Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen

Janji di Rumah Makan Bakso

26 April 2024   09:33 Diperbarui: 26 April 2024   14:00 96 3
"Coba kamu tenangkan diri dulu," kata Ben sembari mengusap pelan punggung Lisya.
     Mereka berdua berada di dalam sebuah ruang kerja yang terdapat meja persegi panjang serta sekat-sekat pembatas. Mereka menatap laptop yang berisi tentang cerita karangan keduanya.
     "Mana bisa tenang Ben, tinggal satu minggu loh! Mau direvisi bagaimana lagi? Apa sekalian saja kita rubah semua nih cerita?" ucap Lisya, kedua jari tangannya memijat kening bagian kanan dan kiri.
     Ben berjalan ke sisi depan Lisya. Lalu ia duduk di kursi dan membuka laptopnya.
     "Jangan langsung diubah begitu lah, kan kata Pak Haris hanya perlu direvisi dikit lagi," ucap Ben. Sementara ia berbicara tadi jarinya mencari-cari dokumen di aplikasi Word-nya.
     "Kata Pak Haris terlalu klise Ben, kamu dengar kan pas dia ngomong tadi? Sudah ke lima kali loh kita disuruh revisi terus," balas Lisya yang tampak semakin kesal.
    "Ehm.... kita tulis ulang dulu saja deh, siapa tahu dalam perjalanan saat menulis kita dapat ide bagus. Bagaimana?" usul Ben sembari memegangi dagunya yang tak berjanggut. Sementara matanya tampak serius menatap laptop.
     Lisya membuang napas. Lalu katanya, "ya sudah Ben, seperti biasa ya kamu dulu yang bikin pembuka sampai pertengahan, nanti aku lanjutkan."
****

     Saat itu sedang acara perpisahan sekolah, para murid sedang sibuk mengabadikan momen sambil berfoto ria. Ada juga yang berburu makanan yang tersaji, serta kedua orang ini yang sedang duduk berdua di sebuah kursi panjang di bawah pohon.
     "Jadi, kita ini apa?" tanya Gendis---perempuan berambut sebahu dan berkulit putih.
     "Kita.... manusia setengah ikan," jawab Randi asal sembari sedikit terkekeh.
     "Ih enggak begitu maksud aku Ran!" keluh Gendis sedikit merengek manja. "Masa harus diperjelas dulu sih. Dasar tidak peka!"  
     Mereka berdua telah bersama sejak kelas dua SMP, saat itu ayah gendis dipindah tugaskan di kota ini. Jadi dia harus membawa keluarganya juga ikut pindah.
     Alasan Randi dan Gendis saling kenal karena rumah mereka saling bersebelahan, dan satu kelas sedari SMP kelas dua itu.
     Randi kembali terkekeh, lalu berkata, "aku paham kok maksudmu." Ada jeda sebentar saat Randi menghembuskan napasnya, lalu ia melanjutkan. "Tapi, bagiku kita ini masih muda Gis(panggilan randi kepada Gendis, entah apa motivasinya memanggil dengan sebutan demikian). Masih terlalu dini untuk mengikatkan diri pada seseorang, aku tidak mau menjadi penghalang bagimu untuk berkembang."
     "Hah? Penghalang bagaimana?" tanya Gendis kebingungan.
     Percakapan mereka terhenti sebentar saat siswa laki-laki teman Randi menyapa, jumlah mereka lima orang.
     "Oi Ran, nanti sore jangan lupa ada sparing basket. Jadi ikut tidak kau?" tanya salah satu dari mereka pada Randi.
     "Jadi lah.... kan bakal jadi pertandingan terakhir kita mewakili SMA ini."  
     Kemudian mereka berlima pergi setelah itu.
     "Eh iya, sampai mana ya tadi?" Randi melamun ke atas sejenak mencoba mengingat. Kemudian ia melanjutkan "aku tidak mau nantinya kita saling ketergantungan, dan  mungkin kalo putus, kamu bakal selalu membandingkan aku sama orang yang baru kamu kenal, atau dengan kata lain susah move on. Secara kan kamu tahu sendiri aku orangnya kayak bagaimana, susah dicari! Hehe," goda Randi
     "Dih.... ge-er banget sih kamu," kata Gendis. "Memang sih bakal susah cari orang yang terlalu ge-er kayak kamu ini Ran. Oke lah kalo pemikiranmu seperti itu. T-tapi.... sebenarnya kamu punya rasa enggak sih Ran ke aku?" tanya Gendis sedikit malu, ditandai dengan pipinya yang memerah.
     "Rasa cinta kah maksudmu?" tanya Randi dengan muka polosnya, entah disengaja atau tidak.
     "Udah ah! Susah ngomong hal begini sama orang enggak peka kayak kamu. Mending ganti topik saja deh,"
     "Ehm.... ngomong-ngomong Gis, kamu jadi mau kuliah sastra?"
     "Iya, kalo kamu sendiri jadi ambil jurusan seni?"
    Sejenak Gendis menyesali pertanyaannya, "aduh! Ketahuan dong kalo aku liat data di BK. Tapi Randi tahu dari mana ya, aku mau kuliah sastra...." ucapnya dalam hati.
     Belum sempat Gendis melanjutkan pergulatan di kepalanya sendiri itu, Randi keburu menjawab. "Iya Gis, tapi kampus kita beda kota."
     Dahulu sebenarnya Gendis tidak berminat untuk kuliah, karena ayahnya meninggal saat dia sudah masuk SMA. Sejak saat itu, kondisi ekonominya terpuruk sehingga pikirannya setelah lulus dia ingin langsung bekerja saja menjadi TKW di luar negeri untuk mendapatkan uang sendiri agar ibunya tidak perlu bekerja serabutan lagi untuk memenuhi hidup mereka.
     Tapi setelah berpikir berulang kali, serta Randi yang selalu meyakinkan bahwa Gendis dengan kepintaran yang dimilikinya bisa masuk kampus negeri dan mendapatkan beasiswa penuh dari pemerintah, bahkan sampai mendapat uang saku juga. Gendis pun memutuskan untuk melanjutkan kuliah.
     Sore harinya, Randi dan Gendis memesan bakso di tempat favorit mereka. Sebuah warung makan legendaris yang kabarnya telah berdiri sejak mereka belum lahir.
     "Loh kamu enggak jadi tanding basket Ran?" tanya Gendis saat mereka berdua sedang menunggu pesanan.
     "Tidak," kata Randi. "Buat merayakan perpisahan kita, sama mengapresiasi keputusan kamu, aku batalin jadwal tanding deh."
     "Kok begitu?"
     "Pertama, perpisahan itu bagiku layak buat dirayakan. Kedua, aku senang kamu lanjut kuliah. Apalagi sebagai penggemar cerpen buatanmu," (Gendis tampak tersipu mendengar Randi berkata demikian) "aku sangat mendukung kamu masuk jurusan sastra, biar kemu bisa mewujudkan impian buat jadi penulis hebat. Jadi, yah kalo hanya tanding basket mah tidak ada apa-apanya dibanding momen ini Gis."
     Sikap Randi yang seperti inilah yang membuat Gendis terkagum dan menaruh hati padanya. Walau Randi tidak pernah berkata bahwa dia juga mencintai Gendis, tapi dari perlakuannya selama ini, yang kadang cuek kadang perhatian. Sebenarnya bisa disimpulkan ia juga mempunyai rasa yang sama.
     "Suatu saat aku bakal rindu deh Ran sama kamu, kira-kira besok pas sudah kuliah, kita bakal bisa berhubungan enggak ya? Secara kan dari kampusku ke kampusmu jaraknya jauh, beda kota juga. Bagaimana kita bisa ketemu kalo begitu."
     "Tuh kan, apa aku bilang tadi pas di sekolah. Orang kaya aku susah dicarinya," ucap Randi dengan bangga. Kemudian ia melanjutkan, "tapi aku masih punya pemikiran yang sama Gis, jadi, bagaimana kalau begini. Semenjak setelah lulus ini, kita fokus sama diri sendiri dulu. Kemudian saat kita sudah sukses di bidang masing-masing, kamu jadi penulis yang terkenal, cerpen kamu disukai banyak orang. Baru kita ketemu lagi, kamu tinggal menghubungiku saja."
     "Di mana?"
     "Di tempat ini."
     "Tapi, kalau semisal tempat ini sudah enggak buka lagi, sudah berganti jadi perumahan contohnya, bagaimana?"
     "Ya, tetap di sini. Lagi pula aku yakin kok, rumah makan legendaris ini akan tetap ada dan diwariskan terus secara turun-temurun."
     "Janji!"
****

     Hari bagai angin lalu, terasa sekejap dan lewat dengan cepat. Saat berkuliah, Gendis mendapat beasiswa penuh dari pemerintah, seperti kata Randi dahulu, Gendis juga dapat uang saku setiap bulannya. Sehingga ia tidak perlu membebani ibunya yang semakin tua, atau bekerja sembari kuliah.
     Sementara Randi, tidak banyak informasi yang bisa Gendis cari tentang kehidupannya saat ini. Di akun instagram Randi, dari puluhan postingan hanya terdapat beberapa yang menampakkan wajah Randi, itu pun saat masih SMA. Sisanya merupakan lukisan-lukisan yang bagus.
     "Wah.... apakah sekarang Randi sudah jadi pelukis ya?" gumam Gendis dalam hati.
     Gendis masih belum berani untuk pergi ke rumah makan favorit mereka berdua, karena dia merasa belum bisa jadi penulis yang diimpikannya dahulu. Beberapa buku karya Gendis pun tidak begitu laku, sehingga uang saku yang ada di tabungannya ia gunakan untuk menutupi biaya produksi dan pemasaran. Tapi tidak mendapat keuntungan, malahan cenderung merugi.
     Saat ini Gendis sudah semester lima, berbagai karyanya telah memenangkan lomba menulis dan sebagian lainnya tersebar di berbagai media. Yah, walaupun buku buatannya sendiri belum dikenal banyak orang, padahal sudah buku yang ke-delapan. Dalam hatinya, Gendis ingin sekali bertemu kembali dengan Randi. Ia penasaran, karya apa saja yang telah dibuat oleh Randi dan bagaimana wajah dan penampilannya saat ini.
     Hingga, pada liburan semester. Gendis memutuskan untuk pulang ke kota masa SMA-nya dahulu.
     Gendis mencoba menghubungi akun instagram Randi, karena nomor biasanya sudah tidak aktif lagi saat ini. Ia mengabari bahwa akan pergi ke rumah makan favorit mereka berdua sore nanti.
     Pukul tiga tepat, Gendis telah duduk di kursi dalam rumah makan. Ternyata Randi benar lagi, tempat ini masih berdiri hingga saat ini, walau bangunan dan tata letaknya sudah banyak berubah. Sekarang lebih modern.
     Sang pemilik yang tadi melihat Gendis datang pun sempat menyapanya sebentar, setelah sekian lama ternyata ia masih ingat pada Gendis. Ia juga bilang kalau Randi beberapa kali pernah datang kemari, tapi itu sekitar dua tahun lalu.
     Saat sedang menunggu bakso pesanannya, berbagai kenangan bersama Randi seakan sebuah film terputar  di benak Gendis. Ia tampak tertawa geli sesekali, membayangkan kisah-kisah itu.
     Tiba-tiba, Gendis seperti tersentak keluar dari dunia khayalnya karena tampak seorang pria seumurannya baru saja membuka pintu yang menimbulkan suara lonceng. Rambut pria itu terkuncir rapi, ia mengenakan celana kargo hitam dan jaket Army. Kemudian berjalan mendekat ke arah Gendis. Sebelum sampai depan Gendis, ia sejenak membuka ponselnya, lalu melihat ke gendis dan kembali berjalan.
     "Permisi," kata pria itu saat sudah berada di depan Gendis. "Mbak Gendis ya?" tanyanya ramah, wajah itu terlihat lesu, di bawah matanya terdapat kantung pertanda ia jarang tidur cukup.
     Gendis memandang bingung pria di depannya itu.
     "Nama saya Wijaya," kata pria itu. "Saya sahabat Randi, mbak," jelasnya.
     Mendengar nama Randi, Gendis mendadak bersemangat. Matanya berbinar, lalu katanya. "Iya, mas. Saya Gendis, masnya tahu Randi sekarang di mana? Soalnya saya hubungi di instagram hanya dibaca."
     "Itu saya mbak yang baca, jadi akun instagram Randi sekarang buat jualan lukisan karyanya dulu."
     "Memang sekarang  Randi di mana?"
     "Randi.... sudah meninggal mbak, dua tahun yang lalu."
     "Hah?!" Gendis berteriak tidak percaya.
     Wijaya kemudian menjelaskan bahwa kematian Randi disebabkan oleh kecelakaan tunggal. Ia juga bercerita panjang lebar mengenai keseharian Randi dahulu. Wijaya bilang kalau Randi sangat berambisi untuk menciptakan karya yang bagus, ia setiap hari selalu menghabiskan waktu senggangnya untuk melukis dan menjualnya. Jerih payah Randi terbukti berhasil karena beberapa karyanya telah laku ke luar negeri.
     Sebagian yang belum sempat terjual pun Wijaya tawarkan ke beberapa pembeli secara langsung maupun lewat instagram. Hal itu karena Randi pernah bilang kalau semua karyanya harus terjual sampai habis. Wijaya pun sekarang berusaha memenuhi keinginan sahabatnya yang telah tiada itu.
     Gendis hanya diam, ia terlalu kaget untuk berkata apa pun. Tergambar kesedihan yang mendalam di wajah Gendis saat itu.
     Lalu Wijaya menyodorkan surat yang ia ambil dari dalam kantong celananya. "Ini mbak, dari Randi. Ia pernah berpesan kalau suatu hari terjadi sesuatu padanya, saya disuruh memberikan surat ini ke cewek yang bernama Gendis Lisya."
     Isi dari surat itu seperti ini:

Kepada Gendis Lisya,
     Gis, aku bangga sama kamu. Sudah beberapa kali aku lihat namamu ada di beberapa media. Ke-dua buku karyamu juga sudah aku baca, ditunggu karya selanjutnya. (Dalam hati Gendis bilang, "Sekarang sudah buku ke-delapan Ran.")
     Selama berpisah denganmu, ternyata malah aku yang selalu membandingkan orang yang datang denganmu. Sampai-sampai tidak ada satu pun cewek yang istimewa di mataku, selain kamu. Makanya aku berusaha agar sukses di bidangku sendiri, dan bisa cepat bertemu lagi sama kamu.
     Minggu lalu aku sempat mampir ke rumah makan favorit kita dulu. Si bapak pemilik masih kenal aku Gis, dia tanya kamu, secara kan kita biasanya selalu bareng kalau ke sana.
     Sekian ya Gis... oh ya, aku mau jawab pertanyaanmu dulu waktu perpisahan di SMA. Aku cinta kamu, Gis, sangat-sangat cinta.
Ben Randi.

     Setelah memberikan wasiat Randi, Wijaya lalu pamit pergi. Sementara Gendis memakan bakso yang rasanya masih sama sejak dulu sembari membayangkan sosok Randi ada bersamanya.
     Saat perjalanan pulang menaiki taksi, Gendis tersenyum. Lalu berkata, "terima kasih ya Ran."
     Sang sopir yang duduk di kursi depan tampak bingung, ia menoleh ke spion dalam. "Bagaimana mbak?"
     "Terima kasih ya, Ben Randi. Kamu sudah membantu aku menyelesaikan cerpen ini."
     Sang sopir hanya bisa menggaruk kepalanya karena kebingungan.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun