“ Mama….kenapa es mencair?” Si kecil terus saja mengganggu tidurku dengan pertanyaan yang sama. Namun aku berusaha untuk tidak pernah bosan menjawabnya. Anak cerdas memang selalu memiliki segudang pertanyaan kritis yang luar biasa. Dan aku bangga dengan anakku. “ Es mencair karena panas…” “ Panas?” “ Iyah….panas bisa melelehkan es menjadi air, sayang!” AKu tersenyum menatapnya. Kuharap jawabanku mampu memuaskan rasa ingin tahunya yang besar. Namun sepertinya tidak. Anakku menggaruk kepalanya yang tidak gatal, karena bingung. “ Kenapa bisa panas?” “ Karena ada api.” “ Dimana ada api? Aku tidak melihatnya mama.” Si kecil mengedarkan pandangannya ke segala arah, seperti mencari-cari sesuatu. Aku tersenyum gemas melihatnya. Kucubit pipi chubby-nya. “ Sayang…apinya bukan di sana…di sana dan di situ.” Aku menunjuk-nunjuk ke segala arah. Mata mungilnya mengikuti kemana telunjukku mengarah. Kemudian dia menatapku, matanya berkedip-kedip. Dia mengangkat bahunya dengan ekspresi yang lucu. “ Terus dimana mama?” Dengan manja si kecil bergelendot di bahuku. Aku merengkuhnya penuh seluruh. “ Di sana…” Aku menunjuk ke atas. Lagi-lagi matanya mengikuti kemana telunjukku mengarah. Kemudian matanya yang polos menatapku bingung. “ Aku tidak lihat api, mama.” “ Lalu apa yang kamu lihat?” Sejenak si kecil mengerutkan dahinya, seperti sedang berpikir sesuatu. “ Aku lihat awan….” “ Iyah terus apa?” “ Aku lihat matahari…” “ Iyah…” “ Aku lihat….burung laut…” “ Iyah… terus?” “ Mmmhhh apa lagi yah…” Si kecil mendongak ke atas berusaha mengingat-ingat. AKu hanya tersenyum simpul melihatnya. Diam-diam aku mengagumi dia. Anak semata wayangku. Dia menuruni kecerdasan papanya. Dan kecerdasan papanya lah yang telah memikatku hingga aku tergoda dan pasrah mengikat janji setia kepadanya. “ Gak ada Ma. Cuma itu…” Si kecil mengagetkan lamunanku. Aku tersenyum. “ Benar kan Ma, tidak ada api.” Aku mengangguk pelan sambil tersenyum. “ Terus apinya mana mama?” Si kecil penasaran. Aku tertawa kecil, “ Mari mama tunjukkan!” “ Kamu lihat itu!” Telunjukku menunjuk ke atas, tepat pada satu benda raksasa yang berkilauan terang berdiri angkuh di antara awan. Dari ekor mataku aku melihat si kecil sedemikian antusiasnya mengikuti kemana telunjukku mengarah. “ Itu mama!” Si kecil ikut menunjuk. “ Yes my dear…” Mata kami beradu pandang. “ Itu kan matahari mama…” Mata si kecil berkedip-kedip dia terlihat bingung. “ Benar sekali sayang, dan matahari itu adalah sumber panas terbesar di bumi ini. Cahayanya, panasnya adalah sumber kehidupan di bumi ini. Jika tidak ada dia, mungkin tak aka nada kehidupan di dunia ini.” Aku menatap Si kecil yang tampak bingung. “ Kok aku jadi bingung mama?” Si kecil melepaskan pelukannya, dia seperti hendak melihatku dengan jelas, menguliti setiap kebenaran yang terpancar dari sorot mataku. “ Bingung?” Aku bertanya. Si kecil mengangguk. “ Apanya yang bingung…” Tanyaku lagi. “ Kalau matahari adalah sumber kehidupan, dan kita tak bisa hidup tanpa matahari. Kenapa dia melelehkan istana kita mama?” Tuhan! Aku tidak menyangka si kecil sedemikian kritis. Rasanya baru kemarin aku menyapihnya, menidurkannya dalam buaian di istana kami. Dan sekarang si kecil sudah pandai bicara. Sama persis seperti papanya. Cerdas! “ Karena keadaan yang membuatnya seperti itu.” “ Maksud mama, matahari marah oleh keadaan?” Sorot matanya yang tajam menjelajahi ruang hatiku lewat mataku. Aku mengangguk pelan, “boleh jadi…” “ Mengapa harus marah?” “ Tidak, matahari tidak marah…” “ Tapi?” “ Matahari hanya korban dari keadaan.” “ Korban? Korban apa?” “ Korban dari alam yang tidak lagi bersahabat.” Aku mengatakannya dengan berat hati. Tiba-tiba aku teringat pembicaraan terakhirku dengan suamiku hampir 6 bulan yang lalu. *** “ Revolusi harus segera dilakukan…!” Ujar suamiku dengan berapi-api kala itu. “ Tapi kamu tidak harus meninggalkan aku dan si kecil sendirian bukan?” Aku saat itu sambil menangis sesenggukan. Suamiku menoleh ke arahku, dia mendekatiku dan memelukku penuh seluruh. Membiarkan aku menangis di dadanya yang bidang dan hangat. Aku tumpahkan semuanya di atas dadanya. Demi Tuhan aku marah sekaligus sedih. Mengapa? Mengapa harus suamiku yang pergi? Bukan yang lain? “ Sayang….” Tangannya yang kekar membelai punggungku dengan lembut, berusaha menenangkan diriku. Tapi aku hanya menangis sesenggukan. Aku biarkan air mataku membasahi tubuh kami. “ Aku adalah pemimpin di bangsa kita. Aku harus memimpin para lelaki untuk melakukan ekspedisi itu. Sebuah revolusi yang sudah lama kita nantikan. Ekspedisi menuju daratan es lain untuk kehidupan kita. Untuk aku, kamu, si kecil dan semua saudara dan teman-teman kita.” Suami berusaha menerangkan dengan suaranya yang berat. Aku tahu, suamiku juga sedang menahan tangis. Tapi dia tak ingin membiarkanku larut. Dia tahan-tahankan tanggul pertahanan air mata agar tidak jebol. “ Tapi kenapa kamu, sayang? Kenapa? Kita baru saja memiliki buah hati yang sudah lama kita nantikan. Apakah kamu tidak cinta dengan kami?” Aku protes dengan payah. Aku sebenarnya sudah hampir kehabisan tenaga karea terlalu banyak menangis. “ Justru karena aku sayang dengan kalian, makanya aku harus melakukan revolusi ini. Segera setelah aku menemukan daratan itu. Aku akan kembali, memboyongmu dan anak kita. Kita akan membangun istana yang baru. Disana?” “ Apa tidak ada cara lain?” Aku masih tidak bisa terima alasannya. Aku menangis sejadi-jadinya. “ Sayang….kita tidak mungkin bertahan di sini. Seperti juga kita tidak bisa protes kepada para manusia yang menebang hutan, membangun pabrik-pabrik, memakai AC di rumah-rumah mereka, menambah jumlah kendaraan bermotor yang penuh polusi dan lain-lainnya yang membuat alam marah. Iklim berubah, bumi mulai menghangat dan kita tidak mungkin bertahan di sini. Aku dan beberapa lelaki harus pergi mencari dreamland itu.” Dengan bergetar suamiku berusaha menjelaskannya lagi. “ Aku ikut!” Aku berontak, aku melepaskan diri dari pelukannya. Aku menatap wajahnya dengan sorot mata tajam yang memaksa sekaligus mengancam. Aku melihat matanya berkaca-kaca. Dia hampir saja tidak bisa menahan diri untuk menangis. Dia memaksakan dirinya untuk menyungging senyum untukku. Namun sayang sekali senyumnya yang biasa meneduhkanku kala lara, gundah gulana tak tentu arah. Kini tak berarti lagi. “ Tidak bisa sayang…” “ Kenapa?” “ Karena kita punya si kecil. Kita tidak pernah tahu apa yang akan terjadi sepanjang perjalanan ekspedisi berbahaya ini. Bagaimana dengan si kecil?” “ Biar aku yang gendong si kecil.” Aku meyakinkan sambil memohon. Dia tersenyum getir, “ Tidak semudah itu, perjalanan sangat panjang. Mungkin kita tak hanya berjalan tetepai juga harus berenang mengarungi lautan dalam. Dan ada banyak sekali predator di luar sana. Mungkin kita masih bisa menghindar dari predator laut. Tapi apakah kita mampu mengelak dari para pemburu. Mungkin peluru nyasar.” Aku mengeraskan tangisku, aku berontak, “ Sayang! Tolong izinkan aku selalu bersamamu dalam suka dan duka. Seperti janji setia yang telah kita ucapkan.” “ Tapi aku juga sudah berjanji di hadapan Tuhan akan selalu bertanggung jawab dan menjagamu dunia dan akhirat, memberikan kalian penghidupan yang layak dan istana tempat aku, kamu, anak-anak kita dan bermilyar cinta di antara kita.” Matanya yang sudah merah semakin merah dan suaranya hampir tidak terdengar karena dia menahan diri untuk tidak menangis. “ Aku bisa hidup dalam kesusahan asal kau di sampingku.” Aku menantang suamiku. “ Tapi aku tidak akan sanggup membuatmu susah.” “ Tapi dengan kamu meninggalkan aku kau telah membuatku susah.” “ Tidak sayang, percayalah. Aku pergi tak akan lama. Sebelum es mencair aku akan kembali dan memboyong kamu dan si kecil ke istana kita yang baru.” Suamiku berusaha keras meyakinkanku. Tangannya membelai kepalaku lembut. Dia biarkan aku memasrahkan diri di dadanya, mencari sebentuk kehangatan dari seorang kekasih. “ Kamu yakin kamu akan dating sebelum es mencair?” Aku menatapnya saat tangisku mulai mereda. “ Yah….tentu saja?” “ Secepat itu?” Aku menatapnya dengan pandangan menyelidik. “ Tentu….Apakah aku pernah berdusta padamu?” Dia membalas tatapanku dengan pandangan yang meyakinkan. Sekeras apapun usahaku untuk menguliti keraguan dari matanya, aku malah semakin tidak menemukannya. Aku menggeleng pelan, menyerah. Aku percaya pada suamiku, dia tidak akan pernah berdusta. “ Kapan kau pergi?” Aku mulai mereda. “ Besok sayang….” Kali ini dia menjawabnya dengan senyum. Walau aku sudah berusaha keras menerimanya, tapi sungguh aku masih tidak bisa benar-benar jujur dalam hatiku bahwa aku ikhlas melepasnya. Namun aku hanya bisa mengikhlaskannya saja. “ Besok pagi-pagi buta…” Aku terkesiap, “Pagi-pagi buta?” “ Iya sayang.” Iya berusaha mesra di malam perpisahan kami. Aku merengut, dia tahu isi hatiku. Dia memegang kedua kepalaku dan menegakkannya hingga pandangan kami beradu. “ Dengar sayang, aku pergi tidak akan lama. Sebelum es mencair, aku akan kembali dan membawa kamu dan anak kita pergi ke tempat yang baru….. “ Aku tatap wajahnya, memelas berusaha mengusik sedikit rasa belas kasihannya. Seperti biasanya aku berusaha untuk merayunya saat aku sedang merajuk. Namun percuma, niat suamiku sudah bulat, untuk mencari daratan impian untuk kami semua. Aku mengangguk pelan. Suamiku tersenyum, dan aku pun menunduk. Aku memilih diriku untuk menyembunyikan rasa dukaku yang teramat sangat di hari kepergiannya. Aku ingin melepasnya dengan senyum walau hatiku terlalu sakit. Suamiku memelukku penuh seluruh, lirih dia berkata, “ Aku teramat sangat mencintaimu dan anak kita. Aku ingin memberikan berjuta kebahagiaan untuk kalian. Karena kalian sangat berharga untuk hidupku.” Aku membalas pelukannya, kami berpelukan dengan erat sekali. Membiarkan kami lebur satu sama lain di hari perpisahan kami. Dia mengangkat wajahku, memandangku dengan pandangan syahdu. Romantis sekali. Dia menciumku dengan segenap perasaan. Aku pun membalasnya. Kami saling berpagutan dan memeluk. Kuserahkan semua untuk suamiku, sementara buah hati kami sedang tertidur di ranjangnya. Aku tidak tahu apakah suamiku benar-benar akan kembali sebelum es mencair. Tidak tahu. *** “ Mama…mama….” Suara si kecil menyadarkan lamunanku. Tanpa sadar bulir air mataku berlelehan di pipiku. “ Mama menangis?” Si kecil bertanya, matanya menyelidik. “ Ah nggak…” Buru-buru aku hapus air mata yang mengalir. “ Mama cuma kelilipan…” Si kecil tertawa cekikikan, “ Kelilipan? Mana ada debu di es?” Aku hanya tersenyum getir. “ Mama kangen papa?” Si kecil menebak. Aku hanya mengangguk pelan. Sudah enam bulan dia pergi tanpa kabar, dan beberapa lelaki lain yang dulu serombongan dengan suamiku tidak pernah kembali. Enam bulan waktu yang teramat lama. Es sudah mulai mencair. Tidak ada lagi yang tersisa kecuali secuil daratan tempat aku dan si kecil berpijak. Tinggallah kami berdua, sunyi, sepi sendiri di sini. Semuanya telah pergi, menyelamatkan diri masing-masing. Dan aku tidak pernah tahu bagaimana nasib mereka kini. Aku tidak pernah tahu siapa yang harus dipersalahkan. Matahari atau manusia jahat yang membuat kerusakan di muka bumi. Hingga iklim berubah dan bumi memanas. Kemudian menghancurkan istana kami, habitat kamu dan merebut kebahagiaan kami di sini. “ Mama menangis lagi?” Suara si kecil kembali menyadarkan lamunanku. Aku tak bisa menyembunyikan lagi perasaanku. “ Tidak nak…” “ Mama bohong!” Aku tersenyum mendengar mulut kecilnya yang ceriwis. Aku memeluknya. Dia memasrahkan dirinya dalam pelukanku. Aku mengedarkan pandang ke segala penjuru. Tidak ada siapapun di sana. Hanya aku dan si kecil dengan secuil daratan tempat kami berpijak yang belum mencair. Kubiarkan airmataku mengalir sambil terus mempererat pelukanku. Dalam hati aku merintih, “ Tuhan izinkan kami hidup satu hari lagi.” Matahari kian memancarkan sinarnya. Dalam hatiku berdegup kencang. Kekhawatiran teramat sangat menyergap hatiku. Aku takut sinarnya melelehkan es terakhir di dataran Arktik. Mungkin tidak akan pernah ada hari esok bagi kami para beruang kutub. Dan kami akan mati di sini seperti saudara, teman dan kolega kami di sini. Aku menatap anakku. Membelai kepalanya, dan badannya yang ditutupi bulu-bulu halus nan lembut berwarna putih. Kupandangi wajahnya yang tampan, mata polosnya yang meredup, hidungnya, pipinya. Garis-garis wajahnya mengingatkanku pada suamiku, yang kini entah ada dimana. Aku tersenyum getir. Tuhan….dia masih teramat kecil untuk bisa memahami bahwa manusia-manusia keparat itu yang menyebabkan climate change, global warming dan prahara ini. *** (
http://nasional.kompas.com/read/2008/09/17/1153384/lapisan.es.terus.mencair.beruang.kutup.terancam) Para ilmuwan NASA telah mengamati lapisan es Kutub Utara sejak 1979. NASA mengembangkan kemampuan untuk mengamati lapisan itu dan konsentrasi es laut dari udara selama sensor microwave pasif. Es tersebut menyusut hingga batas minimumnya pada 12 September 2008, ketika es itu menutupi wilayah seluasa 4,52 juta kilometer persegi, dan kini tampaknya berkembang, saat Kutub Utara mulai memasuki musim dingin, kata National Snow and Ice Data Center. Satu terusan di Northwest Passage, jalur laut yang telah lama diinginkan antara Eropa dan Asia, terbuka pada 2007 dan 2008. Pada tahun ini juga terjadi pembukaan Northern Sea Route yang melewati Samudra Kutub Utara di sepanjang pantai Siberia. Ice Center tersebut bulan lalu menyatakan terjadi pencairan es mendasar di Laut Chukchi di lepas pantai Alaska, Eastern Siberian Sea, di lepas pantai Rusia timur, salah satu habitat populasi terbesar beruang kutub di dunia. Karena beruang kutub menggunakan gumpalan es terapung sebagai landasan untuk berburu anjing laut, mereka terpaksa berenang menempuh jarak yang lebih jauh ketika es mencair sehingga sangat mungkin mereka akan kelelahan dan terancam mati tenggelam. Es kutub merupakan satu faktor dalam pola cuaca dan iklim global. Perbedaan antara udara dingin di kutub dan udara hangat di sekitar Khatulistiwa mengirim udara dan arus hangat, termasuk arus pekat. Es laut membantu menahan udara dingin di sekitar Kutub Utara karena warna putihnya memantulkan sinar matahari. Ketika es laut menghilang, air gelap yang baru terbuka menyerap lebih banyak sinar matahari sehingga mempercepat dampak pemanasan. Selamat Hari Bumi! Sadarkah anda di belahan bumi sana ada yang sedang meregang nyawa karena ulah kita? Mulai dari sekarang selamatkan bumi dari globar warming! Kedoya, 23 April 2010 Risma Budiyani (Dilarang meng-copy paste tulisan ini tanpa seijin dan mencantumkan nama penulisnya).
KEMBALI KE ARTIKEL