Rizky, yang berusia 32 tahun, adalah seorang dokter yang baru saja menyelesaikan shift malamnya di ruang gawat darurat. Pikirannya terpecah antara kenangan masa kecil bersama keluarganya dan realitas saat ini, di mana ia lebih sering berbicara dengan pasien daripada dengan ibunya sendiri. Sejak kecil, Rizky ingin menjadi pahlawan. Dia membayangkan mengenakan jubah merah, bukan jas putih, tetapi ternyata nasibnya menuntunnya untuk berdiri di ruangan dingin penuh bau antiseptik dan bukan di atas panggung kemenangan. Dunia Rizky adalah dunia yang berputar begitu cepat, seolah-olah detik tidak pernah menunggu. Bayangkan saja, saat alarm berbunyi dan sebuah kasus darurat datang, waktu seperti musuh yang terus mengejar. Tangannya tidak pernah berhenti bergerak, merawat, menyelamatkan, dan berjuang. Tapi di balik semua itu, siapa yang peduli tentang hatinya yang semakin letih? Malam-malam panjang tanpa tidur telah menjadi teman setia Rizky, seolah-olah kelelahan adalah satu-satunya bahasa yang ia tahu.
Saat hari berganti malam, Rizky kembali mengingat hari di mana pandemi pertama kali mengguncang negeri ini. Waktu itu, berita virus yang menyebar cepat seperti kabut gelap yang menutupi kota. Orang-orang mulai mengenakan masker, menjaga jarak, dan dunia seperti melambat. Namun bagi Rizky dan rekan-rekannya, dunia justru semakin bergerak cepat, penuh dengan keputusasaan yang tiada habisnya. "Waktu itu seperti mimpi buruk yang tak pernah berakhir," kenangnya, tatapan matanya menembus dinding kamar istirahat yang sunyi.
Rizky bercerita tentang bagaimana dia harus tinggal jauh dari orang tuanya yang sudah tua. "Ibu sering bertanya, kapan aku pulang. Tapi apa yang bisa kukatakan padanya?" tanyanya dengan getir. Ia sadar, membawa pulang virus yang berbahaya bisa menjadi ancaman bagi mereka yang paling ia cintai. Jadi, dia memilih kesepian sebagai sahabat, merelakan hangatnya keluarga demi melindungi nyawa banyak orang. Panggilan jiwa, begitu ia menyebut profesinya. Namun, panggilan itu datang dengan harga yang begitu mahal. Di saat orang-orang mulai bosan karena harus berdiam diri di rumah, Rizky justru sibuk berlari dari satu pasien ke pasien lainnya, mencoba menahan detik-detik yang terasa begitu cepat. Tangisan, jeritan, dan perpisahan menjadi musik yang selalu mengiringi langkahnya. Pernah, suatu malam, ia harus menjadi orang terakhir yang menyaksikan seorang pria tua menghembuskan napas terakhirnya. "Tidak ada yang lebih menyakitkan daripada melihat seseorang pergi tanpa ada yang menggenggam tangannya," katanya, suara yang berat dan rapuh. Tapi di dunia Rizky, perpisahan seperti itu telah menjadi hal yang biasa.
Mungkin Anda bertanya-tanya, mengapa Rizky tetap bertahan? Bukankah ada saat-saat di mana ia ingin menyerah, membuang jas putihnya, dan mencari kehidupan yang lebih tenang? “Tentu saja, ada saat seperti itu,” ujarnya sambil menatap jendela rumah sakit yang penuh embun. Namun, di setiap kelelahan, Rizky selalu mengingat momen-momen kecil yang membuatnya merasa hidup. Seperti ketika seorang anak kecil, yang sembuh dari penyakit parah, memeluknya erat dan berkata, “Terima kasih, Om Dokter.” Atau saat seorang ibu berbisik penuh haru, “Anda telah memberi saya keajaiban.”