Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen Pilihan

Song Fiction Give Us a Chance dari Lagu Atuna Tufuli

14 Oktober 2023   10:25 Diperbarui: 3 November 2023   09:42 305 2
Song fiction ini terdapat dalam buku antologi kumpulan song fiction: Nada rasa penuh makna bersama Dandelion publisher.

Semoga tanah Palestina segera merdeka dan anak-anak Palestina pun ceria kembali.

Lagu atuna tufuli bisa didengarkan di link berikut: https://www.google.co.id/search?q=lagu+atuna+tufuli&source=lmns&tbm=vid&bih=738&biw=428&client=safari&hl=id&sa=X&ved=2ahUKEwifgfif6_CBAxVa2zgGHUtDAtcQ0pQJKAJ6BAgAEAs#fpstate=ive&vld=cid:d3935060,vid:glRFbyTCcxQ,st:0

Berikut kisah song fiction yang saya buat. untuk mengingat penderitaan anak Palestina akibat penjajahan i5rael.


“Give Us a Chance”

a song fiction Oleh Rita Haryanti
 
“A’touna Et tufoole (beri kami masa kecil), A’touna Et tufoole (beri kami masa kecil), A’touna Et tufoole (beri kami masa kecil).”

Aku menangis saat mendengar suara menggelegar. Ramadan yang suci ternoda. Ini bukan kali pertama aku mendengar suara bom yang dahsyat di bulan nan suci. Tadi pagi aku masih bermain dengan kakakku. Aku masih ingin bermain. Ibu menarikku dan kakakku keluar dari rumah, menyelamatkan diri.
“A’touna, a’touna, a’touna Es -salaam. (Beri kami kedamaian).” Hatiku menjerit.

Ini Ramadan, sebentar lagi hari Raya Idul Fitri. Penjajah Israel itu tidak peduli, mereka menghujani rumah-rumah kami dengan bom. Mereka selalu melakukannya di tiap-tiap Ramadan.

Aku terus berlari menyelamatkan diri. Kakiku lelah. Tadi aku ingin ke rumah temanku bersama kakak. Kami datang untuk membantu mendekor rumah dengan ucapan Jeena N’ayed kom, Bel eid mnes’alkom (selamat hari raya kepadamu), yang segera kan datang. Namun, rumah itu kini telah terkena bom.

Lesh ma fee’enna La ‘ayyad wala zeineh (mengapa di tempat kami tidak ada dekorasi hari raya)? Tidak bisakah kami berhari raya dengan tenang? Hatiku terus menangis.

Ya ‘alam (wahai dunia), rumah kami juga terkena bom,  desa kami terbakar, Ardhi mahroo’a (tanah kami habis terbakar). Aku memandang sekilas pada kepulan asap yang berada di belakang, yang menghanguskan rumah-rumah. Aku terus berlari.

Tahun lalu kami tinggal di desa sebelah, di rumah peninggalan kakek. Rumah besar dengan halaman luas. Tiba-tiba datanglah tantara I5rael dan beberapa penduduk sipil I5rael menodongkan senjata ke rumah kami. Mereka mengusir kami dari rumah kami sendiri. Di bawah todongan senjata kami harus keluar dari rumah kami, hanya membawa baju yang melekat di badan.

Ibu menangis, Nenek, Kakek, Aku, dan Kakak pun menagis, Namun kami tidak bisa berbuat apa-apa. Nyawa taruhannya. Kami pergi dan kemudian tinggal di rumah Paman yang telah mati syahid. Ia menyusul ayahku yang syahid tahun lalu saat menjaga masjid Al Aqsha dari tentara Israel yang ingin merebut Al Aqsha.

Bukan hanya rumah kami, rumah tetangga-tetangga kami pun dirampas. Ardhi Huriyyeh Masroo’a (tanah kami dicuri kebebasannya).

Kulihat ke atas langit penuh dengan kepulan asap. Samana ‘am tehlam, ‘am tes’al el ayam (langit kami sedang bermimpi, bertanya kepada hari). Wein esh-shames el Helwe w-rfouf el-hamam (di mana matahari yang indah dan di mana kepakan sayap burung merpati). Hanya ada langit kelabu.

Ya ‘alam (wahai dunia), ardhi masroo’a (tanah kami habis terbakar). Ardhi Huriyyeh Masroo’a (tanah kami dicuri kebebasannya).

Mereka menjajah tanah kami. Sambil berlari kulirik ke kiri, kulihat sekolahku hancur, sekolahku sudah di bom dua bulan lalu. Mereka juga merampas rumah dan harta benda kami yang berada di dalamnya.

Dibandingkan negara lain negara kami kecil. Ardhi zgheere metli zgherre (tanah kami kecil seperti kecilnya aku). Aku yang berusia 8 tahun ini.

“‘A touna es-salam wa a’touna et-tufoole (beri kami kedamaian dan beri kami masa kecil), “ jeritan hatiku sambil menangis.
‘a touna et tufoole, ‘a touna et tufoole, ‘a touna et tufoole (beri kami masa kecil). Aku ingin bisa bermain bersama teman-teman, aku ingin bersekolah kembali.

‘A touna, ‘a touna, ‘atouna es-salaam (beri kami kedamaian). Aku lelah berlari seperti ini. Aku sudah tidak kuat lagi berlari, aku ingin istirahat, aku pun terjatuh. Ibu dan kakak membantuku untuk bangun. Kami menepi, berlindung di balik gedung yang telah hancur. Mata kami waspada melihat ke langit.

Samana ‘am tehlam , ‘am tes ‘al-ayam (Langit kami sedang bermimpi, bertanya kepada hari). Wein esh-shames el-helwe, w-rfouf el-hamam (di mana matahari yang indah dan di mana kepakan sayap burung merpati). Aku membayangkan langit yang cerah tanpa asap. Nenek bercerita dulu banyak burung merpati terbang di tanah kami.

Ya ‘alam (wahai dunia). Ardhi mahroo’a (tanah kami habis terbakar). Bom menghujani tanah-tanah kami. Kami harus selalu waspada, setiap saat rumah atau tempat tinggal kami bisa dirampas atau pun di bom. Ardhi Huriyeh masroo’a (tanah kami dicuri kebebasannya).

Ibu mendekap tubuhku yang kecil. Aku kembali teringat kata-kata ibu. Ardhi zgheere metli zgheere (tanah kami kecil seperti kecilnya aku).

Terus terang, aku sangat takut dengan bom-bom itu. Kata ibu kami akan pergi ke tempat pengungsian, rumah kami sudah hancur, sudah tidak ada rumah lagi. Namun, keadaan masih belum aman dan aku lelah, jadi kami bersembunyi. Kami harus berlari kembali bila aku sudah kuat.

“A’touna et-tufoole, a ‘touna et-tufoole, a ‘touna et-tufoole (beri kami masa kecil). A ‘touna, a ‘touna, a’touna es-salaam (beri kami beri kami  beri kami perdamaian),” Aku kembali menjerit dalam hati.

Ketika aku mulai kuat berjalan kembali, ibu segera mengajakku dan kakak untuk berlari kembali. Kami menuju pengungsian. Sepanjang jalan kulihat bangunan hancur. Lapangan tempat bermain kami pun sudah penuh dengan sisa-sisa dinding yang runtuh dari gedung di sebelahnya. Aku sangat sedih, rasanya ingin menjerit.

I am a child with something to say
Please listen to me
I am a child  who wants to play. Aku ingin bisa bermain lagi. Mengapa mereka menghancurkan segalanya? Tidakkah mereka juga memiliki anak?
Why don’t you let me?

Aku membayangkan saat kami masih bermain di lapangan itu.

My doors are waiting (rumahku menunggu). Namun kini rumah itu sudah tidak ada. Kami harus pergi ke pengungsian.

Aku terus berlari bersama kakak dan ibuku. Nenek dan kakekku sudah syahid dalam pengeboman sebelumnya. Kini tinggal kami bertiga. Ibu ingin aku dan kakak tetap hidup.

Akhirnya sampailah kami di pengungsian. Kulihat beberapa teman yang kukenal sudah berada di sana.
My friends are praying.
Small hearts are begging (hati kecilku memohon);
Give us a chance (beri kami kesempatan), give us a chance (beri kami kesempatan).

Aku teringat pesan almarhum ayahku di malam sebelum ia berangkat untuk menjaga Masjid Al Aqsha. “Kau dan kakakmu, jagalah ibu. Kalian harus jaga diri kalian agar tetap hidup, agar kelak bisa berjuang untuk kemerdekaan Palestina dan menjaga Al Aqsha.”

Aku berdoa pada Allah. Give us a chance (beri kami kesempatan), give us a chance (beri kami kesempatan), give us a chance (beri kami kesempatan), please, please, give us a chance (tolong beri kami kesempatan) untuk tetap hidup dan kelak jadi pejuang.

Kami diantar ke ruangan tempat kami bisa beristirahat. Pengungsian ini merupakan bekas gedung sekolah.

Di sebelah ruangan kami, kulihat seorang ayah menggendong anak perempuannya  yang sepertinya telah syahid. Ia menangis. Orang-orang mengerumuninya untuk membantu mengurus jenazah anaknya.

Air mataku berlinang melihatnya. Dalam hatiku, aku kembali menjerit. A’touna et tufoole (beri kami masa kecil), a’touna et tufoole (beri kami masa kecil), a’ touna et tufoole (beri kami masa kecil). A’ touna, a’touna. A’touna es salaam (beri kami, beri kami, beri kami kedamaian).


KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun