Mohon tunggu...
KOMENTAR
Dongeng

Kaba (Cerita) Bujang Jibun.

8 Juni 2012   03:42 Diperbarui: 25 Juni 2015   04:16 1836 0
Cerita berikut ini merupakan sebuah cerita rakyat yang diceritakan secara turun temurun oleh masyarakat Nagari Surantih. Cerita ini biasanya dituturkan juga dalam pertunjukan kesenian yang dikenal dengan Rabab. Masyarakat pesisir selatan, khususnya daerah Kasatuan Banda Sepeluh, terutama di Kecamatan Sutera. Cerita ini lebih dikenal sebagai Kaba (cerita) Bujang Jibun. Bagi Masyarakat Surantih dikenal sebagai legenda atau mitos yang dikenal sebagai seseorang yang diakhir hidupnya dikutuk menjadi batu. bagaimanakah kisah Bujang Jibun hingga bisa dikutuk menjadi batu, beginilah alkisahnya. Pada zaman dahulu, pada masa awal perkembangan terbentuknya kehidupan bernagari di daerah Surantih. Hiduplah sebuah keluarga di tengah-tengah perkembangan kehidupan masyarakat yang baru bermula. Keluarga itu adalah keluarga Tuanku Garak Alam. Tuanku memiliki seorang istri yang bernama Mayang Taurai. Dalam perjalanan kehidupan keluarga mereka dikarunia Tuhan tiga orang anak. Anak mereka yang paling sulung bernama Bujang Juaro, Bujang Juaro memiliki seorang adik laki-laki bernama Bujang Jibun dan adik perempuan yang paling kecil bernama Puti Bungsu (1). Bujang Juaro anak paling tua di keluarga Tuanku Garak Alam adalah seorang anak muda yang dalam kehidupan sehari-harinya gemar minum tuak, bermain dadu, dan menyabung Ayam. Bujang Juaro sendiri memiliki sebuah gelanggang permainan sabung Ayam yang merupakan tempat dia mengadu Ayamnya setiap hari. Gelanggang sabung Ayam milik Bujang Juaro ini berada di daerah Bukik Laban yang terletak antara daerah Kayu Aro dengan Koto Tinggi, Koto Katenggian (2). Daerah Koto Tinggi terdiri dari tiga perkampungan, yaitu; Koto Katenggian, Sungai Kumayang, dan Koto Rana[h]. Koto Tinggi tampek paninjauan, daerah ini merupakan sebuah daerah yang berada di dataran tinggi yang landai sehingga dari tempat ini dapat melihat Sungai Kumayang dan Koto Rana[h].  Sungai Kumayang dianggap sebagai biliak dalam, anggapan ini muncul karena daerah Sungai Kumayang berada di sebuah lembah yang tersembunyi dengan dikelilingi perbukitan sehingga menyerupai sebuah biliak (ruangan) yang tersembunyi. Sedangkan Koto Rana[h] dianggap sebagai janjang ka naiak, hal ini dikarenakan Koto Rana[h] adalah daerah yang harus dilewati ketika harus mendaki menuju daerah Koto Katenggian (3). Beralih kepada adik Bujang Juaro, anak kedua dari Tuanku Garak Alam yang bernama Bujang Jibun. Berbicara tentang diri Bujang Jibun, tak jauh berbeda dengan kakak kandungnya Bujang Juaro. Dalam kehidupan keseharian Bujang Jibun, perkerjaannya hanyalah minum tuak, suka main dadu dan menyabung Ayam. Persis sama dengan kelakuan kakaknya, Bujang Jibun juga memiliki gelanggang sendiri tempat dia bermain sabung Ayam. Setiap harinya Bujang Jibun berjalan menuju gelanggang sabung Ayamnya, dari rumahnya yang berada di Koto Tinggi, berjalanlah ia turun menuju ke Kayu Aro, kemudian berjalan menyusuri jalan yang berada disepanjang kaki bukit menuju daerah Sualang (sekarang Sialang). Didekat daerah Sualang ini terdapat sebuah bukit yang bernama Bukit Batu Balai. Di bukit inilah Bujang Jibun mendirikan gelanggang sabung Ayamnya (4). Pada suatu ketika tersiarlah kabar berita di Kampung Kayu Aro bahwa ada seorang pemuda yang bernama Sutan Pamenan datang dari daerah Pariaman. Maksud dan tujuan kedatangannya adalah untuk pergi ke gelanggang sabung Ayam milik Bujang Juaro guna bermain sabung Ayam, mengadu Ayam jagoannya yang bernama Ayam Sago Nani. Setelah bertanya-tanya pada penduduk yang ditemuinya, akhirnya Sutan Pamenan sampai di gelanggang sabung Ayam Bujang Juaro. Saat dia sampai, ia melihat suasana gelanggang yang sedang disesaki oleh orang-orang yang menyaksikan sabung Ayam. Sebagian dari orang-orang tersebut, meski tidak memiliki Ayam aduan untuk diadu, ada yang ikut menumpin taruhannya pada Ayam yang bertarung. Ditengah hiruk pikuk suara orang ramai yang berteriak menyemangati Ayam jagoannya. Bujang Juaro melihat ke arah seorang pemuda yang belum pernah ia lihat sebelumnya datang bermain di gelanggangnya (5). Bujang Juaro kemudian menghampiri pemuda tersebut dan berkata, “siapa tuan yang baru datang ini, angin mana dan hujan mana yang membawa tuan hingga sampai di gelanggang ini. Dilihat dari tampang dan cara berpakaian tuan, tuan bukanlah orang yang berasal  dari daerah sini”. Lalu Sutan Pamenan menimpali perkataan Bujang Juaro, “saya bernama Sutan Pamenan, datang dari Pariaman, maksud kedatangan saya ke gelanggang ini tak lain adalah untuk mengadu Ayam saya ini dengan Ayam jagoan tuan yang sering menang di gelanggang ini.  Kalaulah demikian, Sutan tidaklah salah alamat datang kemari”, kata Bujang juaro. “Sutan datang ke tempat yang benar, jika Sutan berkenan, dari pada kita terus berbasa-basi tak tentu arah. Karena hari semakin lama semakin beranjak petang, lebih baik kita langsung turun ke gelanggang membulang taji Ayam kita masing-masing. Sutan Pamenan dengan wajah gembira menerima ajakan Bujang Juaro untuk turun bermain disasaran sabung Ayam. Setelah menetapkan dan menyepakati taruhan yang akan ditumpin dalam pertandingan tersebut. Mereka menyuruh juaro gelanggang yang menjadi pengadil dalam pertandingan sabung Ayam tersebut untuk memulai permainan. Orang-orang yang berada di gelanggang sabung Ayam Bujang Juaro larut bersorak riang menyemangati kibasan-kibasan taji Ayam aduan yang sedang bertarung. Dalam pertandingan itu, akhirnya Ayam milik Bujang Juaro kalah dari Ayam Sago Nani milik Sutan Pamenan, taruhan yang telah ditumpin diambil dan dibawa oleh Sutan Pamenan (6). Selesai menyabung Ayam dengan Bujang Juaro, Sutan Pamenan berjalan menuju daerah Sungai Kumayang dan tinggal beberapa hari di kampung tersebut. Pada saat Sutan Pamenan tinggal di daerah itu, dia bertemu dan berkenalan dengan Puti Reno Kapeh. Puti Reno Kapeh merupakan anak dari Rajo Nan Sati, ibunya bernama Mayang Sani. Pada masa mereka berkenalan tersebut Reno Kapeh sudah menjadi tunangan dari Bujang Jibun. Pada suatu hari Sutan Pamenan datang menemui Reno Kapeh ke rumahnya. Dalam pertemuan itu Puti Reno Kapeh berpesan pada Sutan Pamenan, “kalau seandainya tuan sampai ke gelanggang sabung Ayam Bujang Jibun yang berada di Bukit Batu Balai, janganlah tuan pergi juga ke sana untuk menyabung Ayam”. Dicampuri rasa penasaran Sutan Pamenan memotong perkataan Puti Reno Kapeh dan berkata, “kenapa Puti melarang saya datang ke gelanggang Bujang Jibun untuk menyabung Ayam, apakah gerangan yang membuat Puti khawatir dan melarang saya kesana untuk bermain” (7). Lalu dengan perasaan cemas Puti Reno Kapeh mengutarakan alasan ke khawatirannya dan melarang Sutan Pamenan ke gelanggang Bujang Jibun, “bagi Bujang Jibun dalam menyabung Ayam, jika kalah dalam penyabungan dia tidak akan membayar taruhan yang telah ditumpin tapi jika dia berada dipihak yang menang, dia akan mengambil seluruh taruhan yang ada. Dari pada tuan pergi menyabung Ayam dengan Bujang Jibun, alangkah baiknya tuan mengurungkan niat tuan tersebut. Lebih baik tuan kembali pulang ke kampung asal tuan”. Mendengar perkataan Reno Kapeh, “Dik kandung Puti Reno Kapeh, adapun niat dalam hati, kalaulah tidak bertemu dengan yang dicari pantang untuk kembali pulang, jika kembali pulang ibaratnya “dadak mananti ditampuruang” jawab Sutan Pamenan. Dengan nada perkataan berat hati Puti Reno Kapeh berkata, “Saya patah tak akan terpatah Ibarat mematah batang Surantih Dipatah sedang panas hari Saya cegah tidak akan tercegah Ibarat mencegah air dari hilir Saya lepas tuan dengan iba hati”. Lalu Sutan Pamenan Menjawab, “Pulau talam pulau terika, ketiga bungkuak taji, sambut salam puti ku tinggal, saya berangkat sekarang ini”. Dengan linangan  air mata Puti Reno Kapeh berkata, “Ke kanan jalan ke Sungai Pinang, ke kiri jalan ke Malaka. Dengan tangan kanan saya sambut kasih sayang dengan tangan kiri menghapus air mata. Setelah mereka berjabat tangan, turunlah Sutan Pamenan darirumah gadang Puti Reno Kapeh. Ketika sudah berada di halaman Sutan Pamenan melihat ke arah Reno Kapeh yang berdiri di pinturumah gadangmelepas kepergian Sutan Pamenan (8). Beberapa saat kemudian Sutan Pamenan berpaling dan melangkahkan kakinya dari halaman rumah berjalan menuju ke arah hilir. Sekian lama jauh berjalan sampailah Sutan Pamenan di Koto Rana[h] dan singgah berhenti untuk beristirahat. Di bawah pohon kayu yang rindang, di Puncak Bukit Aua, sembari melapaskan litaknya, pikiran Sutan Pamenan menerawang jauh. Dilepaskannya pandangan ke arah lautan, terlihatlah daerah Bukit Batu Balai tempat gelanggang Bujang Jibun. Seketika teringatlah kembali olehnya perkataan Reno Kapeh. Tiba-tiba dia terkejut, dadanya berdetak kencang, seluruh sendi tubuhnya dirasakan bergemetar. Dalam kondisi yang demikian, hati kecilnya berkata, “niat dalam hati terbayang-bayang dimata teringat-ingat dihati, biar ada aral melintang namun maksud dan tujuan haruslah tetap disampaikan. Biarlah hilang yang akan berkata, meski hilang nyawa dari badan namun kehendak hati harus dilaksanakan” (9). Setelah litak yang mengerubuti tubuhnya dirasakan telah hilang, sutan pamenan mengayunkan langkah kakinya menuruni Bukit Aua hingga sampailah dia di Kayu Gadang. Lalu menyeberang sungai di lambung bukit, berjalan di pematang panjang ke arah hilirnya, akhirnya sampailah Sutan Pamenan di Sualang. Dari kejauhan telinganya  mendengar sayub-sayub orang bersorak-sorai dari arah Bukit Batu Balai. Semakin lama suara itu semakin jelas terdengar, diarahkanlah langkah kakinya menuju  ke gelanggang sabung Ayam Bujang Jibun yang sedang ramai saat itu. Berjalanlah dia berlambat-lambat mendaki Bukit Batu Balai sambil mengapit Ayamnya untuk memenuhi niat hatinya menyabung Ayam dengan Bujang Jibun. Setelah menempuh jalan setapak Bukit Batu Balai, sampailah Sutan Pamenan di tempat gelanggang sabung Ayam Bujang jibun. Di tengah ramainya gelanggang terlihatlah dirinya oleh Bujang Jibun. Seketika dirinya merasa, darahnya berdesir, detak jantungnya berdegub kencang dan gemetar segala sendi tubuhnya. Teringat kembali olehnya perkataan Reno Kapeh, di dalam hati Sutan Pamenan berkata, “benar adanya kata Reno Kapeh, tidak salah Puti berkata demikian, sesuai perkataan dengan kenyataan”. Firasat hati Sutan Pamenan saat itu merasa akan berpisah nyawa dengan badan. Setelah ini ia merasa tidak akan pernah bertemu lagi dengan Puti Reno Kapeh, muncullah penyesalan di dalam dirinya karena amanat Reno Kapeh telah ia mungkiri (10).

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun