Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen

Ruang Tanpa Jendela

6 September 2024   22:45 Diperbarui: 6 September 2024   22:53 62 0
Di dunia ini, ada ruang-ruang yang hanya bisa dimasuki oleh orang-orang yang terperangkap dalam ketidakmungkinan. Salah satu ruang itu ada di kepala Yuda, seorang mahasiswa semester akhir yang selalu duduk di pojok ruang kelas, mencatat dengan teliti setiap kata yang keluar dari mulut Bu Ratna, dosen favoritnya. Ada sesuatu dalam cara Bu Ratna berbicara—keanggunan, kepercayaan diri, dan kecerdasannya—yang membuat Yuda jatuh hati pada sosok wanita itu.

Namun, perasaan Yuda tidaklah murni. Apa yang dimulai sebagai kekaguman biasa lambat laun berubah menjadi sesuatu yang lebih gelap. Setiap gerak-gerik Bu Ratna seolah menciptakan bayangan di pikiran Yuda, merangsang obsesi yang kian hari kian mempengaruhi hidupnya. Bahkan dalam tidurnya, bayangan Bu Ratna tak pernah absen. Sosoknya hadir, seolah memanggil-manggil dari ruang di dalam kepala Yuda, tempat tak berujung yang penuh dengan fantasi.

Di malam hari, Yuda sering kali membayangkan skenario di mana ia dan Bu Ratna bisa bersama. Setiap skenario terasa begitu nyata, meski di dalam hatinya ia tahu bahwa itu semua hanyalah khayalan. Namun, semakin hari, obsesi itu semakin kuat, hingga Yuda mulai kehilangan batas antara kenyataan dan imajinasinya.

Suatu malam, setelah tidak dapat menahan dorongan untuk menghubungi Bu Ratna, Yuda mengambil ponselnya dan mulai mengetik pesan.

"Bu, saya tidak tahu bagaimana harus menyampaikannya. Setiap hari saya semakin sulit mengabaikan perasaan ini. Saya tahu ini tidak pantas, tapi saya tidak bisa berhenti memikirkan Ibu. Saya ingin Ibu tahu, saya selalu memikirkan Ibu. Saya harap Ibu mengerti."

Setelah menulis pesan itu, Yuda menatapnya lama. Ia tahu bahwa tindakan ini akan mengundang masalah, tapi ia tidak peduli. Rasa ingin memiliki yang begitu kuat membuatnya memutuskan untuk menekan tombol 'kirim'. Pesan itu pun terkirim, meninggalkan jejak digital dari perasaan yang seharusnya tidak pernah ada.

Keesokan harinya, ketika Bu Ratna membaca pesan itu, ia merasa tercengang. Pesan dari Yuda itu jelas melanggar batas, sesuatu yang sangat tidak pantas. Ia adalah seorang dosen, dan Yuda adalah mahasiswa. Namun, lebih dari itu, Bu Ratna sudah menikah. Bagaimana mungkin seorang mahasiswa bisa berpikir seperti ini?

Dengan cepat, Bu Ratna membalas pesan Yuda, mencoba menghentikan hal ini sebelum semakin parah. Tapi pesan balasannya tidak menenangkan Yuda. Sebaliknya, ia justru merasa semakin tertantang.

Yuda menghabiskan waktu hari-harinya dengan memikirkan balasan dari Bu Ratna. Pikirannya terus berputar, mencoba mencari makna di balik kata-kata yang sebenarnya sangat jelas. Bu Ratna ingin Yuda menjauh, tapi Yuda tidak bisa menerima kenyataan itu. Dalam pikirannya, Bu Ratna sedang mencoba melindungi perasaan mereka dari dunia luar. Ia yakin, Bu Ratna pun memiliki perasaan yang sama, hanya saja terhalang oleh pernikahannya dengan Tirto.

Adrian, teman sekost Yuda, mulai menyadari perubahan dalam diri sahabatnya. Suatu malam, setelah makan malam bersama, Adrian mulai bertanya-tanya tentang kondisi mental Yuda. Ia menyadari bahwa Yuda sering kali melamun, dan ada bayangan kegilaan dalam matanya.

“Yuda, apa yang terjadi sama kamu?” tanya Adrian, mencoba menatap mata Yuda yang mulai kosong. “Kamu nggak kayak biasanya. Kamu sering melamun, kayaknya ada yang ngganggu pikiran kamu.”

Yuda menatap Adrian dengan tatapan yang sulit diterka. “Ini cuma urusan pribadi, Ad. Nggak perlu khawatir.”

Adrian menggeleng. “Kamu harus bicara. Aku sahabatmu. Kalau ada yang salah, kamu bisa cerita.”

Yuda tersenyum tipis. “Ini bukan hal yang bisa aku jelasin. Ini tentang... perasaan. Tentang seseorang yang aku sayangin.”

Adrian terdiam sejenak, lalu ia menyadari siapa yang dimaksud oleh Yuda. “Bu Ratna?”

Yuda mengangguk pelan. "Aku nggak bisa berhenti mikirin dia, Ad. Dia lebih dari sekadar dosen buatku."

Adrian merasa kaget mendengar pengakuan itu. “Bro, dia dosen kamu, dan dia udah nikah! Kamu tahu ini bakal ngerusak hidupmu kalau kamu terus mikirin dia. Kamu harus mundur sebelum semuanya jadi lebih buruk.”

Namun, Yuda hanya menggeleng. “Aku nggak bisa. Ini lebih besar dari itu. Aku nggak cuma suka sama dia, aku butuh dia.”

Adrian menghela napas panjang. “Aku nggak tahu apa yang harus aku bilang. Tapi satu hal yang pasti, kamu harus berpikir jernih. Jangan biarin perasaanmu ngambil alih hidupmu.”

Yuda tidak menanggapi. Di dalam kepalanya, sudah ada rencana yang jauh lebih besar dari sekadar perasaan. Ia yakin, satu-satunya cara agar ia bisa memiliki Bu Ratna adalah dengan menyingkirkan Tirto.

Hari-hari berikutnya, Yuda terus mencari celah untuk mendekati Bu Ratna. Ia mencoba untuk menghubungi Bu Ratna secara langsung, tapi setiap kali ia mencoba mengirim pesan, balasan yang ia terima selalu sama: dingin, tegas, dan menutup peluang apa pun untuk mendekat. Namun, Yuda tidak menyerah.

Di kampus, Yuda sering kali sengaja mengatur waktunya agar bisa berpapasan dengan Bu Ratna, berharap bisa berbicara secara langsung. Suatu hari, setelah jam kuliah selesai, Yuda melihat Bu Ratna di koridor kampus. Ia memberanikan diri untuk mendekati sang dosen.

“Bu Ratna,” panggil Yuda, suaranya sedikit gemetar.

Bu Ratna menoleh, dan ketika melihat Yuda, wajahnya tampak terkejut dan sedikit tidak nyaman. “Yuda, apa yang kamu lakukan di sini? Saya sedang buru-buru.”

“Saya cuma mau bicara sebentar, Bu. Saya nggak tahan lagi. Saya harus bilang sesuatu.”

Bu Ratna terlihat semakin gelisah. “Ini bukan tempat yang tepat, Yuda. Apa yang kamu ingin bicarakan?”

Yuda mendekat, mencoba mengendalikan emosinya yang mulai meluap. “Saya tahu Ibu merasa ada yang spesial antara kita. Saya tahu Ibu juga merasakannya. Saya nggak peduli kalau Ibu sudah menikah, yang penting adalah perasaan kita.”

Bu Ratna tercengang mendengar pengakuan itu. Ia segera mundur, menjauh dari Yuda. “Yuda, hentikan. Ini tidak benar. Saya adalah dosenmu, dan saya sudah punya suami. Tolong, jangan membuat hal ini semakin rumit.”

Tapi Yuda tidak mendengarkan. “Ibu bisa meninggalkan Tirto. Kita bisa mulai dari awal. Kita bisa bersama.”

Saat itu, Tirto muncul dari balik pintu ruang dosen. Melihat istrinya tampak terpojok oleh mahasiswa mudanya, Tirto segera mendekat.

“Ada apa ini?” tanya Tirto dengan nada waspada.

Bu Ratna mencoba tenang, meski hatinya bergetar. “Tidak ada apa-apa, hanya mahasiswa saya yang salah paham.”

Tirto menatap Yuda dengan tajam. “Kau sepertinya terlalu jauh mencampuri urusan yang bukan milikmu, Nak. Ini saatnya kau mundur.”

Yuda menatap Tirto dengan kebencian yang semakin membara. Dalam pikirannya, Tirto adalah penghalang satu-satunya yang memisahkan dia dan Bu Ratna. "Anda tidak tahu apa-apa tentang kami. Anda cuma penghalang."

Tirto tertawa kecil, tapi tawanya mengandung ancaman. “Ratna adalah istriku. Kau tidak punya hak untuk berbicara seperti itu. Sebaiknya kau segera pergi sebelum semuanya menjadi lebih buruk.”

Perkataan Tirto memicu sesuatu dalam diri Yuda. Tanpa berpikir panjang, ia menyerang Tirto dengan seluruh kekuatannya. Pertarungan singkat itu berakhir dengan kekalahan Yuda, tapi rasa sakit fisik itu bukan apa-apa dibandingkan dengan luka yang lebih dalam di dalam dirinya.

Bu Ratna berteriak, memohon agar semuanya berhenti, namun situasi sudah tidak terkendali. Tirto meninggalkan Yuda yang tergeletak di lantai dengan ekspresi kemenangan.

Yuda memandang ke arah Bu Ratna dengan mata yang basah dan suara yang serak. "Kenapa kamu tidak memilihku? Aku bisa lebih baik dari dia."

Bu Ratna menundukkan kepala, air mata mengalir dari matanya. "Maaf, Yuda. Kamu harus berhenti. Ini tidak akan pernah terjadi."

Setelah insiden itu, Yuda semakin terisolasi. Di kamar kosnya, ia mulai merencanakan sesuatu yang lebih gelap, sesuatu yang tidak pernah ia bayangkan akan ia lakukan. Obsesinya telah menggerogoti sisa-sisa kewarasan dalam dirinya, memaksanya merancang rencana untuk menghancurkan Tirto dan mengambil Bu Ratna dari kehidupannya.

Ia mulai memata-matai kehidupan Tirto. Setiap gerakan, setiap rutinitas, semuanya dicatat dengan detail. Yuda tahu bahwa untuk mendapatkan Bu Ratna, ia harus menghilangkan Tirto dari persamaan. Namun, bagaimana cara melakukannya tanpa meninggalkan jejak?

Pikiran Yuda terus berputar dalam labirin gelap yang diciptakan oleh obsesi dan rasa sakit. Hingga suatu hari, ia menemukan jawabannya. Sebuah "kecelakaan" yang direncanakan dengan sangat cermat akan menjadi solusi untuk masalahnya. Dengan hati-hati, ia menyusun rencana untuk mencelakai Tirto tanpa ada yang mencurigainya.

Pada hari yang telah direncanakan, Yuda mengikuti Tirto saat ia pergi ke sebuah pertemuan bisnis di luar kota. Dalam perjalanan pulang, Tirto mengalami kecelakaan mobil yang misterius. Polisi menyimpulkan bahwa kecelakaan itu terjadi karena kelalaian pengemudi, tapi Yuda tahu lebih baik. Di balik wajahnya yang tenang, ia menyimpan rahasia kelam yang hanya ia dan Tirto ketahui.

Namun, alih-alih merasakan kemenangan, Yuda merasa kosong. Meski Tirto telah tiada, Bu Ratna tidak berlari ke arahnya seperti yang ia bayangkan. Sebaliknya, Bu Ratna tampak hancur, bahkan semakin menjauh dari Yuda. Ia kehilangan cintanya, tapi juga kehilangan dirinya sendiri.

Yuda mulai merasa bahwa rencana yang ia pikir akan membawa kebahagiaan justru menghancurkan segala sesuatu di sekitarnya. Hingga pada akhirnya, ia menyadari satu hal yang mengerikan: meskipun Tirto telah tiada, Yuda tidak akan pernah memiliki Bu Ratna. Cintanya telah berubah menjadi obsesi yang mematikan, dan ia hanya menyisakan kehancuran bagi dirinya sendiri.

Catatan Akhir:

Obsesi adalah pisau bermata dua. Apa yang dimulai dengan kekaguman sering kali bisa berubah menjadi sesuatu yang lebih gelap jika dibiarkan tumbuh tanpa kendali. Yuda tidak hanya kehilangan kendali atas perasaannya, tapi juga kehilangan arah hidupnya. Pada akhirnya, obsesi menghancurkan segalanya, meninggalkan kehancuran di belakangnya.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun