Warung bakso itu dulu miliknya. Tetapi karena berada di pinggir gang besar menuju rumahnya, Ganda melarangnya berjualan di sana. Lebih tepatnya jangan bekerja sebagai penjual bakso. Aku akan menyediakan pekerjaan untukmu, kata Ganda. Yang lebih berkelas.
Lilit hanya sebulan saja menikmati jadi bos kecil di kios yang sebetulnya bisa memberikan rasa aman pada dirinya. Delapan jam sehari, ia bertemu orang berganti-ganti. Bukan hanya itu, ia merasa menjadi dirinya sendiri dengan menjadi pedagang bakso. Setelah di rumahlah ia harus memerankan orang lain, di depan suaminya.
Ganda punya alasan melarangnya berjualan. "Bos dan teman-teman kantorku sering lewat sini," Ganda menunjuk gang besar dimana warungnya berdiri. Aku tidak mau mereka melihat istriku berjualan seperti ini. Mukaku mau ditaruh di mana kalau mereka bertanya kenapa orang sepenting aku istrinya berjualan di warung.
Lilit tak bisa protes. Ketika akan menikah, Ganda membolehkan, lebih tepatnya ia dan Ganda sepakat bahwa masing-masing tetap bekerja. Di luar rumah tentunya. Ganda tahu, ia bukan orang rumahan. Tapi ketika ia memberitahu bahwa mulai awal tahun ia akan membuka usaha makanan, Ganda tidak setuju.
Tapi Lilit bergeming. Ia mempersiapkan segala sesuatunya, termasuk pembayaran sewa kios untuk 6 bulan. Dan jadilah ia pemilik warung bakso yang melayani pembeli pk. 09.00 sampai pk. 17.00. Untuk urusan memasak ia menyewa jasa Mang Urdan.
Ganda tahu ia keluar rumah setiap hari. Tapi sebelum lelaki itu pulang, Lilit sudah duduk manis di meja makan. Ganda bukan tak tahu ia berjualan. Tapi juga tak pernah bertanya atau sekedar membincangkan berapa keuntungan didapat sehari.
Tepat sebulan setelah warungnya buka dan mulai ramai, Ganda mendatangi tempatnya. Ia berbisik, " Lit, nanti malam kita bicara ya?"
Lilit tahu Ganda hendak membahas apa. Tapi ia tak mengerti mengapa ucapan itu harus disampaikan di tempatnya bekerja. Tidak bisakah menunggunya pulang?
Ganda berhasil membuat suasana hatinya kacau sepanjang hari itu. Lilit meminta Rini menjaga warung di sisa hari itu. Jam 3 sore ia pulang dan menyerahkan sejumlah uang kembalian kepada Rini.
Tak sulit bagi Lilit itu menemukan orang-orang yang akan bekerjasama dengannya. Asalkan instruksi jelas, kesepakatan jelas, lalu aksi dimulai. Alangkah nikmatnya hidup ini kalau kita melakukan apa yang kita mau.
O ya, kemarin Ganda bilang akan mencarikan pekerjaan yang berkelas? Pekerjaan seperti apa rupanya? Ia mengenal lingkungan kerja suaminya, dan ia menghormati ekspektasinya. Tetapi mengapa ia mengatakan kalau pekerjaan menjual makanan adalah pekerjaan tidak berkelas? Padahal, pemilik usaha adalah profesi berkelas. Kelas pemilik modal. Sedangkan orang yang bekerja padanya termasuk kelas pekerja.
Ah, sudahlah. Mana suka Ganda disodorkan jokes seperti ini.
***
Lilit sengaja pulang lebih cepat supaya ia punya waktu untuk menata hatinya. Mendamaikan kekesalan yang mengurung sejak Ganda datang tak bilang-bilang. Tapi aku tak ingin bertengkar soal ini. Ia tahu, mereka bukan pasangan yang suka mengumbar kata kasar. Ia dan Ganda adalah pasangan yang sopan dalam berkata-kata. Termasuk ketika ingin bertengkar tentang sesuatu hal.
Misalnya, kalau marah, ia atau Ganda akan membawa pasangan ke tempat yang sunyi, lalu berbicara di sana. Boleh marah, dengan intonasi yang sesuai, tapi tidak berteriak.
Tepat jam 7 malam, Ganda meneleponnya. Menyuruhnya makan tanpa menunggu dia, sebab katanya sore tadi harus menjamu klien makan di luar.
Bagus juga, pikir Lilit. Kita tak perlu kikuk sewaktu makan malam. Begitu ketemu, langsung saja membicarakan persoalan inti.
Tapi keinginan Lilit tak sepenuhnya terkabul. Sejam kemudian Ganda mengirimkan pesan singkat. Pak Mordhe akan menjemputnya ke Antasari (lokasi kantor suaminya) lalu ngopi di kafe sekitar situ.
Bukan main. Ganda terlalu banyak protokoler. Ia sudah nyaman leyeh-leyeh dengan daster kesayangan, sekarang harus berganti pakaian. Tapi demi kejelasan, ia ikuti kemauan suaminya.
"Kenalkan Lit, ini Pak Anton, produsen perhiasan yang telah kusebutkan di what's app tadi."
Lilit terpana. Ganda tidak pernah sekalipun membahas soal menjual perhiasan. Tahu-tahu ia dipaksa setuju dengan pilihan suaminya. Tidak tahukah Ganda kalau ia sama sekali buta soal perhiasan, bahkan suka pun tidak? Ia sendiri tidak memakai perhiasan. Bagaimana bisa seorang penjual menawarkan barang yang tidak ia gunakan?
Tetapi Ganda adalah manipulator ulung. Ia tahu, istrinya paling tidak suka berdebat di depan umum. Ia tahu Lilit akan menurut.
Lilit menyunggingkan senyum tipis untuk menghormati pak Anton yang telah repot-repot membawa sekotak perhiasan contoh.
"Kamu hanya tinggal menjual di platform-platform marketplace. Manfaatkan grup-grup what's app yang kamu ikuti. Nanti aku juga akan masukkan kamu ke grup ibu Arlinie. Ibu Arlinie adalah orang kontak arisan para istri pegawai dimana Ganda bekerja. Dan banyak lagi saluran penjualan yang bisa jadi pasar produk ini yang disebutkan suaminya.
"Sekarang orang senang tampil di mana media sosial. Selain skincare, perempuan juga perlu perhiasan. Pasarnya belum ramai Lit. Ambillah peluang itu," bujuk Ganda.
Ganda memang pandai mempengaruhi orang, termasuk istrinya. Dan Lilit hanya sanggup mengiyakan. Kalau ada keberatan, ia akan menyampaikannya di rumah.
Dalam perjalanan pulang, Ganda tak berhenti berbicara tentang prospek bisnis perhiasan. Dan Lilit tak melihat celah untuk mendebat suaminya.
Begitulah. Setelah melepas bisnis baksonya, ia sekarang sibuk berjualan perhiasan. Pembelinya lumayan banyak. Ganda yang memberikan aksesnya. Keuntungannya juga lumayan.
Tetapi selisih rupiahnya tidak terlalu jauh dengan keuntungan kalau ia tidak tetap berjualan bakso. Mengapa Lilit mau saja mengikuti pilihan suaminya? Terus-terang, ia tak mau konflik dengan Ganda. Selain itu, ia ingin lelaki itu tetap merasa secure karena keinginannya dihargai orang.
***
Begitulah. Lilit melatih mentalnya setiap hari agar lancar menjual perhiasan. Seperti anak remaja yang dipaksa ibunya belajar main piano sampai mahir. Sang God Father adalah Ganda. Yang setiap kali akan sumringah kalau mendengar ada sekian item perhiasan terjual.
Sementara itu, Lilit mesti mencari cara untuk melepasakan ketegangannya sehari-hari. Di warung bakso Rinilah tempatnya.
"Laris mbak jualannya?" bukan Lilit yang bertanya, melainkan Rini. Siang itu, Lilit mampir ke warung Rini untuk menyantap satu mangkok bakso urat dan segelas teh manis hangat. Lilit akan memilih meja paling sudut, supaya bisa duduk berlama-lama. Tenang saja, ia akan memesan makanan tambahan.
"Seperti biasa, Rin. Daganganku lebih banyak dibeli sama relasi suamiku."
"Hmmm, ndak apa-apa mbak. Yang penting bisnis lancar," timpal Rini. Mantan asistennya itu tahu bahwa Lilit terpaksa melepas warung bakso kepadanya demi satu lelaki di rumahnya.
Tapi sudah berapa lama ia, Lilit, hidup di atas kemauan orang lain? Setelah ayahnya, kini suaminya. Rini takut suatu waktu Lilit akan melakukan tindakan tak terduga. Entah menceraikan suaminya, entah berhenti tiba-tiba, atau berbicara kepada suaminya dengan bahasa yang belum pernah diungkapkan sebelumnya.
Rini sudah sering mendengar dan menyaksikan, para perempuan yang tertekan di rumahnya akan memberontak juga. Semoga Lilit bercerita kepadanya jika ingin melakukan sesuatu. Lebih baik lagi kalau ia berbicara baik-baik kepada Ganda. Tidak ada yang lebih melegakan jika orang hidup di dalam sangkar buatannya sendiri, atas kemauannya. Bukan sangkar pemberian tapi disodorkan secara paksa.
Lilit boleh kembali berjualan di sini, dan aku menjadi asistennya, desah Rini. Lilit adalah sahabatnya. Bukan sekedar pemberi dan pencari kerja. Ia masih ingat bagaimana sumringahnya Lilit ketika berada di warung ini. Energi perempuan itu selalu menularkan kekuatan, membuatnya betah bekerja berjam-jam.
Aku berdoa semoga kamu bisa mengambil keputusan dengan tepat. Aku tahu kedatanganmu bukan sekedar makan atau mengobrol denganku. Yang utama bagimu adalah menyerap semua yang terbaik di tempat ini, meski sekadar suasana. Ya, ini adalah tempatmu, Nyonya Ganda Aruan!