalam sama sekali nggak keluar rumah. Jadi itu bukan Talita.”
Jati mengangguk-angguk, sepertinya dia mulai paham. Tapi tetap saja, khayalan tentang wanita cantik berlidah panjang masih belum bisa hilang dari dalam benaknya. Di tengah usaha untuk mencari khayalan lain, tiba-tiba ia teringat sesuatu.
“Kayanya gua juga pernah denger, yang kaya gitu. Hantu yang suka niru orang lain,” ucap Jati sambil menggaruk-garuk keningnya.
“Iya ya, kayanya pernah ada kasus lain yang mirip,” Ori membuang puntung rokok, lalu menghabiskan sisa kopinya. Sejenak mereka berpikir dan berusaha mengingat-ingat, sampai akhirnya Genta angkat bicara.
“Kalau soal itu, gue tau,” ucap Genta singkat. Jati dan Ori menoleh ke arah Genta.
“Tadi katanya nggak punya cerita apa-apa?” ujar Jati.
“Hantu peniru itu,” ucap Genta, “biasanya meniru wujud orang yang kita kenal, bisa teman, pacar, atau keluarga. Dan dia itu cuma muncul waktu malam-malam, nggak pernah siang.”
Ori mengerutkan kening dan mendengarkan Genta dengan serius. Sementara itu Genta melanjutkan lagi ceritanya.
“Soalnya, kalau siang hari, dia ngikutin orang yang bakal ditirunya. Waktu siang dia nguping pembicaraaan orang itu, mata-matain setiap kegiatannya, pokoknya nyari informasi selengkap-lengkapnya. Pastinya dia itu nggak keliatan, namanya juga hantu atau jin. Nah, pas matahari terbenam, barulah dia berubah wujud, terus ngundang teman atau kenalan orang yang dia tiru, ngajak ngobrol, jalan-jalan, atau apa aja yang biasa orang itu lakuin. Dia bakal mainin orang itu sampai dia puas, dan kalo dia udah puas… dia tinggal ngasih kejutan. Ya kaya lidah panjang tadi, atau kaki yang ngambang, atau menghilang tiba-tiba. Semacam itu deh,” ucap Genta tenang.
Ori memegang dagunya sendiri dan mulai bergumam, seperti sedang berpikir atau berusaha meresapi cerita Genta.
“Lo tau dari mana tentang semua itu?” tanya Ori.
Genta hanya tersenyum. Melihat reaksi yang janggal itu, Ori dan Jati saling pandang satu sama lain.
“Mau nakut-nakutin ya? Kampring ah, nggak lucu!” ucap Jati sambil terkekeh geli. Genta ikut terkekeh.
“Masih ada cerita yang lain?” tanya Ori pada Genta. Genta hanya menggeleng. “Yaudah, kalo nggak ada lagi, kita pulang sekarang. Sebentar lagi udah jam satu nih.”
Mereka bertiga pun segera bangkit dari karpet tempat mereka duduk, tidak lupa Ori mematikan komputer serta merapikan kertas-kertas di atas meja. Karena esok tidak ada jadwal kuliah, jadi mereka bisa santai-santai bergadang di kampus, selain juga sengaja untuk memanfaatkan fasilitas sekretariat himpunan. Ketika Jati yang memegang kunci bersiap untuk mengunci pintu, tiba-tiba Genta pergi meninggalkan kedua temannya dan masuk ke dalam toilet.
“Genta kemana?” tanya Jati setelah mengunci pintu.
“Ah, paling juga kebelet.” jawab Ori santai.
Sambil menunggu Genta, mereka duduk di atas kursi panjang yang letaknya tak jauh dari toilet. Suasana tengah malam sudah sangat sepi, dan udara malam pun terasa menggigit tulang. Sesekali Jati memeluk tubuhnya sendiri yang dibalut sweater hitam, sementara Ori kembali menyalakan sebatang rokok demi menghangatkan tubuh. Sudah lima menit mereka menunggu, tapi Genta tak juga keluar dari toilet.
“Cepetan Ta! Boker ya lo?” teriak Ori dari luar pintu toilet.
“Pasti, dari tadi nggak ada suara air,” timpal Jati.
Mereka menunggu lagi, udara semakin dingin. Sudah lima menit, namun batang hidung Genta belum juga muncul. Jati akhirnya meminta rokok Ori, dan dengan itu ia telah membatalkan rencananya untuk berhenti merokok. Apa boleh buat, udara dingin ini memaksanya mencari pelarian. Lima belas menit berlalu, sepertinya Genta masih belum selesai. Mencoba mengusir kebosanan, Jati mengambil ponsel dari saku celananya, dan pada saat itu ia baru menyadari ada pesan singkat yang masuk ke nomornya. Ia membuka pesan itu dan membaca isinya, lalu menahan nafas.
“Kenapa?” tanya Ori.
“SMS, dari Genta. Katanya ‘Jat, gue baru inget soal proposal untuk besok siang. Besok pagi jam tujuh kita ketemuan di sekre ya. Sekarang gue bikin sebagian dulu, sisanya mesti diomongin bareng-bareng, kasih tau Ori’,” ucap Jati membacakan SMS di ponselnya.
Mendengar isi pesan tersebut, Ori segera bangkit dari duduknya dan berjalan ke arah toilet. Dengan agak kesal, ia mengetuk-ngetuk pintu toilet.
“Genta! Udah lah, nggak usah becanda lagi, cepetan, kita udah kedinginan!” teriak Ori.
Merasa tak ada balasan dari dalam toilet, Ori pun memutar kenop pintu toilet dan mendorongnya. Ternyata tidak dikunci. Perlahan-lahan, ia melongok ke dalam ruangan toilet, memeriksa isi toilet itu. Dengan wajah yang berubah pucat, ia menoleh ke arah Jati dan berbisik pelan.
“Kosong…!”
Jati segera bangkit dari kursi, seluruh tubuhnya merinding. Lalu tanpa banyak bicara lagi, kedua orang mahasiswa itu segera berlari menjauh dari tempat itu menuju gerbang kampus. Pikiran mereka tidak karuan dan mulai mengingat-ingat keanehan Genta selama semalaman ini. Genta yang mengajak mereka bertemu di kampus malam-malam, namun ia tak banyak berkontribusi dalam membuat proposal. Ia juga tak banyak menimpali percakapan kecuali cerita mengenai hantu peniru. Dalam pikiran mereka, pasti mereka baru saja dikerjai hantu peniru itu.
Dua menit setelah kedua orang itu lari terbirit-birit, pintu sebuah lemari tua di sebelah toilet terbuka. Dari dalam lemari tua itu, Genta keluar dan tertawa puas. Tak disangka ia mendapatkan ide yang bagus ketika keluar dari toilet. Ia menemukan lemari besar yang hanya diisi beberapa gagang sapu dan pembersih lantai, dan ia pikir itu akan melengkapi lelucon yang sudah melintas dalam pikirannya. Genta pun masuk ke dalam lemari itu dan mengirim SMS ke ponsel Jati. Sebenarnya ia tidak berharap kedua temannya bisa tertipu semudah itu. Ia pikir seorang di antara mereka akan mengecek ke dalam lemari, lalu Genta bisa melompat keluar sambil mengagetkan mereka. Tapi rupanya cerita-cerita seram yang mereka obrolkan sebelumnya telah mempengaruhi cara berpikir rasional mereka, sehingga mereka lebih memilih untuk lari ketakutan.
Sambil menyisakan senyum di bibirnya, Genta pun berjalan pulang, melewati pos satpam di dekat gerbang kampus, lalu melihat dua orang satpam sedang menonton televisi sambil terkantuk-kantuk.
“Pak, tadi liat ada dua orang yang lewat sini?” tanya Genta.
Seorang satpam yang masih tampak segar melihat ke arah Genta sambil mengecilkan suara televisi, “Oh, yang tadi keluar sambil lari itu ya?”
“Iya,” Genta berusaha menahan tawa.
“Kenapa sih mereka? Kaya yang abis ngeliat setan aja. Saya panggil, eh malah semakin cepat larinya,” ucap satpam itu.
“Maklum lah Pak, mahasiswa stres,” ujar Genta.
Keluar dari gerbang kampus, Genta baru menyadari betapa dinginnya udara dini hari. Mungkin karena tadi ia terlalu antusias dengan leluconnya, sampai-sampai tidak sadar dengan suhu udara yang rendah ini. Ia berjalan menyebrangi jalan raya yang kosong, tak ada satu pun kendaraan yang melintas, bahkan manusia pun tidak. Sudah tentu tak akan ada kendaraan umum pada jam selarut ini, jadi ia memutuskan untuk jalan kaki hingga tempat kosnya, untunglah letaknya tak begitu jauh. Kalau ia beruntung, mungkin ia bisa bertemu dengan Ori dan Jati, lalu dengan sangat puasnya menertawai mereka berdua. Ia tertawa sendiri ketika memikirkan kemungkinan itu.
Di pertigaan jalan, tiba-tiba Genta menyadari sesuatu. Ternyata ada seorang lelaki bertopi yang berdiri di pinggir jalan, di sampingnya ada sebuah gerobak. Sambil berjalan melewati laki-laki itu, Genta memperhatikan gerobaknya, dan ia menyadari bahwa laki-laki itu adalah tukang cilok. Dengan jantung yang berdebar-debar, Genta melirik ke arah jam tangannya. Jam satu malam. Dari sudut matanya ia melihat ke arah panci yang terbuka di atas gerobak itu, melihat benda-benda bulat yang memenuhi panci itu, sampai salah satu benda bulat itu berputar pelan dengan sendirinya, lalu menatap ke arahnya.
“Ciloknya, Dek?” tukang cilok menengadah, memperlihatkan lubang matanya.