“Kau mau jadi hantu?”
Ayah saya membentak sembari merenggut buku-buku stensilan milik Abang yang sulung. Abang hanya diam. Entah apa di hatinya, melihat buku yang seolah jadi pacar barunya itu kini diacung-acungkan ayah sebagai bukti dosanya. Ibu yang selalu bisa menyelinapkan kelembutan membelai kepala Abang.
“Sekarang bukan saat yang tepat untuk membacanya”
(Saat itu sekitar Agustus 1995, dekat dengan gelaran Perayaan Indonesia Emas)
Waktu itu saya tidak terlalu tahu menahu soal buku apa yang dibaca oleh Abang. Saya hanya melihat sekilas judulnya ada kata “demonstran” dan yang satu lagi ada kata “bisu”. Belakangan saya tahu kalau itu adalah “Catatan (Harian) Seorang Demonstran” milik Soe Hoek Gie dan karya miris Mbah Pramoedia Ananta Toer “Nyanyi Sunyi Seorang Bisu”. Buku kedua itu saya lebih ingat karena beberapa bulan sebelumnya ada pengumuman di sekolah, sampai tingkat SD, agar siswa menjauhi buku yang entah kenapa “terkutuk” itu. Pengumuman yang justru membuat saya, si kecil yang sok kritis, semakin bertanya-tanya. Apalagi judul yang aneh bagi logika anak kecil, bagaimana mungkin seorang bisu menyanyi? Nama pengarang pun ganjil didengar, lekat dengan “studi tour”, acara dambaan seorang anak SD Kampung. Bahkan yang paling membuat penasaran, saat saya menanyakannya ke rumah, jawaban Ayah :”Kalau dilarang, ya berarti jangan dibaca ...”
Itulah perjumpaan masa kecil saya dengan sosok penulis besar ini. Bertahun-tahun namanya mengendap di kubur tanya hati. Tak pernah ada saluran untuk menemu jawabnya. Bahkan sampai di SMA, saya telah membaca beberapa karya sastra, namun tak pernah menjumpai Pram lagi. Guru Bahasa Indonesia saya pun kurang mau memberi jawab soal ini. Idrus dan Utuy saja sudah agak kurang disukai oleh Pak Guru. Bagi bapak yang budiman ini karya sastra di jaman 60-80 an adalah Taufik Ismail cs dan saya pun belajar menyukainya.
Tapi sama seperti Idrus adalah jembatan Pram untuk pintar melukis lewat kata. Idrus pun jadi jembatan saya untuk mengenal Pram. Bermula membaca “Ave Maria ...”, saya mulai meragukan defenisi guru saya tentang keindahan sastra. Dalam cerpen-cerpen Idrus saya menangkap kejujuran dan kenyataan bahwa sastra bukanlah sekedar alat untuk melukis dengan baik namun lebih melukis senyata mungkin dan mengejek setajam mungkin. Maka saya mulai bertanya, jangan-jangan Pram menawarkan keindahan serupa.
Hasrat saya mulai terpuaskan saat membaca “Gadis Pantai”, dan perlahan saya mulai mengerti mengapa keindahan lukisan kata-kata Pram ini ditengarai tidak baik. Lukisannya terlalu jujur, terlalu menelanjangi. Budaya satu suku yang pernah diagung-agungkan, atau lebih tepatnya diperalat, oleh seorang tiran bangsa ini ternyata menyembunyikan kebobrokan feodalis di tataran elitnya ... dan Pram mengoyak tirainya sampai-sampai seluruh sudut panggung terlihat. Pernikahan dengan keris, priyayi yang sama rajinnya dalam mengaji maupun menindas, perampasan anak kandung, semuanya adalah lukisan nyata Pram. Mengiris hati, menggejolak emosi, namun juga mengajar perspektif baru dalam kemanusiaan. Herannya semuanya disampaikan dalam bahasa yang sangat sederhana. Tidak ada yang berlebihan.
Apa yang saya dapati di Gadis Pantai ternyata hanyalah sebuah cicipan. Tetralogi Buru menyajikan hidangan yang seutuhnya. Entah kenapa hampir setiap orang yang membacanya selalu merasa dirinya adalah sosok Minke yang digambarkan oleh Pram. Mungkin saking manusiawinya roman itu bercerita. Semua pria yang membaca “Bumi Manusia” pasti punya gambaran masing-masing tentang seperti siapa dan secantik apa sosok “Annelies” itu. Bagi saya pribadi, setiap kali membaca roman pertama tetralogi Pram itu, saya tetap saja terbawa emosi dan bayangan hidup yang saya alami sendiri. Sampai saat ini saya masih membenarkan, bahwa pembaca tetralogi ini adalah orang-orang pilihan. Yang tidak mengaguminya akan sulit untuk membacanya. Ah...
Saya tahu ada beberapa karya Pram yang tidak begitu nikmat. Entah itu yang masih awal, atau yang ditulis di era dia jadi pengarang kuli (menulis hanya demi honor dan sesuai dengan agenda sponsor). Tapi saya bisa melihat bahwa karya-karya Pram yang menyentuh adalah karya yang terkait dengan diri dan orang yang dikaguminya serta dikerjakan dengan totalitas riset. Perhatikanlah tindakan Minke yang membuang “Raden Mas”-nya dengan tindakan Pram yang membuang “Mas” dari “Mastoer” sehingga hanya menjadi “Toer” saja. Atau Blora tempat tujuan akhir si Gadis Pantai dan kemungkinan besar tempat bertahta ayahanda Minke adalah tanah kelahiran Pram. Nampaknya semua juga tahu bahwa untuk menulis karya sedalam itu, Pram telah mengumpulkan kliping dan bahan dokumentasi hampir semuseum. Apalagi untuk “Panggil Aku Kartini Saja” dan “Arus Balik”. Tidak ada jalan mudah memang. Seandainya Pram tidak mengalami dan mempelajari sebanyak-banyaknya hal yang telah diterimanya, kita mungkin takkan menemui karya emas seperti sekarang. Orang yang ingin meniru Pram semata-mata karena kelihaiannya menulis tampaknya hanya berhayal jikalau ia ragu untuk berpengalaman atau belajar setimpal dengan Pram.
Generasi sekarang memang tak perlu susah untuk mencari karya Pram. Tapi mungkin akan terhalang oleh syarat “orang pilihan” yang saya sebut tadi. Bagi kebanyakan mahasiswa di era gaul ini, karya seperti Pram adalah bahan berat. Sedikit yang mau menyelami kedalaman karyanya. Bahkan mahasiswa sastra sekalipun sering kelimpungan jika harus berujar soal satu-satunya pengarang Indonesia yang berkali-kali masuk nominasi Nobel Sastra ini. Ah, sayang sekali.
Saya kira sudah sepantasnya, karya Pram menjadi salah satu buku wajib bagi pelajaran sastra sekaligus buku subsider untuk pelajaran sejarah pergerakan nasional Indonesia. Sekaligus membayar dosa bangsa ini yang pernah memunahkan beberapa karyanya bagi peradaban. Toh hal ini masih jauh lebih layak ketimbang mewajibkan buku Pak SBY bukan? Ups... Hingga suatu saat saya mengimpikan mahasiswa semester satu berkata pada rekannya yang cupu, “Hari gini baru baca Pram? Kemana aja selama ini?”... Semoga.
============
Dedikasi untuk ulang tahun Pramoedia Ananta Toer (6 Pebruari 1925 – 30 April 2006).