hmm..sebenernya, kalo nurutin rute flores, tulisan ini muncul sebelum tulisan riung, tp gpp yaaa, kalo urutannya ngacak :)...here we goooo...
“Itu Gunung Inerie, Bena ada di balik gunung itu…”, percakapan yang tak akan pernah saya lupa. Keesokan harinya, saya benar-benar membuktikannya. Walaupun masih betah di Ruteng, kami tetap harus meneruskan perjalanan menuju Bajawa. Kali ini bekpeker magang bertambah 1 anggota. Desma akhirnya datang juga setelah tersekap di Bali semalam karena Merpati ingkar janji... Om Stevanus yang baik hati, pemilik hotel Sindha & mobil yang kami sewa, membekali kami dengan seplastik besar berisi kue khas Ruteng.
”Kue ini tahan sampai 4 hari...cocok buat kalian yang rajin ngemil”, begitu katanya. Ahhh, kami akan merindukan saat-saat seperti ini. Hujan deras menemani kami meninggalkan Ruteng. Kami mengambil rute selatan via Borong. Perjalanan menuju Bajawa adalah perjalanan menembus kabut, Kadang kami berjumpa dengan penduduk desa, yang muncul tiba-tiba dari balik kabut dengan sarung hitam melilit tubuh hingga kepala. [caption id="attachment_170642" align="aligncenter" width="283" caption="signage menuju danau ranamese"][/caption] Ketika melintas di Taman Wisata Alam Ruteng, kami singgah sejenak di Danau RanaMese. Danau yang terletak di ketinggian 1200 dpl ini tertutup rimbunnya kawasan hutan di lereng Gunung Ranaka. Kami berjalan menuruni anak tangga untuk sampai ke tepian danau yang terlihat tenang. Beberapa pemancing tampak asik dengan lamunannya. Cicit burung terdengar bersahutan menjadi teman kami saat itu. [caption id="attachment_170643" align="aligncenter" width="425" caption="danau yang tenang (dan katanya dalam)"][/caption] Perjalanan pun berlanjut. Entah sudah berapa desa kami lewati, naik turun puluhan punggung bukit dan gunung hingga sunset yang indah menjadi tontonan super dasyat sore itu. Ketika langit tiba-tiba berubah kuning, orens dan biru...semburat warna-warni yang memesona ini berakibat cukup fatal. Kami terlambat masuk ke daerah Aimeree. Kami mengorbankan sesi motret di Aimeree. Tapi tak apa, bahkan dalam keadaan nyaris gelap total, bibir pantai Aimeree masih terlihat cantik...
Jalur panjang Ruteng – Bajawa benar-benar membutuhkan fisik yang kuat. Entah mengapa perjalanan ini terasa panjaaaaaaaaaangggg sekali. Puncaknya adalah selepas Aimeree, dimana jalanan mengecil, hanya cukup 1 mobil saja. Di kanan dan kiri, ilalang tinggi menjadi pagar pembatas. Langit gelap total dan kelokan yang MAHA DAHSYAT. Saya yang nyaris tak pernah mabuk darat benar-benar kewalahan mengatasi gejolak perut dan kepala yang mendadak jadi berat. Benar-benar kombinasi yang kurang menguntungkan karena kami pun sedang dilanda rasa lapar yang hebat. Entah apa yang ada dipikiran teman-teman saya di kursi belakang. Ahhh, benar saja...kami baru saja melewati 52 KM KELOKAN TANPA HENTI... wakakakakakakakk.....lewat deh kelok 44 di sumbar...;))
HIDUNG MANCUNG, BULU MATA LENTIK DAN SUARA EMAS Wuuzzzz, udara dingin menusuk langsung menyergap ketika kami sampai Bajawa. Di Bajawa, kami akan menginap di Edelweiss. Malam itu kami memilih kamar di lantai bawah. Kamar yang cukup nyaman untuk meluruskan punggung yang terasa patah-patah *lebay*. Kami memutuskan untuk mencari makan malam sebelum mandi & beristirahat. Persis di sebelah Edelweiss saya menemukan Camelya (perhatikan penulisan camelya!) Resto. Alhamdulillah, selain menyajikan menu yang beragam, Camelya juga menyuguhkan hiburan segar malam itu. LIVE MUSIC...widdiiiwwww... Coba bayangkan ini: 4 orang pemuda aseli Flores, jangkung, berbulu mata lentik, sorot mata tajam, memegang gitar, bersuara emas!...Ajaib! Rasa lelah dan lapar menghilang seketika. Tak ada lagi muka cemberut menunggu makanan tiba, tak ada lagi keluh...semua bergembira.. There’s no need to complicate Our time is short This is our fate, I’m yours…. MAMA DOMINIK, TEMAN PAGI DI PASAR BAJAWA Udara pagi Bajawa benar-benar sensasional. Segar, memenuhi paru-paru saya yang terbiasa mengirup udara jahat jakarta. Setelah cuci muka secukupnya, kami segera pergi ke pasar Bajawa. Menumpang angkot, dalam 10 menit pasar inpres Bajawa sudah di depan mata. Di jam 7 pagi pasar masih sepi. Lorong-lorong nya masih banyak yang kosong. Di mulut pasar, saya bertemu dengan penjual aksesoris rambut dan mainan anak2 yang ternyata berasal dari Lamongan, Jawa Timur. Pemilihan jenis dagangan yang rada unik, karena di otak saya, orang Lamongan pasti penjual Pecel lele dan sebangsanya. Bahkan mereka mempunyai persekutuan PARSELA (persatuan penjual lele lamongan)..;p [caption id="attachment_170652" align="aligncenter" width="397" caption="pagi di pasar bajawa"][/caption] Berjalan masuk ke dalam pasar, tampak beberapa penjual sayuran sedang berbenah. Sarung panjang hitam khas Bajawa membalut badan, mengusir dingin yang masih menggigit. Dhora dan Kuyus langsung aktif mengambil shoot. Tiba-tiba Dhora tampak salah tingkah. Dari wajahnya yang tampak ”tidak enak”, salting nya Dhora pasti bukan karena seraut wajah tampan menggoda. Selidik punya selidik, seorang Mama berwajah gahar memandang Dhora dengan tatapan menyelidik. *Xixixixiixix...mampuik kau* [caption id="attachment_170646" align="aligncenter" width="400" caption="mama dominik dan saya donk..;p"][/caption] Hhhh...kalo sudah begini, itu tandanya saatnya saya melakukan tugas kenegaraan. Menjalankan peran ibu konjen yang menebar senyum, menyapa dengan renyah, mencairkan suasana. Ahhh... [caption id="attachment_170653" align="aligncenter" width="397" caption="barang dagangan mama dominik..cabe flores, kecil sizenya tp pedesnya gila2an"][/caption] Mama berwajah gahar itu ternyata lembut hatinya. Mama Dominik, menjual cabe kecil nan ganas dan tomat2 mungil khas Flores. Mama Dominik bersikeras bahwa saya adalah Ibu Dokter yang sedang jalan pagi di pasar inpres..xixixixi...Ketika Kuyus mengambil shot saya & mama dominik, beliau langsung meminta hasil cetaknya. ”Ibu dokter kirim foto ke pasar inpres, nanti siang saya tunggu yaaa...”, begitu pintanya. Duuhh, sampe saat ini, foto itu masih tersimpan rapi. Jadi, kalo ada yang mau mampir ke pasar inpres Bajawa..kasih tau saya yaaa...nitip foto buat Mama Dominik. Selain berjumpa Mama Dominik, Mama penjual kopi menjadi sahabat kami pagi itu. Darinya saya tau perbedaan butiran kopi robusta dan arabica. Ahhh, benar-benar pagi yang sempurna. BAPA YOSEPH, MENJAGA TRADISI SAMPAI MATI Jam 9 pagi kami berangkat menuju Desa Bena, salah satu desa megalith yang ada di Bajawa. Menuju Bena bersiaplah untuk ternganga2. [caption id="attachment_170654" align="aligncenter" width="425" caption="desa luba dari gardu pandang"][/caption] Jalanan menuju Bena adalah jalan aspal halus berukuran kecil saja. Rumah-rumah adat sudah nampak di kiri dan kanan jalan. Dari awal perjalanan, Gunung Inerie sudah terlihat jelas. Kadang Gunung Inerie tampak di kanan kami, dan beberapa detik berikutnya ada di kiri kami, membuat kami berteriak..”your turn....your turn”...untuk mengambil shot Gn Inerie dari sisi kanan atau kiri. [caption id="attachment_170655" align="aligncenter" width="425" caption="desa bena tampak atas"][/caption] Di sebuah spot, Yanto menghentikan mobil. Ternyata dia membawa kami ke sebuah gardu pandang di mana kami dapat melihat Gn Inerie yang berdiri tegak dengan lembah menghijau dan layer-layer bukit berbaris mengelilingi desa. Langit biru maksimal bersaput awan putih menyempurnakan lukisan indah ini. Subhanallah... Dari tempat kami berdiri tampak atap2 rumbia kampung Bena dan Luba. Benar kata Yanto, Bena ada di balik Gn Inerie. Ketika sampai di Bena, Cuma ada satu kata yang keluar dari mulut saya..WOOOWWWW...kali ini saya tidak lebay. Sebuah kampung dengan rumah2 tertata rapi saling hadap dan batu-batu megalith tersebar dari ujung ke ujungnya. Beberapa ibu tampak sedang menenun kain Bajawa. [caption id="attachment_170658" align="aligncenter" width="400" caption="tangga batu menuju desa bena"][/caption] [caption id="attachment_170659" align="aligncenter" width="500" caption="desa bena"][/caption] [caption id="attachment_170671" align="aligncenter" width="340" caption="bapa yoseph, saya dan dyah"][/caption] Saat itu kami di temani Pak Yoseph. Seorang tetua kampung Bena yang fasih bercerita apa saja tentang Bena. Seorang lelaki dengan semangat yang tak pernah luluh untuk melestarikan kekayaan yang dimiliki oleh Bena dan penghuninya. Masa muda Pak Yoseph dihabiskan di Pulau Jawa (istrinya orang Purworejo) untuk mencari tahu segala sesuatu tentang Bena. Di kampung Bena terdapat 45 unit rumah, yang didiami oleh sembilan suku: Suku Dizi, Suku Dizi Azi, Suku Wahto, Suku Deru Lalulewa, Suku Deru Solamae, Suku Ngada, Suku Khopa, dan Suku Ago. Untuk membedakan antara satu suku dengan suku lainnya, dipisahkan berdasarkan sembilan tingkat ketinggian tanah di kampung ini dan kubur batu yang menjadi batas tiap2 suku. Rumah adat hanya terdiri dari 3 jenis bahan: Ijuk, Bambu dan Kayu. Rumah keluarga inti pria disebut sakalobo. Ini ditandai dengan patung pria memegang parang dan lembing di atas rumah. Sementara rumah keluarga inti wanita disebut sakapu’u. Di bagian depan rumah2 tersebut tampak tanduk kerbau, rahang dan taring babi ini, merupakan lambang status sosial. Jumlah tanduk atau rahang babi yang tergantung di bagian muka rumah adalah jumlah hewan hasil sumbangan para kerabat saat rumah didirikan. Pada saatnya tiba si empunya rumah akan mengembalikan dengan hewan sejenis kepada si penyumbang. Kampung Bena akan menjadi sangat ramai saat bulan Desember tiba, bahkan masyarakat Bena yang ada di luar Flores akan mudik untuk merayakan natal dan tahun baru. Mereka akan berpesta di lapangan di tengah kampung. Kebiasaan ini mungkin di picu oleh adanya BHAGA, kayu yang dipasang di atap rumah sebagai pengingat bagi generasi muda Bena agar sejauh apapun mereka pergi, mereka harus ingat untuk pulang ke kampung halaman. [caption id="attachment_170676" align="aligncenter" width="340" caption="tekun menenun"][/caption] Bapa Yoseph yang sangat fasih berbahasa Belanda & Jawa ini membawa kami ke Gardu Pandang di ujung perkampungan Bena. Di sini Bapa Yoseph bercerita tentang kampung Bena yang berbentuk Kapal. Menurut legenda, dahulu ada kapal yang tak bisa melanjutkan pelayarannya karena terhalang Gunung Inerie. Kapal yang membatu kemudian dijadikan lokasi pendirian kampung Bena. Di sini Bapa Yoseph juga bercerita tentang mimpinya membuat buku tentang kehidupan Bena. Buku yang dibuat asli oleh penduduk Bena agar semua terekam hingga tradisi akan lestari sepanjang masa. Sebuah mimpi besar yang harus mendapat dukungan kita semua. Dari spot ini pula saya bisa menikmati Gunung Inerie dengan bebas. Benar-benar berdiri kokoh di depan mata. Semilir angin, gunung, bukit, ngarai yang hijau...saya kehabisan kata-kata... WAKTU TAK BISA MENUNGGU... Selepas Bena, kami bergegas menuju Mataloko. Dimana kami berjumpa dengan bangunan seminari yang cantik luar biasa. Arsitektur khas eropa dengan kebun bunga yang rapi jali membuat kami betah menjadi model dadakan di setiap sudutnya. Di Seminari Mataloko ini kami berkenalan dengan beberapa suster yang sedang berkebun. Ajakan untuk foto bersama pun di sambut dengan hangat...hmmm, diam-diam saya menyimpan mimpi untuk berkebun tomat di Mataloko...aminaminamin. Waktu yang sangat sedikit untuk menikmati Bajawa yang cantik. Menjelang sore, kami sudah tiba di Soa Mangerunda, pemandian sumber air panas yang sangat cocok untuk melepaskan penat seharian...dan setelahnya kami harus ikhlas untuk berpisah dengan Bajawa... [caption id="attachment_170688" align="aligncenter" width="400" caption="soa mangerunda"][/caption] Di dalam mobil saya sibuk mencari-cari sesuatu...setelah sekian lama, saya baru menyadari saya meninggalkan hati saya di Bajawa...dan suatu saat nanti saya harus datang mengambilnya kembali...:) Note: - Segenggam cabe flores Rp.2000 - 1/4 kg kopi robusta & arabica (bijian) @7500 - HTM Bena @5000 -Tip Bapa Joseph 100000 (5 orang) - HTM Renamese @ 1000 -HTM Soa Mangerunda @ 1000 Photos taken by: Desma, Kuyus Sp. thanks to handycam kakak yang merekam semua info dari bp joseph dengan sempurna. Seperti biasa, saya males milihin foto, jadi ini memang koleksi sedapetnya dan beberapa udah di re-size (nyang aseli ada di kantor). -tenang, masih bersambung kok-
KEMBALI KE ARTIKEL