Mohon tunggu...
KOMENTAR
Politik Artikel Utama

4 Desember, Saat Paling Mencekam

1 Desember 2009   07:33 Diperbarui: 26 Juni 2015   19:07 1164 0
[caption id="attachment_31904" align="alignleft" width="300" caption="Lambaian Damai Hasan Tiro"][/caption] Tulisan ini saya tulis dengan satu niat, berbagi pengalaman terkait saat paling mencekam, minimal yang saya pernah rasakan setiap menjelang tanggal 4 Desember. Dengan niat ini, saya berharap apa yang pernah kami alami tidak dialami oleh siapa pun di segenap nusantara, bahkan jika mungkin seluruh jagat raya ini. Sungguh, hidup dalam suasana mencekam sangat tidak enak, apa pun alasannya. Untuk itu, kepada setiap orang, kelompok, dan khususnya negara jangan sampai melakukan satu tindakan yang dapat berujung pada hadirnya suasana mencekam. Sungguh, tidak ada pihak yang menang, dimenangkankan, atau mendapat kemenangan dari sebuah suasana yang mencekam. Malah sebaliknya, rakyatlah atau masyarakatlah yang paling dirugikan oleh itu semua. Maaf, kisah ini tidak terkait dengan pembentukan Pansus Hak Angket Century yang dikabarkan dibentuk tanggal 4 Desember ini. Namun begitu, jika kemudian Pansus Century tidak menjalankan tugasnya dengan baik, misalnya gagal dibentuk, macet ditengah jalan, keluar jalur dari misi awalnya, atau malah hilang tak ada kabar berita, maka tanggal 4 Desember itu juga bisa menjadi tanggal yang berakibat pada lahirnya kecemasan. Sekali lagi, sungguh kecemasan hanya akan berdampak negatif bagi rakyat, khususnya rakyat kecil yang tidak ambil bagian dalam hiruk pikuk politik. 4 Desember sebagai saat paling mencekam yang saya maksud adalah hari dimana GAM memperingati Ulang Tahunnya, atau yang kerap disebut dengan Milad GAM. Pada saat itu, kesibukan GAM mempersiapkan diri menyambut hari proklamasi berdirinya kembali Aceh sebagai negara berdaulat meningkat. Bagaimana pun situasi dan kondisi yang sedang dihadapi oleh GAM terkait tekanan pihak RI melalui TNI dan Polri usaha untuk memperingati Milad GAM tetap mesti dilakukan untuk kepentingan politik. Sebaliknya, pihak TNI dan Polri juga merasa penting untuk menekan pihak GAM jangan sampai melaksanakan Miladnya karena itu menjadi pertanda masih eksisnya sebuah perlawanan. Kalau sudah begitu, pihak masyarakatlah yang terjepit diantara dua gajah yang sedang bertikai. Hal paling terkecil adalah soal menaikkan atau tidak menaikkan bendera Aceh Merdeka. Karena itu, setiap menjelang hingga tanggal 4 Desember tiba diberbagai tempat tergambar suasana mencekam. Banda Aceh saja yang menjadi pusat Ibukota Aceh yang dikelilingi oleh pasukan pengamanan dan polisi ketertiban terlihat sunyi, dan mencekam. Toko-toko tutup dan aktivitas jalanan sepi. Bayangkan bagaimana mencekamnya suasana yang dihadapi oleh masyarakat-masyarakat di berbagai pelosok desa atau gampong yang ada di Aceh khususnya di daerah-daerah yang disebut sebagai wilayah dengan intensitas konflik tinggi, seperti Pidie, Aceh Utara, Aceh Timur, dan juga Aceh Besar bagian terluar dari kota. Beruntunglah jika tidak ada kejadian kontak senjata antara pihak GAM dan TNI. Beruntunglah jika pihak GAM mengeluarkan himbauan agar pihak masyarakat tidak wajib mengikuti upacara Milad. Beruntunglah jika TNI tidak mengambil sikap refresif atau melakukan penyerangan terhadap kantong-kantong peringatan Milad GAM, dan beruntungkah jika kedua pihak secara diam-diam menyadari konsekuensi dari sebuah pertempuran jika dilakukan secara terbuka dan sporadis. Namun, seuntung apa pun dari sebuah konflik bersenjata tetap saja hidup dalam suasana mencekam tidak cukup sehat baik bagi diri sendiri, keluarga, gampong maupun daerah, juga untuk negara. Banyak sekali biaya yang mesti dikeluarkan baik dalam pengertian anggaran maupun dalam pengertian biaya politik dan biaya sosial untuk memenej hidup dalam suasana konflik dengan kekerasan. Negara sama sekali tidak diuntungkan misalnya karena telah berhasil menembak petinggi kelompok perlawanan atau bahkan karena telah berhasil memukul mundur kelompok yang disebut sebagai pengacau keamanan. Anggota perlawanan boleh saja mati dan kekuatan mereka boleh saja lumpuh namun pada saat yang sama pendekatan refresif akan melahirkan kekuatan-kekuatan perlawanan baru dengan daya tahan dan daya lawan yang lebih dasyat. Sebaliknya, sehebat apa pun idiologi yang berhasil dibangun oleh pihak petinggi kelompok perlawanan dan secanggih apa pun peralatan senjata yang berhasil diperoleh tetap saja perlawanan hanya akan menghasilkan penderitaan yang panjang dan hidup dalam konflik yang berkepanjangan. Memang, ada penilaian yang mengatakan bahwa perang bukan tujuan tapi dengan perlawanan pihak lawan baru akan mau diajak untuk menyelesaikan pertikaian secara bermartabat. Karena itu, menjadi penting bagi penyelenggara negara (pemerintah) untuk mengutamakan pembangunan untuk sepenuh-penuhnya kemakmuran rakyat secara adil di segenap nusantara. Jangan ada lagi pikiran primordial yang hanya ingin memajukan daerah kelahirannya atau daerah kesukuannya saja karena tindakan ini akan dibaca secara politis yang akhirnya melahirkan kelompok-kelompok perlawanan dan ujungnya membuat masyarakat hidup dalam suasana kecemasan. Hari ini, suasana primordial mungkin sudah berlalu dan menjadi sejarah pahit dalam lembaran catatan sejarah kita. Namun, itu bukan bearti kita sudah terbebas dari ancaman. Salah satu ancaman terbesar adalah soal penegakan hukum yang masih timpang yang diikuti oleh masih lemahnya tradisi dalam berpolitik. Hal ini, jika tidak dicegah sedari dini juga bisa menjadi faktor pemicu bagi lahirnya gerakan-gerakan perlawanan karena bisa saja menghadirkan kesimpulan sebagaimana dulu pernah muncul, yakni: sama sekali tidak ada harapan hidup lebih baik di bawah pemerintahan Indonesia. Kembali lagi pada tanggal 4 Desember di Aceh yang saat ini tentu sangat berbeda dengan saat dulunya. Meski saat ini di Aceh ada tokoh sentral GAM, Tengku Hasan Tiro, namun suasana mencekam yang pernah dialami dulunya sudah sirna. Tengku Hasan Tiro malah menjadi simbol untuk menjaga keberlangsungan damai. Tak ada lagi pesan yang datang dari sosok yang disebut Wali untuk dibaca oleh Panglima GAM sebagaimana pesan yang dulu pernah dibaca oleh Almarhum Abdullah Syafii: "Saya meminta semua warga Aceh, pria, wanita, tua dan muda, agar siap menghadapi musuh bila mereka menyerang. Kita akan membuat setiap jengkal tanah suci Aceh ini menjadi medan perang."  Saya berharap, agar sang Wali disetiap pertemuannya dengan masyarakat menyampaikan kalimat berikut: "Saya meminta semua warga Aceh, pria, wanita, tua dan muda, agar siap menjadi orang pertama dan utama untuk memastikan Aceh menjadi daerah damai sepanjang hayatnya untuk menjadi contoh bagi seluruh daerah di Indonesia bahwa hidup dalam perdamaian begitu indah adanya."

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun