Dan datanglah sang cucu, membawa sekeranjang kue dan mengenakan kerudung berwarna merah. Sang Nenek berusaha menyambutnya dengan wajar dan ramah. Namun ternyata, apa yang terjadi tak bisa ditutupi lagi. Sang Cucu sedikit demi sedikit mulai bisa menyadari.
“Nek, kenapa matamu menjadi begitu besar?”
Sang Nenek berkeringat dingin, namun mencoba untuk berkelakar.
“Tak apa, cucuku yang cantik. Mata besar ini bisa menatapmu dengan lebih baik.”
Namun tak juga merasa lega, Sang Cucu kembali bertanya.
“Nek, kenapa hidungmu menjadi begitu besar?”
Sang Nenek bingung, tapi berusaha tetap sabar.
“Tak apa, cucuku yang murah senyum. Hidung besar ini untuk membaui kuemu yang harum.”
Sang Cucu tampak tak puas, ia tak ingin berhenti membahas.
“Nek, kenapa mulutmu menjadi besar, dan gigi-gigimu menjadi tajam?”
Jantung Sang Nenek cepat berdebar, dan ia pun mulai menggeram.
“Tak apa, aku jadi dapat… aku jadi dapat …,” ia tak menemukan alasan yang tepat.
Ia melolong panjang, lalu melompat dan menerjang. Matanya yang awas tak memberikan kesempatan bagi Sang Cucu untuk melarikan diri. Hidungnya yang peka dapat mencium aroma lezat tubuh cucunya sendiri. Lalu giginya yang tajam mengoyak-ngoyak tubuh Sang Cucu, dari kepala hingga kaki.
Sang Cucu menggapai-gapai, sementara air mata berderai, dan sisa darah menggenang di lantai. Sobekan kerudung merah menjadi basah, basah oleh darah.
Malam pun berakhir, bulan telah tersingkir. Sang Nenek kembali ke wujudnya semula, ia menangisi perbuatannya. Sudah tiga kali hal ini terjadi. Ia tiduran, berharap dan berjanji. Bulan depan, di saat bulan purnama muncul kembali, ia akan berusaha agar tak memangsa cucu-cucunya lagi.