Mohon tunggu...
KOMENTAR
Fiksiana

Muhasabah Waktu | Ramadhan

6 Juni 2019   07:22 Diperbarui: 6 Juni 2019   08:32 44 0
Waktu itu, ramadhan tiba. Anak-anak berlarian menuju masjid, ibu-ibu saling bencengkrama dengan tetangga yang jarang berjumpa, para gadis berkumpul entah membicarakan apa bahkan bapak-bapak pun tak mau kalah sehingga mereka sibuk duduk bersama dan terkadang saling tertawa walaupun terlihat sedikit terpaksa.

Aku, hanya bisa tersenyum sembari bersyukur dapat bertemu kembali dengan ramadhan, satu bulan yang selalu kurindukan, satu bulan yang hadirnya selalu kunantikan. Dengan harapan, aku bisa menyambutnya dengan suara lembut alunan Al-Quran, memeluknya dengan menjaga sikap untuk selalu sopan dan melepasnya dengan sebuah kebanggaan.

Tapi apa?
Hari pertama, sambutannya kuacuhkan, kedatangannya kuabaikan. Seolah-olah aku tak peduli, bahkan sembari berbisik dalam hati "Tak apalah, besok juga masih ramadhan!" Apakah 'dulu' aku tak berfikir bahwa salah satu yang tak bisa kembali adalah waktu? apakah aku yakin masih bertemu hari esok? kenapa aku ini? aku sibuk dengan dunia, terlalu serius bergelut dengan pekerjaan yang tak kunjung selesai. Dunia memang menipu, dan aku adalah salah satu korban keindahan kilau dunia yang mungkin tak ada apa-apa di mata sang pencipta.

Hari kedua, semangat ramadhan mulai menggelora, tarawih dapat kulakukan, walaupun Al-Quran masih belum bisa aku baca. Setidaknya hari ini lebih baik bukan?

Sepuluh hari pertama, aku bisa tersenyum pada ramadhan, memeluknya seakan ramadhan tahun ini telah lebih baik dari ramadhan yang telah lalu. Kulangkahkan kedua kaki menuju masjid, walaupun terkadang diiringi paksaan pada setiap langkah yang kupijak. Perlahan kubuka Al-Quran yang sedikit kusam, sampai kulupa entah kapan terakhir kali ia kubaca.

Tapi esoknya ...
Hari kesebelas, api semangat itu perlahan padam. lelahnya pekerjaan membuat rasa malas singgah dan seakan si malas itu berkata "Sudahlah, tak perlu tarawih hari ini kau terlalu lelah, Besok saja!" bodohnya, aku kalah! aku kalah pada godaan si malas. Sehingga selepas buka puasa aku pun tertidur pulas.

"Tenang saja, masih hari ke sebelas. Belum waktunya ramadhan pergi" entah siapa yang membisikan hal itu padaku,  seperti mantra yang merasuk pada sebuah jiwa sehingga aku pun tersihir begitu saja.

Dua puluh hari terlewat sudah, dengan api semangat yang semakin padam, cahaya ramadhan yang perlahan tenggelam dan aku yang masih saja menyia-nyiakan keberkahan.

Kenapa aku ini? Ego ku terlalu tinggi untuk kurubuhkan, terlalu panas untuk dipadamkan bahkan terlalu kuat untuk kuhancurkan.

Malam lailatul qadar mulai menatap mata lelahku, seakan ia mengajak raga lusuh ini untuk berdiam diri di masjid, membaca kesucian Al-Quran di malam yang lebih baik dari seribu bulan, dan berdoa untuk di ampuni dari segala kesalahan. Tapi apa? aku lelah! benar-benar lelah malam itu sehingga tubuh ini enggan untuk melangkah menuju masjid tapi berdiam diri di kamar lebih menggoda, fikirku kala itu.

Waktu memang begitu cepat berlalu dan sayangnya ia takkan kembali, sekuat apapun kita menggertak, dengan cara apapun kita mencoba. Waktu adalah waktu, jika terlewat ya berarti tak ada jalan untuk putar balik, tak seperti uang, jika hilang mungkin bisa saja uang itu kembali.

Ramadhan sebentar lagi usai, Terlihat ia sudah berkemas, beranjak pergi dalam jangka waktu yang lama. Senyumnya hilang, melihatku yang tak melepasnya dengan tenang. Ia pergi, dengan aku yang masih di sini.

Hari terakhir ramadhan membuatku berfikir, tak malukah jika aku menyesal? karena aku tidak memperlakukannya sesuai apa yang ia inginkan. Tak bisakah ia kembali? untuk menuntunku menyambut hari kemenangan sepenuh hati?

Masih bisakah diri ini merayakan kemenangan? mungkin tak pantas, karena bagiku perginya ramadhan adalah kehilangan. Mungkin mereka pun berpikir demikian tentang sebuah kehilangan. Bedanya, mereka berhasil membuat ramadhan pergi dengan senyuman, sedangkan aku?

Maafkan diri ini ya Allah ...


KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun