Rasa penasaran serta merta menyinggahi pikiran saya. Sesaat setelah mengisi perut di salah satu restoran di pulau tersebut, saya pun mencoba untuk mencari tahu tentang jejak nenek moyang kita di sana. Saya mencoba menyapa beberapa pelayan restoran dalam bahasa Inggris, bahasa Indonesia, dan juga bahasa Jawa, namun tidak seorang pun yang mengerti kalimat yang saya ucapkan. Sang pelayan yang kebanyakan berusia remaja tersebut tampak kebingungan dan mencoba menjawab dengan bahasa tubuh, yang menandakan keterbatasan mereka untuk menjawab pertanyaan yang saya lontarkan.
Ternyata, tidak seperti saudara mereka di Suriname yang sampai saat ini masih menggunakan bahasa Jawa, penduduk Pulau Pang Yee sudah menggunakan bahasa Thai (atau salah satu bahasa daerah di Thailand?) sebagai bahasa keseharian mereka. Makanan yang disajikan di salah satu restoran yang saya singgahi pun, tidak mempunyai cita ras khas Jawa, namun sedikit mirip dengan rasa masakan Melayu. Mungkin sudah disesuaikan dengan lidah para turis. Entahlah..
Tidak banyak informasi yang saya dapatkan di sana, karena waktu itu bertepatan dengan waktu salat Jumat, sehingga pulau tersebut tampak sepi, dan keterbatasan waktu pula yang menjadi alasan saya untuk meninggalkan pulau itu dengan rasa penasaran yang menggunung.