Aku adalah perempuan bersuami , yang sangat mencintai suamiku. Karena hampir tidak ada yang perlu kusangsikan untuk tidak mencintai pangeran tampan yang telah mendampingiku dalam suka dan duka, dalam gelisah dan mendesah, dalam temaram dan terang. Setiap detik desah nafasku adalah hanya wajahnya yang selalu membayangi. Tidak ada yang lainnya. Aku mencintainya tanpa syarat. Sedang debar hatiku masih sama kerasnya ketika aku pertama kali menjumpainya. Senyumnya menceriakan duniaku, sekalipun saat itu duniaku seperti neraka. Dia memanjakanku dengan segenap perhatian. Seandainya aku meminta bulan sekalipun, dia akan bersusah-payah untuk mendapatkannya asal aku bisa tersenyum. Dia selalu berusaha keras untuk tidak membuat aku menangis. Satu tetes air mataku jatuh akan membuatnya terluka hingga dia tidak henti-hentinya menyalahkan kebodohannya yang telah menyia-nyiakan anugerah terindah dalam hidupnya. Baginya, aku adalah anugerah terindah yang pernah ada dalam hidupnya. Dia telah melewati perjalanan panjang untuk mencari seorang bidadari untuk menemani hidupnya yang gersang. Dan akulah bidadari itu. Tersanjung? Tentu saja aku tersanjung. Dan aku yakin perempuan mana pun akan tersanjung bila kekasihnya, suaminya memujanya setengah mati. Hingga kau sampai tidak tahu lagi, bahwa di sana ada ratusan juta pasangan yang saling mengkhianati pasangannya. Hingga kau pikir bahwa kamu adalah perempuan paling beruntung sedunia. Apakah aku bahagia? Tentu, tentu saja aku bahagia. Setiap detik yang terlewati ada senyum, canda dan tawa. Aku sudah lupa bagaimana rasanya menangis ketika aku kehilangan sesuatu. Aku sudah lupa bagaimana rasanya kecewa karena aku tidak mendapatkan sesuatu yang aku inginkan. Aku sudah lupa rasanya bersedih. Karena semenjak aku berjumpa dia, yang ada adalah episode bahagia. Kalau misalkan kisah Sampek – Engtay, Romeo – Juliet, Laila Majnun, Rama-Shinta, Maka kamilah kisah itu. Aku yakin bila sesuatu yang buruk terjadi pada diriku. Pangeranku akan mati perlahan. Atau malah parahnya dia akan mati bunuh diri. Baginya aku adalah separuh jiwanya. Bila separuh jiwanya pergi, maka dia tidak akan bertahan hidup lebih lama. Sama seperti elang yang setia sampai mati dengan pasangannya. Baginya aku adalah dunianya. Aku dan segenap pesona yang kumiliki telah mengalihkan dunianya. Telah menutup matanya dari para gadis-gadis muda belia lagi cantik yang berseliweran. Aku…aku… Ah… Tidak ada lagi yang patut aku ceritakan selain kami adalah pasangan serasi. Kami berharap, cinta kami tidak akan pernah lekang di makan oleh waktu. Biarkan kami mencinta sampai nyawa ini terlepas dari raga. Dan izinkan kami mencinta hingga masanya kami berkumpul di surga. Hingga pada suatu hari aku bertemu dengan lelaki lain dalam kehidupanku. Lelaki itu tidak lebih tampan dari pangeranku. Tetapi pesonanya seakan mampu mengalihkan sebagian duniaku yang semula dikuasai oleh pangeranku. Bagiku pangeran dan dia adalah dua sosok berbeda yang saling melengkapi. Namanya James. Entah bagaimana tiba-tiba Tuhan mengirimkan lelaki itu di salah satu episode dalam hidupku. Dan menurutku ini adalah episode yang salah. Mengapa James datang terlambat? Mengapa tidak dahulu ketika aku masih lajang dan belum bertemu pangeran. James adalah lelaki yang tampan. Dia selalu terlihat percaya diri, dalam setiap kesempatan. Dia seperti tahu apa yang ingin dilakukannya. Aura positifnya terlihat sedemikian kuatnya memancar dan menjadi daya tarik tersendiri. Aku yakin James, mampu memikat siapa saja yang bertemu dengannya. Tidak hanya para gadis lajang, mungkin siapap pun orangnya akan suka memandangnya. Aku tidak pernah berkenalan langsung dengan James. Tetapi aku mengenalnya. Dan aku yakin semua orang yang tinggal sekomplek dengannya akan mengenalnya tanpa berkenalan dengannya. James memang berbakat menjadi seorang selebritis. James sangat tampan. Suatu kali aku pernah berpapasan dengan James. Dan Oh Tuhan, bola matanya yang perpaduan biru dan hijau demikian cantiknya menghias matanya. Aku hampir tidak berkedip melihatnya. Tiba-tiba saja, mata coklat pangeranku di rumah yang selama ini aku puja dan aku kagumi, tidak ada apa-apanya dibandingkan mata James. Aku sampai menghentikan langkahku demi untuk melihat James lebih dekat. Sambil menciumi habis aroma tubuhnya yang harum. Walaupun sebenarnya, wangi James tidak lebih harum dari Obsession for Men-nya Calvin Klein milik pangeran. Tetapi aku menyukainya. Terlihat sekali bahwa James adalah lelaki yang merawat diri. Aneh, sejak kapan aku menyukai lelaki berkumis? Dahulu aku tidak pernah suka lelaki berkumis yang terlihat sangat kebapakan. Tetapi kumis James, sungguh memikatku. Dan justru kumis itu membuatnya tampak maskulin di usianya yang aku yakin masih muda. Dan aku masih belum berani berkenalan langsung dengannya. Selain malu, aku juga masih menjaga diri. Apa kata orang kalau seorang perempuan bersuami berkenalan dengan lelaki yang bukan muhrim. Lagipula apa alasan aku untuk berkenalan dengan James? Tanya PR seperti di masa-masa sekolahku dulu? Tanya laporan revenue penjualan program untuk melengkapi laporan mingguanku? Atau menanyakan mengapa hukum ekonomi tidak lagi bisa menjelaskan keadaan negara kita? ATau malah menanyakan kredibilitas hukum di Indonesia? Ah sepertinya itu terlalu mengada-ada. Jangan-jangan James malah mundur teratur dan lari tunggang-langgang karena aku mendekatinya dengan cara yang aneh. Dan aku hanya berani memandangnya dari kejauhan. Dalam jarak yang tidak terlalu jauh namun juga tidak cukup dekat. Asalkan dari tempatku berdiri, aku bisa dengan leluasa mengamati James. Aku sampai hafal jadwal James. Di pagi-pagi buta biasanya James berlari pagi keliling kompleks. Kemudian sekitar jam setengah tujuh pagi. James akan berdiri di sekitar taman, mengamati orang-orang yang berlalu-lalang. Aku tidak pernah tahu James sebenarnya bekerja sebagai apa? Dan dimana? Tetapi aku tidak peduli dan tak perlu tahu. Akhirnya aku memajukan sedikit jam pergi ke kantorku agar aku bisa melihat James pada jam-jam itu. Suatu kami pangeran curiga, mengapa kini aku berangkat pagi lebih cepat dari biasanya. Dan aku hanya berkelit, “ Pekerjaan kantor sibuk sekali…” Kemudian aku mengambil tas dan laptop-ku, kemudian menciumnya mesra. “ Dagh…honey, sampai sore nanti…” Kemudian aku dengan tergesa-gesa meninggalkan halaman rumah diiringi tatapan heran pangeran. Aku berharap semoga Pangeran tidak curiga oleh perubahan sikapku yang lebih ceria dan selalu berangkat pagi hanya demi melihat James. Suatu kali pangeran memaksa, “Hari ini aku antar kamu ke kantor?” Oow…. Gawat…! Aku sedikit gugup, namun aku berusaha menguasai diriku. “ Gak usah sayang, nanti kamu telat ke kantor.” Padahal aku tahu kalau pangeran sudah memanaskan mobil semenjak pagi buta, hanya demi mengantar aku bidadarinya. Namun aku memutus harapannya dengan merajuk. “ Tapi ini kan hujan sayang…” Pangeran lagi. Aku tersenyum mesra, kemudian menggelendot manja pada pangeran. “ Cuma gerimis, nanti aku bisa naik taksi.” Aku sambil memeluk pangeran. Pangeran agak berat membiarkan aku. “ Boleh ya sayang?” AKu merajuk. Lama menunggu jawaban, Pangeranku mengkerutkan dahinya seperti menimang-nimang. Kemudian dia menatapku yang sedang memasang tampang memelas. Dia agak ragu sebelum akhirnya memutuskan untuk membiarkan istrinya pergi sendiri. Pangeran tersenyum, dan mengangguk. “ YES !” Dalam hatiku berseru, sambil melonjak kegirangan. Tentu saja aku tidak mau membiarkan suamiku mengetahui rencanaku. Tentang aku yang sengaja menolak suamiku untuk mengantarku. Karena sebenarnya aku ingin melihat James. Aku pun mencium bibir suamiku dengan cepat. “ Thanks honey…” Suamiku tersenyum, kemudian kedua tangannya menegakkan kepalaku dengan lembut, agar dia bisa dengan leluasa menciumku keningku. Kupeluk dia dengan erat untuk yang terakhir kalinya. Sebelum aku meninggalkannya dan menyambar tasku. “ Don’t you want to call cab, beloved?” Tanya suamiku lagi. “ Ya biar aku stop taksi di depan jalan. Kalau telpon takutnya kelamaan.” Aku menjawab dengan spontan, sambil mataku pura-pura sibuk mencari sesuatu dalam tasku. Aku tidak ingin pangeranku melihat mataku. Karena kalau dia sampai melihatnya, dia akan tahu bahwa aku sedang membuat alasan. “ Okey honey….I’m going. Assalamualaikum…” Aku berlalu meninggalkannya dengan sedikit terburu-buru. Karena aku takut aku tidak bisa melihat James lagi, karena dia sudah masuk ke dalam rumahnya atau malah sudah pergi meninggalkan rumah. “ Jemput gak?” Suamiku setengah berteriak. Aku menghentikan langkahku dan menatapnya sambil memperagakan gerakan menelpon dan bibir komat-kamit, “I’ll call you…” Pangeran mengangguk. Aku pun tidak membuang waktu lagi. Aku segera berlari meninggalkannya. Ah, mungkin pangeran sedikit curiga mengapa aku begitu bersemangatnya meninggalkan rumah demi kantor. Aku mempercepat langkahku namun tidak berjalan lurus ke depan jalan raya, tetapi memutar arah menuju blok yang berbeda. Agar aku bisa melewati rumah James. Sengaja aku memperlambat langkahku, sambil mataku menatap sekeliling kalau-kalau ada James di situ. Aku sampai harus menghentikan langkahku agar aku bisa melihat dengan jelas ke arah rumah besar berpagar putih. Benar saja apa yang aku khawatirkan. James sudah pergi. Jam segini pasti James sudah ada jadwal lain. Karena didorong oleh rasa penasaran, akhirnya aku mendekati rumah James. Dari balik jeruji pagar besi berwarna putih itu, aku melihat sebuah mobil merci E-Series dan sebuah mobil Nissan X-Trail yang masih terparkir di halaman rumahnya. Ups, mobilnya masih lengkap ada kemungkinan si Mata Biru ada di dalam. Mataku menyelidik, menembus jeruji pagar. Tetapi aku tidak melihat siapa pun di sana. Agak lama aku menunggu, hingga aku melirik jam tangan yang melingkar di jemari tanganku. “Ha?!? Jam setengah delapan…” Aku terkejut setengah mati. Hari ini aku ada jadwal meeting tepat jam setengah Sembilan. Aku bisa telat… Buru-buru aku berlari meninggalkan rumah James. Sehari tanpa melihat James adalah hal yang paling mengerikan bagiku semenjak mengenal James. Makanya setiap pagi aku berusaha meluangkan waktu mengintip James. Melihat tampang James yang innocence adalah sensasi tersendiri. Efeknya sangat dahsyat. Dadaku berdebar hebat, sama seperti gadis kecil yang baru saja mengenal cinta. Melihat James di pagi hari sudah seperti ritual yang harus dilakukan. Berminggu-minggu aku hanya berani menjadi penggemar rahasia James. Aku mengagumi James dalam diam. Bahkan aku pikir aku benar-benar telah jatuh cinta. Dan aku merahasiakannya. Hanya aku dan Tuhan saja yang boleh tahu, bahwa aku jatuh cinta lagi. Suatu kali aku mencoba mendiskusikan perasaanku yang teramat musykil ini pada sahabatku di kantor, Selvi. Sorot matanya tajam menatapku. “ Kamu memang benar-benar sudah gila! Tidak waras!” “ Cinta yang membuatku gila, Vi.” Aku membela diri. “ Cinta?” Selvi menatapku dengan pandangan yang meremehkan. “ Iyah cinta….perasaan yang sama ketika hati kamu tertambat pada seseorang…” “ Suamimu tahu?” Aku hanya menggeleng pelan. “ Tidak…tidak akan kuberitahu. Tadinya aku hanya ingin menyimpan rahasia ini sendirian, hanya aku dan Tuhan saja yang tahu. Sekarang ada kamu, maka ini rahasia segitiga. Hanya aku, kamu dan Tuhan. Berjanjilah padaku, kamu tidak akan mengkhianati kepercayaanku!” Awalnya Selvi ragu, hingga akhirnya dia mengangguk juga. “ Aku ingin memeluknya….” Kontan saja Selvi mendelik mendengar perkataanku tadi. “ Iyah…memeluk, dan kalau boleh menciumnya…” Aku menambahkan. “ Kau gila!” Selvi membentakku. “ Ya itu dia, aku sudah gila.” “ Aku pikir kamu mencintai pangeranmu seorang.” “ Iya…aku masih mencintai pangeran. Tidak berkurang kadarnya sedikit pun. Tapi itu bukan berarti aku menutup diri pada cinta yang lain.” Selvi menggeleng-gelengkan kepalanya sambil menatapku. AKu tersenyum sinis. “ Aku juga ingin memilikinya.” Mulut Selvi terbuka lebar, dia begitu shock dengan apa yang didengarnya. “ Memilikinya?” “ Yah…” Aku tidak ragu. “ Pangeran?” “ Iyah….dia tetap pada tempatnya begitu juga James.” “ Ku pikir kamu sudah diguna-guna. Kamu bukan sahabat yang kukenal. Aku hampir-hampir tidak percaya kalau aku sedang berbicara dengan….” “ Kupikir James bisa mengisi kesenyapan kala suamiku tidak ada di rumah.” Aku tersenyum sinis lagi. Dan Selvi mengangguk pelan. “ Ah terserah kau sajalah! Aku tidak mau ikut-ikutan…” Selvi lepas tangan. Maka semenjak saat itu, aku tidak lagi membicarakan perkara hatiku pada Selvi. Aku lebih senang menyimpannya dalam hati. Tentang kisahku dan James. Biar saja rahasia ini hanya aku dan Tuhan saja yang tahu. Bayangan James benar-benar tidak pernah lekang dari alam pikiranku. Senyum manisnya, mata biru-hijaunya, tangan dan kakinya yang berbulu panjang, harumnya, badannya yang terlihat sedap dipandang, dan segenap kelebihan lainnya. Bahkan bayangan James hampir tidak mau pergi, walau pun aku sedang berdua dengan suamiku. Mungkin ini yang namanya jatuh cinta. Selalu teringat pada sang pujaan hati. Suatu kali aku berkesempatan untuk berkenalan secara langsung. Aku menyentuh tangannya. Lembut sekali. Seperti ada aliran listrik maha dahsyat ketika aku menyentuh tangannya. Aku senang berlama-lama menyentuh tangannya. Karena dengan begitu, aku bisa memuaskan mataku dengan memandang wajahnya yang tampan, matanya yang biru-hijau. Dan sejak saat itu. James selalu menungguku di depan rumahnya. Dia akan mempersembahkan senyum termanisnya untukku. Senyum yang menceriakan pagiku. Senyum yang tidak pernah bisa aku lupakan. Lama berkenalan dengan James, membuat aku jadi tahu benar kesukaan James. Tentang wewangian kesukaan James, makanan favoritnya, sampai tentang hal-hal yang paling membuatnya jengkel. James suka sekali ikan. Maka hampir tiap hari aku menyiapkan sushi segar untuknya. Mata James berkerjap-kerjap ketika aku memberikan ikannya. Tak henti-hentinya dia mencium tangan kananku ala pangeran dari kerajaan antah berantah yang sedang memperlakukan seorang putri. Romantis…. Semakin dekatnya hubunganku dengan James, membuat hubunganku dengan suami semakin renggang. Demi James, aku hampir tiap hari memasak ikan. Makanan yang paling dibenci pangeranku. Dan tentu saja pangeranku terlalu baik. Dia tidak akan pernah protes tentang apa yang aku suguhkan. Makanya pangeran adalah pria tersabar seantero jagat. Dia hampir tidak pernah marah. Sepintar-pintarnya menyimpan bangkai, pasti suatu saat tercium juga. Dan suamiku akhirnya mencium gelagatku yang aneh. Tentang aku yang tiba-tiba menjadi sering berangkat ke kantor lebih pagi, tentang aku yang tiba-tiba menyukai ikan, tentang aku yang agak acuh tak acuh dengannya. “ Sayang….can we talk?” Suatu kali suamiku bertanya kepadaku yang sedang asyik memonopoli remote control. Tanpa menoleh dan sambil memencet-mencet tombol remote. Aku menjawab asal. “ Ngomong aja!” “ This is serious…” Suamiku masih berusaha lembut. “ Yah…I’m ready to listen.” Aku masih tetap acuh tak acuh. “ Honey!” Pangeran sudah mulai membentak, terpaksa aku pun menoleh dan mematikan televisi. Aku memandangnya dengan perasaan enggan. “ Kamu berubah…” Katanya lagi. “ Me? Berubah?” Tanyaku heran. Suamiku hanya mengangguk. Aku malah tambah bingung, aku menatapnya dengan tatapan penuh tanda-tanya. “ Yah sikapmu berubah…” “ Aku?” “ Iyah….” “ Sebenarnya ada apa ini? Apakah kau mulai bosan tinggal denganku?” Tanya Suamiku tiba-tiba hingga aku terkejut dibuatnya. AKu mendelik… “ Ngomong apa sih kamu? Jangan ngaco deh…” Aku mengalihkan pandanganku sambil melipat tanganku di atas dada. “ Come on honey…I know who you are. Kamu tidak bisa berdusta. Aku melihat gelagat anehmu yang selalu terburu-buru meninggalkan rumah. Kamu juga hampir tidak pernah mau kalau aku antar. Kamu juga jadi lebih sering tersenyum sendiri. Tidak jelas…dan…” “ Tidak ada yang aneh….Aku biasa saja. Mungkin kamu yang aneh.” Aku masih berusaha berkelit. “ Apakah ada lelaki lain dalam….” Suamiku ragu-ragu. Kontan saja aku marah, aku menoleh sambil menatap tajam ke arah suamiku. “ Maksud kamu aku selingkuh? “ Sorot mataku menatap jauh ke dalam matanya, menguliti setiap dusta yang barangkali tersembunyi. Atau sejumput keraguan yang membuat pendapatnya tidak lagi diakui validitasnya. Tetapi semakin aku melihat matanya, semakin aku tidak menemukan keraguan atau pun dusta. Aku menunduk, sambil menghitung kancing. Dalam hatiku bergulat hebat memikirkan langkahku. Apakah aku harus menceritakannya atau hanya menyimpannya saja sendirian? Kami dalam diam agak lama. Suamiku duduk di depanku sambil mengamati, menanti dengan sabar agar bicara. Aku mengangkat wajah dan menatapnya. Aku meminta dukungannya untuk menceritakannya. Suamiku hanya mengangguk, berusaha untuk sabar. Kutatap lagi wajah suamiku. Sebenarnya berat sekali untuk mengatakannya. Tetapi ini harus aku lakukan, karea suamiku sudah mencium semuanya. Aku menghirup nafas kuat-kuat, kemudian melepaskannya perlahan. Demi membentuk sebuah kekuatan dalam dirikju untuk berkata jujur. “ Benarkah ada lelaki lain dalam hatimu?” Suamiku menyadarkan lamunanku sejenak. Aku mengangguk pelan sambil menunduk. Aku lihat suamiku menahan diri. Pertanyaan berikutnya adalah…. “ Dengan siapa?” “ Bagaimana kamu kenal dia?” “ Apakah kamu mencintainya?” “ Apakah kau tidak mencintaiku lagi?” “ Mengapa kau lakukan ini dan itu?” “ Apakah dia lebih daripadaku…?” Dan segudang pertanyaan lainnya yang bernada investigasi. Lagi-lagi aku menghela nafas kuat-kuat sebelum menjawab serentetan pertanyaan itu. “ Namanya James. Dia tinggal tidak jauh dari komplek kita. Kupikir aku sudah jatuh cinta dengannya…” Muka pangeran merah padam berusaha menahan diri dan membiarkan aku menggunakan hak bicaraku. “ Aku salah apa? Dimana kurangnya aku?” Nada suara suamiku mulai terdengar bergetar. Aku menatapnya, “ Tidak, tidak ada yang salah dengan kamu. Kamu masih sosok yang sempurna di mataku.” “ Lalu apa lebihnya James?” Tanyanya lagi dengan nafas memburu. “ Tidak, bagiku kau dan James berbeda…” “ Dia lebih tampan, putih, tinggi, kaya atau apa?” Suamiku mulai memaksa, kini matanya memerah. “ Dia tidak lebih tampan darimu, tetapi dia memiliki mata biru yang indah…” “ Oh jadi itu masalahnya, mataku tidak sebiru dia?” Aku menggeleng pasti. “ Tidak…ini bukan tentang mata biru….” “ Baiklah apa yang dia miliki sedang aku tidak memilikinya? Apa kelebihannya di banding aku?” Suamiku berusaha berbicara walau dengan nafas tercekat. “ Karena….” “ Karena apa?” Suamiku tidak sabar. “ Karena kau dan James berbeda, dan kalau bisa aku juga ingin memiliki James agar aku tidak hanya menjadi penggemar rahasianya yang harus mencuri waktu hanya untuk mengintipnya.” “ Katakan sejujurnya! Apa lebihnya dia dibandingkan aku!” Suamiku mulai agak marah. Intonasinya meninggi dengan suara yang lebih keras. Aku mulai tidak nyaman. Tadinya aku bersikeras untuk tidak mengatakan siapa sesungguhnya James kepada suamiku. Aku hanya ingin menyimpannya dalam hati sampai waktunya tepat. Tapi kurasa ini adalah waktunya. Aku pun menyerah. “ James….” “ Cepat katakan! Jangan buat aku kesal !” Suara suamiku membuat hatiku kecut. “ Karena James bisa mengeong, bulu abu-abunya yang panjang begitu indah. Mata birunya terlihat cantik….dan kalau bisa aku ingin memiliki dia bersamamu.” Dan suamiku melongok, menyadari kalau saingannya sama sekali tidak ada apa-apanya dibanding dirinya. “ Maafkan, aku telah berselingkuh. “ Aku sudah hampir tidak bisa lebih lama lagi menahan tawa. “ Kalau boleh izinkan James kucing Persia di blok sebelah, untuk tinggal bersama kita, menggantikan si Ciprut yang sudah mati.” Dan suamiku pun pingsan….. Jakarta, 24 Juni 2010 Risma Budiyani (Dilarang menjiplak atau mempublikasikan tulisan ini tanpa seizin dan mencantumkan nama penulisnya).
KEMBALI KE ARTIKEL