Kejadiannya sudah berlangsung lama, tapi peristiwa yang cukup mencekam itu masih tetap teringat sampai sekarang. Pada saat itu penulis sedang berada di Dili, Timor Timur (sekarang Timor Leste) yang pada waktu itu masih menjadi bagian dari NKRI. Penulis kebetulan mengunjungi Dili dalam rangka inventarisasi sistem penyediaan air minum, sehubungan dengan adanya rencana bantuan Australia untuk memperbaiki dan membangun sistem air minum Kota Dili.
Dili sebenarnya kota yang cantik. Berada di tepi pantai utara Pulau Timor bagian timur, pemandangan sepanjang jalan menyusur pantai kearah timur tidak jauh berbeda dengan pemandangan pantai kota-kota lain di wilayah timur Indonesia. Pantai berpasir landai dan sepi, dihiasi jejeran pohon kelapa dan panas matahari yang terik di siang hari, tapi nyaman dan romantis di malam hari. Kantor Gubernur, dan beberapa kantor pemerintah lainnya, serta hotel Turismo, yang penulis tinggali, juga terletak di jalan ini, yang waktu itu bernama Avenida Marechal Carmona.
Kami berlima, saya dengan empat orang ekspatriat dari Australia melakukan survai ke sumber mata air yang terletak di luar kota Dili. Sewaktu kembali ke kota, di tengah jalan kami dihentikan oleh serombongan orang yang membawa bermacam senjata tajam. Dengan muka garang kami diperiksa satu-satu. Sopir kami orang Timtim memberitahu mereka bahwa kami adalah rombongan survai dari pemerintah yang akan membantu masalah air minum yang dibantu Pemerintah Australia. Mereka baru percaya sewaktu kami menunjukkan surat tugas kami masing-masing. Kamipun dilepas, tapi kami diberitahu sopir agar semua kamera disembunyikan. Katanya mereka sedang mencari wartawan, entah untuk masalah apa.
Semakin mendekati kota suasana semakin mencekam. Kerumunan orang-orang dengan senjata tajam dan senjata api ada dimana-mana dan mengawasi kami dengan tajam setiap kami melintas di depan mereka. Kami akhirnya memutuskan untuk sementara menghentikan perjalanan dan menunggu kabar apakah cukup aman untuk meneruskan perjalanan.
Rupanya pada waktu itu situasi di Timtim sedang menghangat menjelang referendum yang akan memutuskan apakah Timtim masih tetap di bawah NKRI atau lepas menjadi negara merdeka. Rupanya masyarakat Timor Timur terpecah dua. Ada yang memihak untuk tetap menjadi bagian dari RI, yang disebut sebagai kubu besi merah putih, kebanyak anggota TNI dan keluarganya yang tidak rela Timtim lepas dari NKRI.
Kubu yang lain adalah yang menginginkan lepas dari Indonesia. Dua kubu ini kerap bentrok dan menimbulkan suasana seperti perang saudara. Saya bisa membayangkan, mereka, para prajurit itu sudah berjuang menyabung nyawa dan mengorbankan anak isteri pada waktu pembebasan Timtim dari penjajahan Portugis. Mereka tentu tidak rela melepaskan Timtim begitu saja. Tapi saya juga bisa mengerti sekelompok orang yang mungkin masih belum puas dengan keadaan Timtim sewaktu bergabung dengan kita, dan menginginkan untuk membentuk negara sendiri, terlepas dari upaya yang telah dilakukan pemerintah waktu itu untuk memajukan Timtim, provinsi termuda di Indonesia.
Dalam keadaan seperti ini, kubu manapun yang kami temui, semuanya berpotensi menimbulkan ancaman terhadap keselamatan kami, apalagi penulis membawa rombongan orang-orang asing. Akhirnya kami ditemui oleh beberap orang pastor dan suster dari Seminari terdekat yang menawarkan agar kami bersembunyi di tempat mereka. Dengan senang hati kami menerima tawaran tersebut dan tinggal di dalam Seminari yang tertutup dan bebas dari rasa ancaman. Bahkan selama seharian disana, kami disuguhi berbagai makanan khas Timor Timur yang enak, serta layanan suster-suster yang ramah-ramah. Kamipun merasa aman dan nyaman disana.
Setelah hari agak malam, atas saran teman-teman yang menunggu di Hotel Turismo, kami kembali ke hotel dengan selamat, setelah menempuh perjalanan memutar yang jauh, untuk menghindari kontak dengan kelompok-kelompok yang bertikai tersebut.
Itulah pengalaman yangsaya rasakan cukup mencekam waktu itu. Entah apa yang akan terjadi apabila kami tidak diselamatkan oleh pastor dan para suster di Seminari itu. Kami dengar esok harinya banyak korban jatuh dari kedua belah fihak yang bertikai, antara lain juga ada diantaranya orang-orang asing dan pendatang. Saya hanya bisa bersyukur kepada Tuhan disertai ucapan terimakasih kepada pastor dan para suster yang telah membantu menyelamatkan kami.