Mohon tunggu...
KOMENTAR
Politik

"Warning" SBY: Membaca Kritis Pak Pray

12 Desember 2009   15:36 Diperbarui: 26 Juni 2015   18:58 733 0
Terus terang, usai membaca kalimat terakhir dari tulisan berjudul "Warning" Dari Presiden SBY hati saya langsung menyebut fantastis pada penulisnya, Prayitno Ramelan, yang oleh kompasianers dipanggil Pak Pray. Saya sebut fantastis justru bukan pada isinya (informasi dan data). Ini bukan berarti bahwa tulisan penulis yang baru saja meluncurkan buku "Intelijen Bertawaf" ini tidak berbobot. Manalah mungkin sosok sekaliber Pak Pray yang baru-baru ini berhasil tampil sebagai mediator ulung dalam konflik komunikasi antara penduduk Negeri Ngotjoleria dengan Admin bisa dengan mudah saya sebut tidak berisi bin tidak berbobot. Kalau mengacu dalam adab lama keluarga, sikap saya yang berani menilai sang bapak tidak berbobot bisa-bisa menjadi awal malapetaka  karena bisa saja di cap sebagai anak durhaka. Tapi, belajar dari cara beliau memediasi konflik komunikasi lalu, saya berani bertaruh kalau Pak Pray adalah Bapak yang tidak hanya demokratis tapi juga sosok yang berkearifan, dan bahkan dalam hal-hal tertentu justru senang melihat anak-anaknya tumbuh dalam keberanian yang berlebih, sejauh bertolak dari etika dan adab-adab ketimuran. Nakal boleh-boleh aja asal jangan menjadi sosok yang nakalisme. Apa itu kekuatan Pak Pray? Pertama, dari cara beliau membangun kontruksi tulisan. Ibarat kerja mendirikan banggunan Pak Pray bukan tukang yang berkerja asal. Pak Pray adalah arsitek yang sangat memahami kontruksi-kontruksi sebuah banggunan, termasuk memahami kapan mendirikan pondasi, dinding, atap, dan juga pintu dan jendela, termasuk harus menggunakan warna cat apa. Ya, Pak Pray adalah arsitek tapi bukan arsitek buta yang hanya berkerja berdasarkan rumusan-rumusan kaku ilmu banggunan saja. Sebagai sosok yang sudah berpengalaman dalam dunia yang amat dekat dengan perang maka ia sangat paham bahwa memahami lawan (pembaca yang tidak setuju) dan kawan (mereka yang setuju) itu sama pentingnya. Dalam ilmu strategi perang, sekuat apa pun keberadaan lawan ia bisa dikalahkan jika kawan-kawannya penuh semangat. Lihat saja dari komentar yang ada. Pak Bray berhasil meraih banyak prajurit (pendukung) dengan segala ragam kekuatan yang dimiliki. Bahkan, sejumlah orang yang tadinya lawan justru berbalik menjadi pendukung, minimal ia siap untuk tidak "menembak" Pak Pray, lebih lanjut. Sekarang, mari kita cermati kontruksi tulisan Pak Pray dan melihat bagaimana ia berhasil menghipnotis pembaca sehingga pembaca tidak lagi melakukan kokang senjata (baca: mengkritisi) meski hanya sekedar menginteruspi. Misalnya, "Pak Pray, kenapa Bapak bisa sampai menyimpulkan sesuatu hanya dengan menggunakan jalan pikiran orang lain, yang belum tentu benar. Ingat Pak Pray, data perang yang hanya didasarkan pada koran bisa menyebabkan prajurit kita tewas sia-sia di medan tempur." Bisa jadi kita takut bertanya pada orang sekaliber Pak Pray karena mungkin Pak Pray akan menjawab "Kalau data orang saja bisa benar mengapa harus pakai data saya." Atau jangan-jangan akan ada yang memberi komentar berikut:  "Sebagai penulis buku intelijen bertawaf kan Pak Pray sudah punya fakta-fakta yang terang sebelumnya." Sampai disini, Pak Pray tidak salah memang disebut sebagai "Old soldier never die." Betapa tidak, banyak sudah tulisan-tulisan yang disajikan dengan basis data dan informasi yang sama tapi justru tidak mendatangkan, minimal simpatik. Nah, simpatik inilah yang berhasil diraih oleh Pak Pray dengan mensajikan data dan informasi yang sama secara sistematis tapi tidak kaku plus kemampuan beliau dalam menempatkan apa yang mesti didahulukan dan apa yang mesti diakhirkan. Pak Pray memulai tulisannnya dengan menempakkan kata kunci presiden sebagai simbol dan penyelenggara negara. Kata kunci ini sungguh membuat Pak Pray berhasil memenangkan logika lainnya dengan sangat mudah dan meraih simpati bahwa menjadi sangat wajar jika presiden memberikan "warning" terhadap segala situasi yang ada. Dengan logika ini, Pak Pray telah memenjarakan segenap argumen yang menyatakan bahwa SBY sangat berlebihan, paranoid, penakut, dan sangat menakut-nakuti rakyatnya yang ingin berdemo pada hari Antikorupsi Internasional, 9 Des 2009. Saya lebih suka menyebut memenjarakan ketimbang mengalahkan karena tidak ada yang kalah dalam semua argumen. Masing-masing argumen memiliki dasar pijakannya sendiri-sendiri. Lebih lanjut, Pak Pray juga menemukan senjata lawan, minimal amunisi lawan, untuk dipakai sebagai pelengkap daya kuncinya, yakni analisis Eep Saifullah Fatah terkait "ambisi" politik Golkar. Kenapa mesti analisis Eep? Disini kelebihan Pak Pray, pintar menggunakan jenis senjata apa. Sebagai pengamat yang dekat dengan Kompak dan Gerakan Indonesia Bersih yang akhir-akhir ini bergairah menggalang dukungan untuk melengserkan koruptor menjadi sangat absah untuk dipakai penilaiannya, dan Pak Pray bisa "menggiring" pembaca untuk bersetuju pada argumennya untuk mendukung SBY tentang motif-motif politik yang tersembunyi di balik gegap gempitanya politik Century. Padahal, dalam strategi advokasi jurus mendesak pihak-pihak dengan argumen keraguan kerap dilakukan untuk menjepit pihak-pihak agar mau berkerja serius membuka aib (dalam hal ini century). Jadi, bisa saja analisis Eep Saifullah Fatah sebagai salah satu strategi advokasi saja. Tapi, cara pikir ini terabaikan dalam ruang kritis pembaca akibat kemampuan Pak Pray dalam menempatkan SBY sebagai pihak yang diserang dan mungkin teraniya dalam gelombang politik saat ini yang disebutnya penuh dengan motif-moti politik. Lihat saja pada komentar-komentar yang muncul. Pak Pray jelas-jelas memenangkan hati dan pemberi komentar tanpa sadar telah mengabaikan logika kritisnya. Kalau sudah begitu, maka yang paling aktif "menyerang" bukan lagi Pak Pray melainkan pembaca melalui komentarnya. Jalan mulus Pak Pray menjadi tidak terbendung, dan Pak Pray dengan jeli pula menutup tulisannya dengan penuh kemantapan menulis  "Jangan “under estimate” presiden, beliau telah patuh dan melaksanakan dua hal pokok, patuh pada konstitusi dan mendengar pendapat umum, itulah kekuatan politisnya yang tak terbantahkan, disamping beliau memang presiden yang dipilih rakyat.  Mari kita lihat saja, siapa yang nanti terbukti dinilai jujur oleh rakyat dialah yang memenangkan pertarungan ini." Pak Pray, rakyat memang telah memberi mandat besar dan itu fakta statistik pemilu presiden 2009 yang terjadi hanya dalam beberapa menit di bilik suara, setelah sekian lama dikepung oleh kampanye dengan penuh drama. Tapi, kini rakyat hidup dalam fakta-fakta yang melebihi lima menit dan itu akan terus mengepung dirinya, dan saat kepungan problem hidup semakin mendesak ia bisa menjadi air bah yang akan meruntuhkan tembok penghalang, sekokoh apapun jua. Jika demo bukan lagi caranya maka kadang koin juga bisa menjadi tanda yang kini tampak biasa tapi nanti justru menjadi surat putus cinta antara rakyat dan penguasanya. Saleum hormat Ananda Rismanaceh, yang suka membaca sambil bertanya-tanya walau kerap masih banyak salah karena pakai kacamata hitam pula. Sumber Foto: Pak Pray dari presidensby.info

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun