satu sama lain, saling mengerti dan menjalani hari‐hari penuh makna. Pesahabatan dengan jarak
yang begitu dekat itu membuat kami semakin mengenal pentingnya hubungan ini.
Tak lama kemudian, aku harus pergi meninggalkannya. Sesungguhnya hatiku sangat berat untuk
ini, tapi apa boleh buat. Pertemuan terakhirku berlangsung sangat haru, tatapan penuh canda itu
mulai sirna dibalut dengan duka mendalam.
“Van maafkan aku atas semua kesalahan yang pernah ku lakukan, ya.” Kataku saat ia berdiri pas di
depanku.
“kamu gak pernah salah Citra, semua yang udah kamu lakukan buat aku itu lebih dari cukup.”
“kumohon, tolong jangan lupain aku, Van”
“ok, kamu nggak usah khawatir.” Sesaat kemudian mobilku melaju perlahan meninggalkan sesosok
makhluk manis itu.
Ku lihat dari dalam tempatku duduk terasa pedih sangat kehilangan. Jika nanti kami dipertemukan
kembali ingin ku curahkan semua rasa rinduku padanya. Itu janji yang akan selalu ku ingat. Suara
manis terakhir yang memberi aku harapan.
Awalnya persahabatan kami berjalan dengan lancar, walau kami telah berjauh tempat tinggal. Pada
suatu ketika, ibu bertanya tentang sahabat baruku itu.
“siapa gerangan makhluk yang membuatmu begitu bahagia, Citra?” tanya ibu saat aku sedang asyik
chatingan dengan Devan.
“ini, ma. Namanya Devan. Kami berkenalan saat liburan panjang kemarin.”
“seganteng apa sich sampai buat anak mama jadi kayak gini?”
“gak tahu juga sih ma, pastinya keren banget deh, tapi nggak papah kan, Ma aku berteman sama
dia.?”
“Apa maksud kamu ngomong kayak gitu?”
“kami berbeda agama, Ma”