Mohon tunggu...
KOMENTAR
Pendidikan Artikel Utama

Kisah Sedih Cari Kerja di Negeri Donor

15 Desember 2009   06:21 Diperbarui: 26 Juni 2015   18:56 941 0
Apakah sudah punya pekerjaan? [caption id="attachment_38158" align="alignright" width="135" caption="USAID Membantu Aceh di Bidang Pendidikan"][/caption] Jika belum, mengapa tidak mencobanya di Aceh. Sebagai daerah yang sedang memacu diri untuk membangun dan berbenah diri, Aceh pasti membutuhkan tenaga kerja, dan siapa tahu, Anda yang dipilih. Tapi tunggu dulu. Mencari kerja di Aceh tidak cukup mudah, terutama di sektor swasta, apalagi di pemerintahan. Tapi jangan putus asa. Di Aceh juga ada sejumlah lembaga donor dan NGO Asing yang masih mungkin untuk Anda kirim lamaran kerja. Oh ya, usai Aceh diluluhlantakkan oleh tsunami banyak lembaga-lembaga donor yang berkerja di Aceh. Memang sekarang jumlahnya sudah tidak banyak lagi sebagaimana awal-awal pasca tsunami. Namun, sejumlah lembaga donor dan ngo asing masih ada di Aceh untuk maksud memberi dukungan bagi proses pembangunan Aceh. Saya tidak tahu persis berapa jumlah lembaga donor yang masih bertahan di Aceh. Namun, beberapa nama lembaga donor seperti Worldbank, Unicef, Uni Erofa, Ausaid, dan USAID kemungkinan besar masih ada di Aceh. Memang, usai BRR NAD-Nias berakhir masa tugasnya di Aceh, April 2009, nyaris para pencari kerja di Aceh sudah tidak banyak lagi. Karena itu, jika bermaksud mencari kerja di Aceh, khususnya pada lembaga donor harap lebih hati-hati dalam artian mempersiapkan diri secara lebih matang, sehingga tidak mengulangi kesalahan (???) sebagaimana yang pernah saya alami ketika melamar kerja di satu lembaga donor, USAID-DBE 2. Sungguh cerita ini tidak dimaksudkan untuk menjelek-jelekkan proses rekruetmen USAID-DBE2 karena saya tidak mau mengalami nasib yang sama seperti yang dialami Mbak Prita yang digugat pihak rumah sakit akibat curhatnya di email "bocor" kemana-mana. Jadi kisah sedih ini saya buat untuk menjadi pelajaran bagi pencari kerja di Aceh agar lebih mempersiapkan diri dan juga mengenali wilayah kerja, termasuk mengenali dengan baik lembaga yang akan di lamar serta mengetahui dengan baik pula kebiasaan dan karakter staf di lembaga setempat. Lho, kog banyak sekali yang mesti diketahui ya, he he. Ini bukan soal prosedur lembaga yang ada, ini semata soal untuk lebih memudahkan saja sehingga tidak melakukan kesalahan (???) yang tidak perlu (sebelum kita berkerja). Bukan maksudnya kalau sudah berkerja boleh melakukan kesalahan. Tidak. Pusing ya, mutar-mutar. Mutar-mutar kog pusing he he. Begini. setelah saya melamar saya tentu dipanggil dong untuk wawancara dan test. Dalam test ini ada hal-hal yang penting dipersiapkan, seperti kemampuan bahasa Inggris. Walau tidak semua posisi mensyaratkan kebutuhan bahasa Inggris kan lebih baik jika bisa. Namanya saja kerja di lembaga donor yang umumnya memang dimiliki oleh negara asing. Selain bahasa, penting pula menguasai bidang yang Anda lamar. Saya kebetulan melamar pada bidang DBE-2. DBE ini adalah Decentralized Basic Education (DBE), satu paket dengan Managing Basic Education (MBE) programs, yang diprakarsai oleh Bush di waktu Mas Bush masih sebagai Presiden Amerika. Kalau tidak salah dukungan Amerika untuk program DBE dan MDE di seluruh Indonesia adalah 157 juta dolar A.S. bagi pengembangan pendidikan di Indonesia. Aceh adalah salah satu projek DBE. Sebenarnya ada tiga macam bentuk program desentralisasi pendidikan dasar. DBE-1 untuk tujuan meningkatkan kemampuan manajemen dan tata layanan bidang pendidikan, DBE-2 berfokus kepada peningkatan mutu pengajaran dan pembelajaran, sedang DBE3 berfokus kepada upaya peningkatan kecakapan hidup bagi remaja. Yang saya tahu dari media, DBE-1 telah bekerja sama dengan pemangku kepentingan di 62 kabupaten/kota di tujuh provinsi yaitu Nanggroe Aceh Darussalam, Sumatera Utara, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Sulawesi Selatan. DBE1 mendampingi 1.076 SD/MI dan 196 SMP/MTS. Terkait DBE-2 di Aceh kabarnya akan dilakukan pengembangan ke wilayah Barat dan Selatan Aceh, seperti Aceh jaya, Aceh Barat, Nagan Raya, dan Aceh Barat Daya. Nah, untuk wilayah inilah saya melamar. Selain bahasa dan mengenali bidang kerja dan wilayah kerja juga penting untuk memperhatikan gaya komunikasi dan berhati-hatilah saat melakukan negosiasi, misalnya terkait gaji atau salary. Mengapa? Disinilah saya mengalami kegagalan. Begini ceritanya kisah sedih cari kerja di negeri donor, Aceh. Setelah melewati semua tahapan wawancara (11/12) saya dinyatakan punya peluang untuk berkerja di bidang yang saya lamar (11/12 sore). Tentu kabar ini saya sambut gembira. Ada dua hal yang membuat saya gembira. Pertama, program DBE-2 ditujukan untuk peningkatan mutu pengajaran dan pembelajaran. Sebagai fasilitator saya sangat tertarik mendalami dan mengalami metode pembelajaran yang dikenal dengan sebutan Pakem (Pembelajaran Aktif, Kreatif, Efektif, dan Menyenangkan). Menurut hemat saya, problem pendidikan dasar sangat ditentukan mutunya pada bagaimana proses belajar mengajar di kelola, dan itu berkaitan dengan guru, pendekatan, pemanfaatan sarana yang ada, dan keterlibatan orang tua dan masyarakat juga. Jika tiga hal ini bisa diwujudkan secara aktif, kreatif, efektif dan menyenangkan maka kualitas anak-anak akan lebih meningkat, termasuk kualitas guru, dan kualitas anggota masyarakat. Lebih dari itu, saya punya tantangan untuk melihat peluang di dunia guru sebagai pilar pertama dalam menjaga perdamaian di masyarakat secara dini. Jika peluangnya besar dan memungkinkan saya bermaksud mendorong agar program peacebuilding dapat diberikan kepada guru sehingga melalui mereka nilai-nilai penting terkait perdamaian dapat tersebar. Dengan begitu, jaminan untuk menjaga keberlanjutan perdamaian Aceh lebih dimungkinkan lagi. Lagi pula, lokasi wilayah DBE-2 adalah wilayah kelahiran saya (Aceh Barat), wilayah sahabat-sahabat saya (Aceh Jaya), wilayah saya pernah menjadi Camat (KKN) di Nagan Raya, dan wilayah kampung ibu saya (Aceh Barat Daya). Siapa pun pasti akan sangat menyenangkan jika kita bisa memberi pengabdian kita pada kampung halaman bukan. Namun apa daya, saya membuat kesalahan (?) ketika sampai pada tahapan negosiasi. Saya berpikir negosiasi dalam mencari kerja sama dengan negosiasi sebagai salah satu model resolusi konflik. Saya yang berada pada posisi mengajukan tawaran pasti mencoba menawarkan sebaik-baik tawaran menurut pandangan saya. Negosiasi saya lakukan karena dibuka peluang untuk itu. Saya tidak mungkin melakukannya jika langsung dikasih tahu ini dan itu secara kongkrit. Namun, saya tidak melihat kalau tawaran saya mendapat tempat karena semuanya dihadapkan dengan apa yang disebut standar. Sebagai penawar saya mencoba untuk melakukan negosiasi agar nilai tawaran tidak turun begitu drastis. Dilema terjadi saat saya disarankan untuk mengikuti dulu sebuah training (15/12) dan proses penawaran saya akan coba dibahas dengan pihak pengambilan keputusan yang lebih tinggi, yang kabarnya ada di kantor Jakarta. Disinilah mis komunikasi terjadi (dugaan saya) dan memang terbukti berdasarkan balasan sms yang saya terima (14/12), saya dianggap menolak atau menarik diri dari pencalonan. Dengan sms juga saya mencoba menjelaskan duduk perkaranya yang kemudian berbalas sms "oke kalau bapak tidak menarik diri nanti kita lihat perkembangannya." Peluang kembali terbuka. Sungguh, bahasa negosiasi yang berbuah kesimpulan bahwa saya menarik diri saya letakkan dalam posisi negosiasi dengan bahasa yang masuk akal. Saat itu saya mengatakan akan sangat sedih manakala saya sudah mengikuti training namun akhirnya tidak jadi berkerja karena tidak ada kata sepakat terkait penawaran saya khususnya dalam hal salary. Pernyataan itu saya maksudkan agar saya (sebagai pihak yang menawar) lebih cepat mendapat keputusan soal kepastian sehingga saya bisa lebih mantap untuk melakukan persiapan-persiapan lebih lanjut. Terus terang, saya tipe pekerja keras dan jika sudah berkerja saya mau semuanya terditeksi dan dipersiapkan apa-apa yang dibutuhkan. Semua itu untuk satu maksud, bisa berkerja dengan puas dan penuh semangat. Tapi apa daya, pola komunikasi negosiasi saya diterjemahkan beda dan dianggap kalau saya menolak untuk ikut training dan itu mungkin diartikan sebagai menolak berkerja atau menarik diri. Karena saya kira masih terbuka peluang tapi tetap saja belum ada jawaban kepastian (diterima atau ditolak) saya kembali mengirim sms (14/12) dan tidak ada jawaban. Tadi pagi, usai bangun tidur (15/12) saya kembali mengirim sms untuk bertanya kepastiannya kepada pihak/bagian sdm: ":Ibu... yang baik, apa pun hasilnya untuk saya tidak masalah. Tapi alangkah baiknya, minimal di sms tentang keputusan finalnya, apakah saya diterima atau tidak berkerja di USAID-DBE. Sungguh, saya bisa menerima karena memang posisi saya hanya sebagai pelamar. Terimakasih." Tapi, juga tidak ada jawaban. Saya justru dapat jawaban dari staf lain yang mengatakan kalau posisi yang saya lamar sudah diisi oleh orang lain. Ini artinya, sebelum saya mendapat kepastian final saya sudah diputuskan tidak lulus tanpa diberitahu atau menjawab sms saya atau saya tidak diluluskan/diterima bukan karena saya tidak mampu tapi lebih karena sudah tersinggung perasaan. Duuuuh Dan, saya pun gagal mendapatkan kerja yang sebenarnya sudah membuat saya jatuh cinta pada pandangan pertama.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun