Mohon tunggu...
KOMENTAR
Puisi

bimbang meradang

21 Januari 2011   18:33 Diperbarui: 26 Juni 2015   09:18 58 0
berat rasanya membendung aliran air ini agar tak tumpah.. kata-katanya sungguh menohok, menghunjam jantung, lalu menari-nari di organ dalam tubuhku... memang benar adanya, setiap kata yang keluar dari mulut, berasal dari hatinya... raut muka serius, tatapan matanya yang tajam, buatku tak kuasa tuk menatap... ku palingkan wajahku pada lalu-lalang kendaraan yang berlomba menghindar dari bulir-bulir air hujan yang tumpah dari belanga raksasa di atas sana... bukannya aku tak mau menjawab, tapi memang ku tak mampu... aku kalah telak, pertahananku kocar-kacir oleh serangan bahasanya, serangan bergelombang dan spartan layaknya permainan sepakbola kolektif anak-anak catalan... tak ada perlawanan, hanya bertahan... ku ikuti alur yang jujur namun menyakitkan, inilah diriku...

awan pembawa hujan bergerak perlahan menjauh, ikuti hembus angin... yang tadinya berteduh pun berhamburan memenuhi jalan... berlomba-lomba pulang, merindukan secangkir kopi panas serta senyum merekah penghuni rumah... akupun segera beranjak, meninggalkan emper minimarket basah pembawa kebimbangan... jalan-jalan basah oleh genangan air hujan dan rob, bercipratan mengotori celana jins belel ku... biar lah, sudah terlanjur kotor... sampai kaki menapak di pelataran rumah dan hujan hanya tinggal jejak beceknya, belum hilang sedikitpun galau ini... makin lama makin menggunung... harus ku putuskan sekarang, tak bisa tidak...

maafkan aku, kawanku, sahabatku, melebihi apa yang dinamakan saudara... pengorbananmu selama ini terlalu banyak, tak mungkin bisa ku membalasnya... aku mundur sobat... bukan untuk kalah, hanya menunda kemenangan kita, tuk sesaat...

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun