Perayaan Hari Kartini yang sudah ada sejak puluhan tahun yang lalu. Berbagai acara dibuat untuk memeriahkan Hari Kartini. Para wanita, baik siswa, pekerja, ibu rumah tangga, atau pegawai pemerintahan, biasanya mengenakan kebaya atau pakaian adat pada Hari Kartini. Perbagai perlombaan juga biasanya diadakan oleh kaum Hawa, seperti lomba masak, lomba baca surat Kartini, baca puisi, ataupun lomba-lomba lainnya. Semua itu dilakukan sebagai bentuk apresiasi atas perjuangan Kartini dalam mengangkat derajat Kaum Wanita (meskipun hal ini juga masih menjadi perdebatan hingga sekarang).
Beberapa kalangan (yang mungkin sebagian besar dari kalangan terpelajar) menganggap perayaan seperti itu adalah hanya sekadar perayaan tanpa menyentuh esensinya. Atau, peringatan Hari Kartini hanya sebatas seremonial belaka, yang tidak ada artinya. Atau, dengan bahasa sekarang mereka beranggapan bahwa perayaan Hari Kartini itu lebay. Sayangnya, banyak kalangan yang hanya bisa mencerca, tapi tidak memberikan solusi. Jika memakai kebaya, lomba masak, dan berbagai bentuk perayaan itu tanpa esensi, lalu bagaimana bentuk perayaan yang esensial?
Menurut saya pribadi, tidak ada salahnya peringatan Hari Kartini diisi dengan memakai kebaya atau berbagai lomba. Dalam menanggapi suatu peristiwa, kita dihadapkan pada dua pilihan: menanggapinya secara positif atau secara negatif. Begitu pula dengan perayaan Kartini yang sekarang jamak dilakukan masyarakat kita. Jika kita menanggapinya secara negatif, maka kita fokus pada kekurangan, kelemahan, atau keburukan dari perayaan tersebut. Dengan demikian, kita tidak akan bisa melihat dengan jernih nilai positif apa yang bisa kita gali dari perayaan tersebut. Sebaliknya, jika kita menanggapinya secara positif, maka kita akan menemukan kebaikan dan kelebihan dari perayaan itu. Lalu, nilai positif apa yang bisa kita ambil dari perayaan Hari Kartini, seperti yang dilakukan masyarakan kebanyakan?
Mengenai pemakaian kebaya atau pakaian tradisional. Hal ini paling tidak mengandung beberapa hal positif. Pertama, mengenalkan atau mengingatkan kita tentang budaya bangsa kita, khususnya dalam hal berpakaian. Sekarang ini kita mudah sekali menjumpai wanita yang berpakaian tidak pantas, misalnya memakai hotpants atau baju u can see. Dengan adanya peringatan Hari Kartini, paling tidak terbersit dalam pikiran mereka bagaimana seharusnya wanita Indonesia berpakaian. Atau, paling tidak mereka akan membandingkan penampilan mereka, cantik mana ketika memakai baju seperti biasanya atau memakai kebaya. Syukur-syukur mereka menyadari bahwa dengan mengenakan baju panjang atau tertutup mereka akan merasa lebih nyaman, lebih cantik, lebih anggun, dan lebih menarik.
Kedua, mengajarkan wanita untuk bersikap lebih sabar, tidak tergesa-gesa, dan anggun. Jika kita lihat pakaian-pakaian adat di Indonesia, pakaian bawahan untuk wanita berupa kain panjang. Di Hari Kartini, menggunakan pakaian adat akan melatih para wanita untuk berjalan dengan tidak tergesa-gesa, sabar, dan anggun, atau ketika membonceng motorpun tidak ngangkang.
Ketiga, memberi pelajaran agar kita mempunyai jiwa nasionalisme. Dengan mengenakan kebaya atau pakaian tradisional, wanita akan merasa bangga dengan bangsanya sendiri. Paling tidak, walau untuk sesaat, perhatian mereka akan teralihkan dari pakaian-pakaian yang mengikuti produk luar negeri. Apalagi ada desainer ternama yang mencoba mengangkat tema pakaian tradisional untuk dibawa ke pentas nasional atau dunia. Ini tentu akan menumbuhkan kebanggaan tersendiri ketika kita mengenakan pakaian tradisional. Dan, kebanggaan ini akan memupuk rasa cinta tanah air.
Memperingati Hari Kartini dengan mengenakan kebaya atau pakaian tradisional, jelas patut diapresiasi. Jangan malah dicibir, dengan mengatakan mengenakan kebaya tak ada sangkut pautnya dengan Kartini, atau mengenakan kebaya bukan inti dari peringatan Kartini. Beberapa pihak menyalahkan emansipasi yang didengungkan dalam peringatan Hari Kartini sebagai faktor penyebab wanita sekarang lebih suka mengenakan rok atau celana yang semakin pendek (atau semakin memperlihatkan bagian paha). Daripada menyalahkan, bukankah lebih baik memanfaatkan momen Hari Kartini untuk menyadarkan mereka agar kembali menyukai kain panjang? Salah satunya ya dengan menggalakkan pemakaian kebaya, syukur-syukur bukan hanya saat Hari Kartini saja, tetapi juga pada peringatan-peringatan lainnya. Jika yang baru dijalankan setahun sekali saja dicibir, bagaimana kita bisa membuat mereka melirik kain panjang?
Lalu, mengenai lomba yang dilaksanakan kaum Hawa, seperti lomba masak, lomba membaca puisi, dan sebagainya. Banyak pihak yang mempertanyakan apa kaitan peringatan Hari Kartini dengan beragam lomba tersebut? Kalau kita mau melihat secara jernih, lomba-lomba itu juga membawa semangat Kartini. Misalnya, dengan diadakannya lomba masak, para wanita seolah mengingatkan (atau diingatkan) kodratnya sebagai wanita. Zaman sekarang, banyak wanita yang secara terus terang mengaku tidak bisa masak. Kartini dalam pemikirannya tentang pendidikan untuk kaum Hawa, bukan bermaksud membawa wanita untuk melupakan kodratnya. Justru ia berpikir agar wanita mampu menjalankan kodratnya (dalam mendidik anak) dengan lebih baik. Dan, ini bisa terlaksana dengan pendidikan.
Memang belum semua orang memahami nilai-nilai positif dari perayaan Hari Kartini. Namun, hal ini janganlah dibuat justifikasi untuk menyalahkan, menggugat, atau bahkan mewacanakan menghapus peringatan Hari Kartini. Sebab, bagaimanapun juga, Kartini telah menginspirasi wanita-wanita Indonesia untuk terus berjuang, meski dalam keterbatasan. Jika memang ada hal yang dianggap menyimpang, marilah kita bersama-sama membenahi melalui jalan yang sama. Jika perayaan Hari Kartini dianggap tidak esensial, marilah kita bersama-sama mulai mengampanyekan perayaan seperti apa yang seharusnya dijalankan, daripada hanya sekadar mencibir tanpa solusi.