Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen

Akhir Pekan Dan Nyoknyang Goreng

17 Desember 2012   18:53 Diperbarui: 24 Juni 2015   19:28 143 1
Malam mingguku kali ini jauh lebih mewah dari biasanya, walaupun dengan status ‘ngikut saja ditambah penampilan seadanya’. Aku menyebutnya mewah karena ajakan teman, untuk nongkrong di salah satu café terkenal adalah spot kami sehabis acara makan di warung yang juga cukup terkenal yang hidangannya serba mahal di kota ini. Café yang kudatangi ini sungguh jauh berbeda dengan warung kopi pinggir jalan yang yang biasa kudatangi dengan teman-temanku.

Aroma kelas atas begitu terasa ketika aku memasuki cafe itu. Sejuknya udara AC seakan membungkusku dengan setelan jas ala pesta bangsawan yang penuh dengan formalitasnya. Sofa yang empuk terasa bagai sedang duduk di atas singgasana para pangeran yang siap dilayani kapan saja, serta beberapa layar besar yang sedang memutarkan acara-acara TV luar negeri yang berbeda-beda tiap layarnya.

‘Hmm…peningkatan kasta semalam’ pikirku sambil terkekeh.

“Ada apa senyum-senyum sendiri?” Kata temanku yang baru saja duduk setelah melihatku tersenyum disebelahnya.

“Gak kok” tukasku.

Beberapa saat kemudian seorang pelayan wanita yang lumayan cantik dengan wajahnya yang selalu tersenyum datang membawakan kami daftar menu yang bagiku terlihat seperti majalah kegemaran kakakku. Dan setelah pelayan itu menuliskan semua pesanan kami pelayan itu pergi dengan tersenyum.

Tawa dan canda berhamburan di dalam cafe itu. Namun entah mengapa aku sedikit merasakan keganjilan dalam semua tawa itu. Seperti ada yang kurang dalam tawa itu tapi ‘apa itu’ aku juga masih belum bisa memastikannya. Aku merasa ada sedikit suasana ‘ketidakenakan’ yang sangat kental bercampur dalam udara dingin cafe itu yang membendung sebuah kebebasan. Mungkin sedikit berbeda ketika saya dan teman-teman nongkrong dan tertawa lepas di warung kopi pinggir jalan. Di mana kami bisa melepaskan tawa dengan kelegaan tanpa ada beban apapun.

Tak berselang lama setelah pelayan itu pergi dengan daftar pesanan kami, dia kembali lagi dengan semua pesanan yang telah berubah wujud menjadi seperti yang ada di majalah pesanan itu. Dengan sigap pelayan itu menyajikan semua pesanan di atas meja sesuai dengan orangnya. Setelah menyediakan seemua minuman yang telah kami pesan, pelayan itu bergegas pergi dan kembali lagi membawakan beberapa piring gorengan yang terhias mewah di atas talang indah yang dipesan temanku.

Saya menatap kopi hitam yang kupesan tadi ternyata tak sendirian. Sebuah sloki berisi teh menemani kopi pesananku. Sebuah piring kecil menjadi alas kopiku. Di tepi bagian atas samping cangkir kopiku terdapat dua bungkus ‘sugar’ dan satu bungkus ‘cream’.

Sejenak kupandang pesanan yang telah mereka sajinkan kepada kami lalu kuhirup aroma kopi pesananku. Bau pahit menyengat merangsak masuk ke dalam hidungku. Lalu pandanganku beralih ke camilan yang terhias indah di atas piring putih itu. Junkfood beraroma sedap namun terasa tak asing di mataku dan membuatku mulai mencicipinya.

‘Nyoknyang goreng…?’ Gumamku setelah mencicipinya.

Oh ia entah mengapa ingatanku kembali ke masa kecilku ketika mencicip junkfood tadi. Masa di mana aku gemar akan camilan ‘nyoknyang goreng’ yang selalu menjadi hidanganku setelah bermain bola di lapangan kecil bersama teman-temanku (Nyoknyang Goreng adalah sebuah makanan camilan berupa gorengan atau nama bekennya adalah junkfood yg terbuat dari bakso kecil dibungkus tepung kanji dan digoreng. Sausnya menggunakan saus botol yang merah tapi dicampur air biar lebih cair).

Saat itu hampir tiap hari aku menikmati nyoknyang goring selepas bermain bola di lapangan kecil yang juga tidak bisa disebut sebuah lapangan. Karena sebenarnya tanah lapang itu sebagian telah dijadikan tempat pembuangan sampah, ditambah lagi dengan batu-batu yang menggunduk seperti gunung kecil menjadi bagian dari lapangan itu. Dan tidak jarang gundukan-gundukan batu yang mencuat ke atas itu menjadi ‘pemain bertahan tidak disangka’ yang siap mencederai kami yang lupa akan posisinya.

Setelah bercucuran keringat dan keletihan maka saat itu si penjual ‘nyoknyang goreng’ pun datang dengan keranjang kecilnya yang terbuat dari anyaman kayu serta botol sausnya yang di tenten penjual cilik itu. Sedangkan si  penjual air tahu (air kedelai) dengan sepeda bututnya  yang biasanya datang lebih awal menyaksikan kami bermain. Tidak seperti penjual-penjual keliling sekarang yang sudah semakin modern berkeliling dengan sepeda motor menjual dagangannya. Apa lagi penjual nyoknyak goreng masa kecilku sekarang sudah tidak ada lagi dan telah terganti oleh penjual siomay, bakso dan empek-empek.

Aku tak ingat entah sejak kapan penjual nyoknyang goreng di kotaku hilang. Teriakan sipenjual cilik itu tak pernah lagi terdengar lewat di depan rumahku. Aku ingat ketika aku harus terjatuh dari tangga karena mendengar teriakannya dan berusaha mengejarnya walaupun hasilnya mengecewakan karena akhirnya aku terpaksa harus diurut oleh nenekku karena keseleo di kaki akibat jatuh. Dan aku ingat ketika terakhir kali menikmati nyoknyang goreng yaitu pada saat aku masih SD kelas 6 yang juga menyantapnya setelah bermain bola.

Bak para pahlawan yang  muncul saat kejahatan mulai beraksi, mereka datang ketika kami telah kelelahan dan membutuhkan sedikit asupan. ‘Ahh sungguh moment yang tak tergantikan’.

‘Oh ya’…hanya dengan uang Rp 500 aku bisa makan belasan tusuk ‘nyoknyang goreng + segelas air tahu’ dengan sangat puasnya. Sungguh sangat berbeda dengan harga segelas kopi dan junkfood di cafe ini yang sempat hampir mengurungkanku untuk memesan karena harganya yang sangat mahal. Bayangkan saja harga segelas kopi hitam yang sampai 30 ribuan rupiah. Sama saja aku bisa minum kopi di ‘mak eka’ puluhan kali, haha. Coba saja seandainya ini adalah malam minggu versi ‘bss(bayar sendiri-sendiri), tentu saja niat tidak memesanku tadi pasti terjadi karena uang di kantongku hanya selembar 20 ribu saja haha…

Akhirnya lamunanku terhenti ketika seorang temanku menegur.

“Oi…dari tadi, nih anak senyum-senyum sendiri??”

“Mikirin apa sih??”

“Ah..hehe dak papa” jawabku singkat dan kembali bergabung dalam obrolan dan tawa yang tetap saja masih terasa aneh buatku

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun