Mohon tunggu...
KOMENTAR
Book

Membaca Nurcholish Madjid

14 November 2024   13:16 Diperbarui: 14 November 2024   13:59 145 2
Sebagaimana perkataan Socrates "Hidup yang tidak direfleksi, tidak layak dihidupi". Kendati refleksi diganti dengan kata "gugat": "hidup yang tidak dapat digugat, tidak layak dihidupi. "hidup, agar layak dihidupi, harus direfleksi atau digugat terus menerus. Jadi, syarat agar layak dihidupi, maka ia harus direfleksi, digugat terus menerus. Dengan demikian, membaca pemikiranya ( Nurcholish Madjid ) adalah bentuk refleksi gugatan, supaya layak hidup dalam dimensitas ruang & waktu.

Penulis sangat terinspirasi oleh gagasan-gagasannya, lompatan bepikir jauh kedepan mengangkangi kelaziman membuatnya terlahir sebagai manusia pembaharu pemikiran, karena kreatifitas dan produktifitasnya lah yang mampu mengawini konsep "Keislaman dan Keindonesiaan" dalam persenyawaan keselarasan ide sebagai wujud mempertahankan kemerdekaan NKRI dan meneguhkan spirit Keislaman.

Ialah Nurcholish Madjid, atau yang kerap disapa "Cak Nur", adalah salah seorang intelektual ternama di tanah air dan juga kader HMI, yang dalam rentetan sejarah pemikir-pemikir Islam di Indonesia, ia merupakan intelektual tersohor yang pemikirannya sangat kontroversial, terutama gagasannya tentang "Islam Yes, Partai Islam No", sehingga membuat polemik yang cukup panas dan berkepanjangan di kalangan internal umat muslim di Indonesia, termasuk Masyumi, salah satu partai politik Islam yang hidup selama era Demokrasi liberal di Indonesia.

Bagi penulis, Cak Nur adalah pemikir islam yang sangat progresif, dalam perjalanan pemikirannya, ia pun sering dibenci, dikucilkan, bahkan dipreteli di ruang-ruang diskusi sampai mimbar-mimbar masjid semasa hidupnya. Namun, itulah "Cak Nur", pemikir yang sangat berani mengambil resiko karena jiwanya yang telah dibakar "api" Islam, lantaran seruan-seruan moralnya yang memberi arah masa depan bangsa.

Dalam beberapa karyanya yang cukup termahsyur dan populer, terutama bagi kader-kader HMI yakni, Islam, Kemodernan, dan Keindonesiaan (1987), Islam, Doktrin, dan Peradaban (1992), Islam Liberal: Adalah benar ini islam?, dan Islam Agama Kemanusiaan, Nilai-Nilai Dasar Perjuangab, membuat pandangan dan pemahaman "Cak Nur" terhadap Islam rupanya terlihat berbeda dari yang lain, sehingga ia pernah dikatakan sebagai orang yang memahami islam secara benar oleh (K.H Mustofa Bisri, Pengasuh Pesantren Taman Pelajar, Rembang).

Hemat penulis, "Cak Nur" hendak menggunakan pendekatan yang kritis-dekonstruktif dan humanistik-antroposentris dalam memaknai Islam secara substansif (yang bukan syari'ah atau formal), inilah alasannya mengapa sampai "Cak Nur" menolak adanya kepentingan pendirian Negara Islam oleh Partai Politik Masyumi, dengan seruan "Islam Yes, Partai Islam No".

Islam, baginya, harus disesuaikan dengan tuntutan zaman yang berjalan sangat dinamis, tanpa harus mengorbankan nilai-nilai moral dan spiritual. Ia juga sangat menekankan pentingnya toleransi hidup, kebebasan dalam beragama, dan menjunjung tinggi perbedaan pendapat dalam masyarakat. Dengan begitu, Islam akan berjalan menuju cita-citanya, yakni, sebagai Islam yang Rahmatan lil alamin.

Gagasan-gagasan itu kemudian dibawakan oleh "Cak Nur" dalam acara Halal Bi Halal tahun 1969 bersama dengan beberapa organisasi Islam lainnya. Dalam pertemuan itu, "Cak Nur" hendak menyoroti problem antara kuantitas penduduk masyarakat Indonesia yang mayoritasnya umat Islam, dan minimnya kualitas umat Islam dalam menghadapu tuntutazan zaman kedepan yang kian komplek.

Meminjam ungkapan dari salah seorang ahli strategi militer dari Prancis "Andre Beufre" bahwa ( garis-garis pemikiran kita yang tradisional harus dibuang jauh-jauh, sebab sekarang ini jauh lebih penting mempunyai kemampuan melihat ke depan daripada mempunyai kekuatan dengan ukuran yang besar yang daya gunanya masih harus dipersoalkan). Bagi "Cak Nur" ungkapan itu semakna dengan peringatan dalam agama Islam. Karena itu, yang pertama-tama dilakukan oleh "Cak Nur" ialah meletakan konsep pembaharuannya dalam rentangan dinamika.

Cak Nur menghendaki pelepasan diri dari nilai-nilai tradisonal dan mencari nilai-nilai yang berorientasi ke depan. Dalam artian, mengambil yang lama (tradisional) yang baik, dan menciptakan yang baru (modernitas) yang lebih baik.

 

Al Fatiha "Nurcholish Madjid"

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun