Statemen di atas mendorong kita untuk menempatkan film Sang Pencerah sebagai protes penutup rakyat Indonesia diperjalanan menuju penghujung tahun 2010 ini.
Menariknya, protes penutup rakyat ini dilakukan oleh Hanung Bramantyo dengan cerdas. Tanpa harus berdemo yang kadang membawa petaka, Hanung berhasil menyampaikan inti protes rakyat dan itu dilakukan Hanung dengan meminjam sosok dan sekaligus cara Sang Pencerah itu sendiri, yakni KH Ahmad Dahlan.
Melalui film yang didanai oleh Raam Punjabi ini Hanung sepertinya ingin menyuarakan suara anak bangsa (khususnya dari unsur Muhammaddiyah) yang ingin mengatakan bahwa Indonesia memang belum berubah. Lihatlah apa yang terjadi pada masa kini adalah juga kejadian yang pernah terjadi pada masa lalu sebagaimana yang dialami oleh KH Ahmad Dahlan pada masanya.
Hebatnya, jika KH Ahmad Dahlan bisa menghadapi kondisi kekiniannya dengan solusi Muhammaddiyahnya tapi kondisi kekinian yang kita hadapi belum berhasil dihadapi dengan solusi yang melebihi apa yang sudah dihasilkan oleh KH Ahmad Dahlan.
Sedihnya, jika mencermati pendekatan para tokoh saat ini dalam menghadapi masalah justru lebih mundur dibandingkan dengan pendekatan yang dilakukan oleh KH Ahmad Dahlan. Saling tuduh, saling jegal, saling plintir menjadi wajah kepemimpinan saat ini.
Ini pesan utama yang menurut saya ingin disampaikan oleh film Sang Pencerah. Sayangnya, dari tokoh-tokoh yang sudah menonton film ini tidak keluar satu statemen yang menggerakkan dan mengandung nilai-nilai kepemimpinan sebagai pemimpin bangsa saat ini melainkan hanya sekedar memberi nilai angka (Amin Rais), dua jempol (Budiono), siap mendanai (Hatta), dan ungkapan bagus serta kagum.
Mungkin, kita bisa berapologi bahwa apa yang terjadi hari ini yang masih sama dengan kejadian pada masa lalu hanya bagian dari hukum perulangan sejarah saja. Tapi jurus elak ini menjadi tidak elok jika dihadapkan dengan sifat keledai yang kerap jatuh di lubang yang sama. Apa kita mau disamakan dengan keledai? Tentu saja tidak! Perulangan sejarah mestinya memberi pesan indikator bahwa jika kejadian masa lalu masih juga terjadi kembali maka itu pertanda tidak ada yang disebut perubahan pada diri bangsa ini.
Terakhir saya ingin mengatakan bahwa Muhammaddiyah memang pinter menutup rangkaian kritik rakyat dengan meminjam kehebatan sosok sutradara yang juga sukses di film sebelumnya dan Hanung pun saya kira juga menyisakan kritik kepada Muhammaddiyah itu sendiri. Apa kritik untuk organisasi yang kini kembali dipimpin oleh Din Syamsuddin? Hanya Hanung dan Din yang tahu.
Tiga bulan lagi bukan waktu yang lama dan kita akan segera mengucap selamat datang tahun 2011. Semoga akan hadir Sang Pencerah Masa Kini. Mungkinkah ia dari kalangan Muhammaddiyah?