Di sudut langit belahan timur, bibit mendung mulai bergerak menampilkan jatidiri. Mendung itu kian menebal memberangus jarak pandang terhadap gugusan bintang. Beberapa pemuda yang mulai beranjak dewasa, berdebar-debar menyimak angin yang berhembus deras. Bagi mereka, bukan sekedar derasnya angin, namun sebuah peristiwa yang dibaliknya menyimpan makna, sebagaimana burung gagak berteriak-teriak di tengah larut malam, sebenarnya tengah menyampaikan sebuah pesan. Bahkan warna langit di matanya akan tampak berbeda. Sementara itu, bagaikan tangan-tangan hantu, bibit kabut mulai mekar beranak pinak, siap membutakan pandangan mata siapa saja.
suasana seperti itu tak sedikitpun membuat rombongan pemuda laki-perempuan, ini gentar dan berpaling arah. Meski berasal dari berbagai latar belakang suku, agama, ataupun strata sosial yang berbeda, kehangatan dan semangat kebersamaan mengalir dalam darah mereka. Kedua tangan pengemudi mencengkeram erat setang, mengkombinasikan tarikan gas dan kopling, sesekali menginjak rem, membuat deru suara beberapa kendaraan roda dua bersahutan. Iring-iringan motor dari berbagai merek keluaran negeri sakura, membentuk pola seperti ular, berjalan pelan menembus kabut dengan jarak pandang tak lebih dari 5 meter. Satu arah satu tujuan mengarungi malam melepas segala bosan dan jenuh akibat rutinitas intelektual kampus.
Salah seorang yang bertubuh kekar agak tinggi, rambut ikal sedikit panjang, menyeletuk dengan logat betawi yang sudah bercampur dengan jawa, "ayo ngopi dulu lah, dingin banget niy". Tanpa banyak cakap, motor-motor itu pun berhenti di sebuah kedai kecil remang-remang. "Kopi Cemeng (kopi hitam) Bu!", teriak pemuda pesisir berwajah lumayan, bertubuh mungil, dan mengendarai motor paling besar. "Aku podho...!", sahut pria tinggi berkulit putih pucat mirip bintang film Ariwibowo. Sang penjual terlihat sibuk menanyakan pesanan dengan logat khasnya. Beberapa wanita sibuk berfoto narsis sambil bergurau membunuh waktu menunggu pesanan datang. Satu diantaranya sibuk membenahi letak jilbab, menghalau dingin menusuk telinga. Kopi yang ditunggu-tunggu akhirnya datang juga. Ditiup-tiup dan disruput perlahan, menikmati sensasi panas kontra dinginnya suhu udara. Beberapa pria mulai menyalakan sigaret. Asap rokok bercampur kabut mengepul memenuhi ruangan. Seorang pria berkumis tipis menghisap kreteknya dalam-dalam lalu berkomentar kritis mengenai situasi politik ibukota yang memprihatinkan. Ditanggapi serius oleh kompatriotnya, pemuda berkacamata agak tebal asal "kota bahari". "Ben, jarke wae rak wis, sing penting mangan wareg, atine seneng", tukas salah seorang lagi, pemuda bertubuh agak gemuk, rambut gondrong ikal agak kriting, asli "kota merah". Sepasang muda-mudi beda pulau, jawa dan andalas, terlibat pertengkaran kecil, hal klise tentang percintaan. Perbincangan ringan hingga debat kusir terdengar, kadang-kadang diselingi tawa renyah.
Sampai sepeminuman kopi, rombongan bersiap. Jaket dirapatkan, motor kembali dinyalakan. Perjalanan pun dilanjutkan. Melalui medan jalan berliku dan menanjak. Tak jarang di tepi kanan atau kiri jalan bersebelahan dengan jurang yang dalam. Lampu jauh dan klakson sesekali dinyalakan sebagai kode. Terletak pada ketinggian 2100 meter di atas permukaan laut, suhu udara di daerah ini berkisar antara 15°—10° Celcius. Bahkan, pada musim kemarau suhunya bisa mencapai 5° Celcius.
Ya, dataran tinggi dieng, "negeri di awan" yang merupakan dataran tertinggi kedua di dunia setelah dataran tinggi Nepal, itulah tujuan utama para pemuda yang memproklamirkan diri sebagai "geng gampang krasan" ini.