Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud

Ngeributin Natal 25 Desember, Inspirasi Bikin Buku

16 Januari 2012   14:52 Diperbarui: 25 Juni 2015   20:49 248 1
Nah masa-masa ributnya sudah lewat, air kolam perdebatan sudah agak tenang sekarang. Kalau kemarin-kemarin menjelang tanggal 25 Desember pasti banyak yang angkat tema soal kekafiran Natal, soal penyembahan Dewa Matahari, soal penetapan oleh Kaisar Romawi, soal St. Clauss yang katanya setan, soal cemara yang katanya berhala, dll. Entah di situs yang katanya ‘sekuler’, situs yang katanya ‘rohani’ pasti ada aja sentilan dan sambitan yang begituan. Saya aja sampai eneg bacanya, eh tapi tetap saja ada yang koar-koar dan merasa paling tahu soal itu. Sebagai seorang pengikut Al-Masih tentu saja saya tidak terima kalau dibilang menyembah Dewa Matahari saat merayakan Idul Milad Al-Masih. Jadi tentu saja selaku umat yang baik, saya – seperti banyak teman lainnya – akan mencoba menjelaskan apa yang saya yakini dan rayakan. Tapi yang lucu adalah melihat semua proses dalam dialog-dialog yang saya dan banyak teman-teman lakukan itu. Memang tingkah orang Indonesia itu soal beragama ada-ada saja. Ada yang begitu yakinnya akan keyakinannya yang salah atas keyakinan orang lain (nah lho, hehe), saking yakinnya dia tidak mau mendengar versi keyakinan orang lain itu sendiri. Dia takut, takut keyakinannya yang salah itu terungkap. Eh… di sisi lain ada yang begitu tidak yakinnya akan keyakinan orang lain, saking tidak yakinnya ia malas berdiskusi soal keyakinan. Dia takut kalau harus meyakini. Ribet ya? Saya pakai contoh natal saja untuk menjelaskan. Simak saja dua dialog ini: == A: “Natal itu perayaan Kafir yang ditetapkan oleh Konstantin untuk menyaingi perayaan Dewa Matahari” B: “Gak ah, umat Al-Masih jauh hari sebelum Konstantin sudah merayakan Natal kok, tahun 70 M dan 150 M saja ada dokumen soal perayaan Natal 25 Desember.” A: “Ah bohong… gak ada bla-bla… [dan semua monolog tuduhan keluar]” C: “Tanggal Natal 25 Desember itu memang benar kelahiran Al-Masih kok, Injil memang gak menyebut spesifik tanggalnya tapi memberi petunjuk untuk itu kok” D: “Ah, terserah orang mau merayakan Natal kapan, mau gak merayakan juga gak apa-apa… yang penting Yesus lahir gak di hatimu …. [dan semua monolog soal kerohanian]” == Nah… saya gak mau repot membahas soal keagamaannya. Saya cuma meninjau dari sisi sosial, bahwa begitulah kebanyakan cara kita berkeyakinan. Sayangnya kedua kebalikan itu ada pada dua umat yang berbeda, jadinya dialog memang sering kali tidak nyambung. Yang satu nuduh sembarangan, yang satu cuek bebek lalu berujar hal-hal rohani. Akhirnya yang satu nuduh si sok rohani gak logis, yang satu nuduh si sok logis emang suka cari perkara. Celaka bagi saya dan sedikit teman, yang entah kenapa selalu berusaha untuk menjembatani. Memberi jawab kepada yang sok logis dan memberi pengertian kepada yang sok rohani, sehingga alamat dimaki oleh keduanya. Eh, tapi masalahnya gak cuma berhenti disitu, ternyata kalau topiknya berubah (soal Nabi Muhammad, manusia yang luhur itu misalnya)… posisi rohani-logis itu pun berubah umat (meski tidak selalu berimbang). Yang tadinya sok rohani jadi sok logis (meski tetap lebih banyak yang cuek), yang tadinya sok logis jadi sangat emosian bercampur segala alasan rohani … Yah kalau posisi yang ini saya harus menyerahkan tanggung jawab kepada rekan-rekan dari umat Nabi Muhammad yang lebih dewasa untuk memberi penenangan pada yang emosian rohani itu, sembari saya mencoba menangkal tuduhan si sok logis yang baru ini. Nah begitulah awal niatannya… Tapi ternyata oh ternyata, saat menggelontorkan upaya mengurai kesalahpahaman seperti itu di dunia maya, rasanya seperti minum susu di kedai tuak. Sikap yang mau menjembatani itu sangat jarang kita temui, bahkan sikap menjembatani itu selalu dicurigai, diremehkan dan dihina. Yang paling konyol justru tidak dibaca dulu, tapi sudah langsung dimaki-maki. Apa lacur, begitulah adanya kondisi dialog keberagamaan kita. Bahkan mungkin akan semakin parah. Maka, kami memilih menuliskan buku saja, selain diskusi langsung. Meski lebih mahal dan peredarannya lebih sempit (sejauh ini buku baru bisa diterbitkan secara print on demand), tapi dampaknya orang akan lebih serius menyimak dan mempertimbangkan. Nah, pembuktian Natal 25 Desember itu jadi awal niatan kami. Berharap rekan-rekan umat Nabi Muhammad maupun umat Al-Masih yang lain (atau bisa juga umat beragama yang lain) bisa mengikuti langkah serupa menerbitkan buku yang bertema hujjatul iman (apologetika) tapi dengan bahasa yang santun dan tidak tendensius serta bisa dipahami semua pihak. [caption id="" align="alignleft" width="158" caption="buku natal (natal25desember.com)"][/caption] Kalau yang tendensius dan dangkal seperti tulisan-tulisan Mokoginta, Irene, dan Makrus Ali bisa laku... mudah-mudahan buku-buku yang lebih berbobot serta lebih membangun jembatan ketimbang tembok bisa lebih diterima, seiring semakin dewasanya keimanan dan intelektualitas masyarakat kita. Baiklah, niat saya bukan jor-joran promosi (jujur, saya sendiri gak dapet untung apa-apa dari buku itu). Tapi hanya mengunggah teladan ide, demi masyarakat kita yang lebih cerdas. Termasuk cerdas beragama. http://natal25desember.com/

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun