Saya memang tidak pernah berkunjung untuk memperbaiki silahturahmi yang hampir renggang,bukannya sombong atau kacang lupa kulitnya, bahkan saya sudah sangat sering mencoba berkunjung namun respon yang saya dapatpun seperti sebuah kode untuk jangan berkunjung. Awalnya memang saya sangat takut untuk memulainya namun yang ada dalam benak saya, untuk apa menyimpan sebuah sampah didalam wadah yang begitu indah, yah seperti itulah kiranya untuk menkiaskan untuk apa menaruh rasa ego yang begitu tinggi untuk memulai kembali silaturahmi yang begitu indah dulu. Berbekal niat itu saya mencoba kembali ke rumah yang pernah tinggali dulu tempat dimana saya berbagi tangis, canda dan tawa. Menghabiskan separuh waktu disana dan yang paling tidak terlupakan dari tempat itu adalah disanalah tempat saya membuang keluh kesah dan berbagai beban pikiran dari ruwetnya kehidupan. Menjauh dari rumah itu bukanlah hal yang mudah dan juga bukan tanpa alasan, Banyak pertimbangan dan hatipun saat itu inginnya menjauh dulu. bermaksud menenangkan hati yang kacau, gundah gulana, mencari ketenangan dimana saat itu saya tidak lagi temukan dirumah itu. Terhitung sejak saat itu, saya memulai aktivitas sendiri tanpa menoleh kerumah tersebut. Hari berganti minggu dan tanpa terasa minggu berubah menjadi bulan. Rasa rindu untuk menoleh kerumah itupun ada. Yah, rindu yang tercipta karena terbiasa. Memang sangat angkuh untuk mengakui kalau rindu,gengsi rasanya. Namun, untuk apa menahan rasa gengsi yang akan terus menggrogoti jiwa yang rindu ini. Bukannya sangat wajar bila rasa rindu pada rumah itu ada? Jelas wajar bukan. Ibarat kemarau yang merindukan musim penghujan, seperti itulah kiranya.