Masalah pemukiman selalu ada di setiap wilayah. Ini salah satu indikasi bahwa penduduk Indonesia semakin padat saja, bukan? Dan kita sadar akan hal itu. Tetapi banyak orang yang senang menambah anak. Baik para pesohor maupun mereka yang homeless. Semua memiliki alasannya masing-masing.
5 Agustus 2005
Akhirnya dengan perasaan lega, pada tanggal 5 Agustus aku berangkat ke Jakarta. Rumah di Mandala aku tinggalkan dan minta Siska yang menempatinya kalau dia membutuhkan tempat untuk menyendiri. Kota ini luar biasa aman. Tak sampai enam bulan, aku sudah mulai membiarkan rumah tidak dikunci, kecuali kamar. Itupun kadang kunci aku serahkan kepada teman-teman kalau mereka ingin tidur di kamarku. Terlalu mempertahankan privacy juga melelahkan. Entah kapan mulainya, tetapi lambat laun aku terbiasa membiarkan orang melihat isi rumahku secara transparan.
Dua tahun kemudian ….
Barang-barang di rumahku sudah siap diantar ke tempat kos baru yang letaknya dekat dengan sekolah tempatku mengajar. Dua bulan lalu, Ibu Kartika memberitahuku bahwa rumahnya sudah terjual dan aku diminta bersiap-siap untuk pindah.
Pindah tak masalah bagiku. Aku sudah puas menempati rumah kontrakan ini tepat dua tahun sejak Agustus 2005. Rumah ini sudah menjadi saksi betapa banyaknya keputusan-keputusan penting dihasilkan dari rapat-rapat kami. Ia juga menjadi tempat curhat teman-teman mahasiswaku tentang banyak hal. Rumah dengan empat kamar dan line telepon yang kugunakan secara pribadi, yang menggenapkan impianku akan sebuah rumah tinggal.
Rumah ini letaknya di daerah Mandala, kawasan pusat bisnis level menengah. Kalau kawasan bisnis yang ‘betulan’ ada di daerah Wuwana. Dulunya sih di Kota Lama (Pecinan) yang dekat dengan pelabuhan. Tapi kemudian Pemprov/Pemkot memindahkan pusat kawasan bisnis di Wuwana. Mungkin supaya lebih terpadu dengan pusat pemerintahan dan wilayah kampus yang letaknya berdekatan. Daerah Kota Lama tetap menjadi kawasan bisnis juga, terbukti dengan dibangunnya Pasar Sentral di sana. Hanya saja, tidak seramai seperti di Wuwana dan sekitarnya.
Sejak pertama kali menginjakkan kaki di kota ini, aku sudah jatuh cinta pada topografi kotanya. Jalan raya (propinsi) berbentu huruf ‘U’ dan di tengah kota ada ‘taman’ berupa teluk. Bayangkan, teluk itu dikelilingi oleh pemukiman dan pusat kehidupan masyarakat kota ini. Aku bisa kapan saja main ke teluk untuk menikmati magisnya suasana laut. Jaraknya hanya sekian ratus meter saja dari tempat tinggalku.
Tapi kabarnya kawasan teluk akan direklamasi untuk menjadi pemukiman. Kalau berita resminya sih, sedimen di teluk Kencana akan dikeruk –bahkan alatnyapun sudah dibeli oleh Pemkot—Tapi rencana pengerukan teluk tak pernah dimulai sampai saat ini. Protes masyarakat dan tokoh-tokoh politik seperti angin lalu saja.
Dari cerita beberapa kawanku di LSM lingkungan, diprediksi kota Kencana akan semakin padat penduduknya. Tentu butuh lahan yang lebih luas untuk pemukiman. Salah satu area yang diplot untuk pemukiman adalah wilayah ‘pesisir’ teluk setelah direklamasi lebih dulu. Sayang sekali. Tapi apa boleh buat. Masalah pemukiman selalu ada di setiap wilayah. Ini salah satu indikasi bahwa penduduk Indonesia semakin padat saja, bukan? Dan kita sadar akan hal itu. Tetapi banyak orang senang menambah anak. Baik para tersohor maupun mereka yang homeless. Semua memiliki alasannya masing-masing.
***
Di bulan Agustus 2005 itu, aku pindahan ke rumah Ibu Kartika bersamaan dengan persiapan ke Jakarta dan Medan. Letihkah aku? O, tidak sama sekali. Aku malah bersemangat. Banyak yang bertanya mengapa kak Elda pindah kos lagi. Aku jelaskan bahwa aku butuh tempat yang berada di pusat keramaian. Alasan kedua, sedang dalam penyesuaian. Harus aku akui, sejak tidak lagi berkantor, persoalan rumah menjadi masalah buatku. Jika punya aktivitas di luar rumah, aku bisa bertahan tinggal dalam satu tempat selama bertahun-tahun. Tetapi jika belum memiliki tempat dimana aku berkegiatan setiap hari, rumahlah satu-satunya pusat aktivitasku. Betapa bosannya jika berada di sana sejak bangun tidur hingga berangkat tidur.
Tetapi yang berwatak suka berpindah-pindah ini ternyata bukan hanya aku. Liana, mahasiswa yang aku kenal beberapa bulan lalu minta agar ia tinggal di rumah ini. “Boleh saja. Tapi bayar sewa kamar dan patungan bayar listrik ya?” kataku. Ia setuju.
Akhirnya rumah ini ramai karena ada orang lain yang menempatinya. Dari situlah aku tahu kalau Liana juga senang berpindah-pindah rumah. Hahaha, ada teman dong, pikirku. Kata dia, sifat itu diwariskan oleh ayahnya. Lalu akupun berpikir, sifatku yang seperti ini siapa yang mewariskannya? Ayahku atau ibuku? Kemungkinan besar ayahku. Aku melihatnya dari senangnya beliau mengubah-ubah posisi perabotan dan tanaman di rumah kami. Kapan-kapan aku akan memikirkan secara serius, apakah senang berpindah-pindah ini sejenis penyakit atau bukan, hehe.
***
“Bagaimana pendapatmu kalau orangtuamu menitipkan kamu atau adik-adikmu ke paman, tante atau keluarga yang lain?” Ajaib. Hampir semua anak menjawab ‘tidak suka!’ Alasannya macam-macam. Merasa tidak dicintailah, merasa orangtuanya pilih kasihlah, dan lain sebagainta. Informasi ini terus melekat di benakku hingga kini.
Juli 2007
Pukul lima sore Liana, Tomy, dan Judi yang membantuku pindahan sudah datang. Mereka mengendarai motor untuk mengangkut barang-barangku yang sebagian besar buku itu. Tahukah apa yang kupikirkan saat pindahan? Pergerakan dan dinamika. Aku senang ketika tubuh dan otakku bergerak mulai dari memilah-milah, barang apa saja yang akan dipack. Lalu memasukkannya dalam kotak dus dan tas besar. Packing barang sekaligus menjadi aktivitas cuci gudang. Barang yang tak terpakai aku buang atau diberikan orang. Sekaligus melakukan klasifikasi; buku, majalah, jurnal, kliping koran, alat tulis, perlengkapan pribadi, dll. Kelak, ketika aku bepergian ke beberapa kota, urusan packing dan memilah barang sudah seperti makan nasi saja. Otomastis. Dan, aku merasa puas jika melihat semuanya rapi serta teratur. Nah, kalau untuk sifat yang satu ini aku yakin ibukulah yang mewarisinya.
Tepat pukul delapan malam, semua barang sudah tiba di rumah baru. Aku mengajak Liana, Tomy, dan Judi makan malam. Mereka agak bingung melihatku yang seolah tidak pernah lelah dengan urusan barang-barang. “Kakak senang kok,” kataku. Entahlah apa yang mereka pikirkan. Kalau Lina mungkin tak soal. Buat Tomy, bisa jadi cara hidup seperti ini melelahkan. Kalau Judi? Nanti saja aku tanyakan kalau sempat.
Malam itu Liana menginap di rumahku, sementara Tomy dan Judi pulang ke tempat kos mereka masing-masing. Meski lelah, aku berusaha mempersiapkan pakaian yang akan aku bawa ke Jakarta. Aku tertawa sendiri demi menyadari bahwa setiap kali hendak ke Jakarta, selalu didahului dengan pindah rumah.
Usia Liana dan aku terpaut cukup banyak. Sehingga ia merasa nyaman bergaul dengan seorang perempuan sebagai pengganti sosok ibu. Sejak usia 2 tahun ia diasuh oleh neneknya, karena Mama dan Papanya bekerja sebagai PNS di kota lain. Sebagai anak kecil ia tidak bisa protes mengapa ia dititipkan. “Aku marah sama Mamaku Kak. Masa kami bertiga dititip ke nenek. Kami kurang gizi, makanya aku sakit asma. Setelah agak besar, barulah Mama mengambil kami. Tapi aku sudah merasa asing dengan Mamaku sendiri. Aku hanya dekat sama Papa,” cerita Liana.
Dimana aku bisa mendengar curhatan anak-anak muda itu kalau bukan pada saat-saat seperti ini? Tinggal bersama-sama dan melakukan aktivitas bersama-sama. Kata orang, itulah yang dinamakan ‘transfer hidup’ karena ada pertukaran. Apa ya, bahasa sederhanya? Hidup bersama, barangkali? Di Jakarta, aku melewati ‘hidup bersama’ dengan orasng lain hanya sebatas kantor. Di rumah, kami menjalani kehidupan sendiri-sendiri.
Kalau Liana sudah curhat soal masa kecilnya, aku hanya bisa mendengarkan. Sebab, tradisi titip-menitipkan anak sudah biasa bagi keluarga-keluarga di Indonesia. Pihak yang menitipkan atau yang dititipkan tidak merasa hal itu salah. Kadang-kadang itu menjadi semacam simbol pengikat kekeluargaan, selain karena faktor ekonomi. Di rumah kamipun, sudah banyak kerabat yang tinggal. Jadi aku dan saudara-saudara kandung dibesarkan bersama orang-orang lain seperti paman, tante, sepupu, dan sebagainya.
Tapi aku tetap penasaran. Suara dari anak-anak itu sendiri, bagaimana rupanya? Apakah mereka juga merasa baik-baik saja dititipkan ke saudara? Maka, aku iseng-iseng bertanya kepada mereka. Aku ‘kan mengajar nih? Jadi sekali waktu aku membuat soal-soal ulangan berupa studi kasus. Aku menulis, “Bagaimana pendapatmu kalau orangtuamu menitipkan kamu atau adik-adikmu ke paman, tante atau keluarga yang lain?” Ajaib. Hampir semua anak menjawab ‘tidak suka!’ Alasannya macam-macam. Merasa tidak dikasihilah, merasa orangtuanya pilih kasihlah,dan lain sebagainya. Informasi ini terus melekat di benakku hingga kini. ***