Mohon tunggu...
KOMENTAR
Politik

Tafsir Gunung Hasan Tiro: Catatan Harian Pagi

6 Juni 2010   03:55 Diperbarui: 26 Juni 2015   15:43 370 0
[caption id="attachment_159861" align="aligncenter" width="300" caption="Bukit Barisan Illustrasi: kfk.kompas.com/sfkphotos/2009/01...san-1891"][/caption] Bumi Kuta Radja (Kota Raja) Banda Aceh masih basah. Dari kemarin hingga malam dan juga kini hujan masih saja mengguyur pusat kota Provinsi Aceh ini. Meski begitu bulir-bulir hujan tidak sampai menghalangi pandangan mataku. Di teras rumah aku masih bisa melihat tarian pucuk daun markisa bersama angin dan air hujan. Ada suka cita terkabar dari hijau daun yang menghadirkan putik bunga. Tak lama lagi buah markisa akan bisa dipetik. Alam memang menyimpan anugerah yang hidup dan menghidupi. Kini arah pandang mataku tertuju pada gunung nun jauh. Lebat pohon masih kelihatan meski tak bisa melihat detail setiap jenis dan ukuran. Tiba-tiba pikiranku melayang jauh ke lekuk sejarah Aceh. Dulu, dimasa konflik gunung bukan sekedar tempat pohon-pohon berdiri kokoh atau tempat para binatang bertahta menurut hukum rimba. Gunung adalah juga pusat perlawanan, rumah politik, universitas, sekaligus museum perasaan sejarah ureung Aceh. Untuk menjelaskan bagaimana posisi gunung bagi ureung Aceh menarik untuk meminjam tafsir Hasan Tiro yang baru beberapa hari lalu menjemput takdir keduanya, yakni berpulang ke sisi Tuhannya (3 Juni 2010) di Kuta Radja. Jauh sebelumnya Hasan Tiro sudah menjemput takdir pertamanya yang yakni tugas memerdekakan Aceh yang dimulai dari gunung dengan mendirikan Kamp Panton Weng, 31 Oktober 1976 sehari setalah ketibaannya di Aceh. Bagi sosok yang dipanggil dengan Wali itu "gunung dan hutan adalah pusat pencerahan dan pusat kepemimpinan baru. Setiap saat rakyat melihat gunung dan disanalah pemimpin sejati dan petunjuk berada. Jika mereka membutuhkan petunjuk mereka berkata: mereka perlu pergi ke gunung. Dan seseorang yang pernah di gunung menjadi otoritas yang dicari dan dihormati." Begitu pentingnya makna gunung dan juga hutan di dalamnya maka tidak heran jika seorang yang begitu dihormati (Hasan Tiro) dengan rela mentaati sang Pawang Hutan. "Ketika sedang berjalan di hutan hanya seorang yang harus dipatuhi: pawang." Bagaimana tafsir lanjutan Hasan Tiro tentang gunung berserta hutan, berikut petikan bebas pidato pertamanya pada 11 Februari 1977 yang dituang dalam catatan hariannya: "Apakah saudara tahu mengapa saudara dan saya di sini, di bawah pepohonan ini, di tengah hutan ini, di dalam lingkungan ini? Kita sekarang duduk di atas puncak medan peperangan yang penuh dengan aliran darah orang-orang tua kita, disaksikan oleh pepohonan yang sama yang telah melihat mereka di sini sebelumnya sebagaimana mereka sedang melihat kita sekarang di sini. Ketika sedang berbicara dengan saudara sekarang dapat tercium olehku bubuk senjata dalam rongga hidungku dari medan pertempuran yang berlangsung lebih dari 50 tahun lalu oleh orang-orang tua kita. Ini di tanganku adalah karatan senjata tua mereka yang kami temukan di sini baru sepuluh hari yang lalu." Begitu pentingnya arti gunung dan hutan Hasan Tiro juga menggelar peringatan "Pertempuran Gunung Alimon (21 Mei 1910)di gunung dan menegaskan dalam pidatonya: "Hari ini kita mengenang pengorbanan mereka dengan cara yang paling tepat, dan di tempat yang paling tepat - yakni di gunung, di hutan yang tidak jauh dari gunung Alimon, sebagai bukti bahwa kita benar-benar mengikuti jejak mereka..." Begitulah Hasan Tiro memaknai gunung dan menempatkannya dalam likuk dan lekok pergulatan Aceh yang menghasilkan Aceh kekinian. Hujan sudah mulai reda. Matahari tampaknya berhasil menaklukan hujan yang sejak kemarin terus menguasai langit. Aku bangkit dari kursi yang sejak tadi aku duduki dan dengan sedikit berjalan aku memanen setangkai bunga sambil mengingat sepotong catatan Hasan Tiro yang menegaskan komitmennya untuk kembali ke Aceh, untuk memanen hasil dari bibit-bibit harapannya yang tertinggi. Hasan Tiro memang telah memenuhi janjinya, kembali ke Aceh dan memanen hasil berupa bunga perdamaian yang bisa menjadi bibit baru bagi generasi Aceh kini untuk mimpi yang lebih tinggi lagi. Bagaimana pun setiap orang memiliki batas takdirnya sendiri-sendiri dan batas takdir seorang ayah dari Karim Tiro adalah hanya sampai memanen bunga perdamaian saja. Nun jauh disana gunung semakin jelas kelihatan dan sambil masuk ke dalam rumah aku sedikit mengajukan pertanyaan nakal, apakah bunga perdamaian Aceh kini sudah menebar harum hingga ke gunung, hutan dan juga kota? Aku tak ingin menjawab dan sebagai ganti aku mengingat sebuah petikan puisi lama kawan, Wira: "aku ke hutan diterkam binatang|aku ke kota diterkam kebinatangan." Hmmmm...kini aku siap meluncur ke arah kota untuk meneguk secangkir kopi sambil menunggu kabar dari orang-orang terkasih..halaghh

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun